Tuesday 23 November 2010

Satu Tahun EFC Geografi UGM

Deklarasi Environmental Friendly Campus (EFC) di Fakultas Geografi UGM, yang salah satunya diwujudkan dengan bebas asap rokok, ternyata kurang efektif. Masih ada sejumlah mahasiswa merokok di kampus itu. Padahal deklarasi ini sudah berlangsung satu tahun.
“Mahasiswa masih merokok di dalam kampus. Bedanya cuma di kantin. Tadinya kantin menjual rokok, sekarang tidak jual,” ujar Agung Mardiko, mahasiswa Geografi dan Ilmu Lingkungan 2007 pada Minggu, 16 Mei 2010. Saat ditanyai apakah ia pernah melihat dosen atau karyawan merokok di Fakultas Geografi, Agung bahkan mengiyakan.
Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Arsoluhur Maskurrohman, mahasiswa Geografi dan Ilmu Lingkungan 2008. “Yang tidak merokok, tetap tidak merokok. Yang merokok ya tetap merokok, terus lanjut dan lanjut kayak kereta api,” katanya.
Lain lagi yang dinyatakan oleh Beryl Artesian Girsang, mahasiswa Geografi dan Ilmu Lingkungan 2007. Ia menentang Deklarasi EFC, terutama poin kampus bebas asap rokok. “Kebiasaan yang sudah mendarah daging, sulit hilang sebenarnya. Apalagi dengan lingkungan anak-anak yang ikut UKM itu, kebanyakan mayoritas perokok,” ujar Beryl yang juga perokok.
Menurut Beryl, poin itu dimulai dengan tidak dijualnya rokok di kampus. Kemudian diikuti dengan adanya tanda larangan merokok. “Tapi ya, karena lihat ada teman-teman pada ngrokok, ya udah. Dosen juga tidak terlalu memberi sanksi yang berat, cuma memberi peringatan tapi nggak memberi sanksi,” jelas Beryl.
Poin lain
Tak hanya itu, beberapa poin-poin Deklarasi EFC lainnya pun dianggap kurang efektif. Pada saat Deklarasi EFC diluncurkan, ada enam poin tertuang di dalamnya. Poin-poin tersebut adalah Fakultas Geografi UGM Peduli Hidup Sehat, Peduli Energi, Peduli Hutan, Peduli Limbah, Fakultas Geografi Hijau, dan Kampus Berbudaya.
Poin Peduli Limbah yang diterapkan dengan kampus pengolahan sampah, misalnya. “Ada pemisahan sampah dengan tempat yang berbeda. Akan tetapi pada saat dikumpulkan dengan gerobak, tetap saja dicampur lagi antara organik dan non organik,” ungkap Agung.
Begitu pula dengan poin Peduli Energi yang diwujudkan dengan penggunaan AC seperlunya mulai dari jam 09.00 - 16.00, serta mematikan lampu dan komputer jika sedang tidak digunakan. “Setahuku, kalau lampu memang digunakan seperlunya. Tapi kalau komputer dan AC belum tertib. Kalau komputer sih, kan soalnya digunakan mahasiswa setiap saat. Tapi kalau AC kok rasanya manjer terus, ya?” ujar Arso.
Ketika ditanya mengenai konsultasi virtual, baik Agung maupun Arso sama-sama tidak mengetahuinya. Padahal konsultasi virtual merupakan salah satu wujud poin Fakultas Geografi UGM Peduli Hutan dalam EFC.
Tidak ada sanksi
Anehnya tidak ada tindakan khusus dari pihak fakultas atas pelanggaran poin deklarasi tersebut, terutama bagi perokok di area Fakultas Geografi UGM. Padahal di awal deklarasi, fakultas berjanji akan mendetailkan tiap poin deklarasi dan menformalkannya melalui konsekuensi hukum.
“Memang tidak bisa 100% ide yang dicanangkan dalam deklarasi ini bisa diwujudkan. Semuanya harus melalui proses setahap demi setahap,” ujar Muhammad Izzudin, Menko Internal BEM Geografi.
Menurut Izzudin, ia tidak bisa mendiskreditkan teman yang merokok. Jika bicara realistis, tidak mungkin 100% kampus Geografi bebas asap rokok. Merokok adalah kultur masyarakat, sehingga ia tidak bisa memaksakan teman-temannya untuk menaati poin deklarasi tersebut. Fungsi BEM hanyalah menganjurkan.
“Selama satu tahun kemarin, target kami adalah sosialisasi EFC,” tegas Dr. Lutfi Muta’ali Ssi MT, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Geografi. Selama masa itu, ia mendapatkan banyak hal-hal positif dan juga kritik untuk pelaksanaan EFC ke depannya.
Mengenai pelanggaran merokok di area kampus Geografi, Lutfi mengatakan bahwa deklarasi ini adalah gerakan moral yang mengutamakan kesadaran segala pihak di Fakultas Geografi UGM. “Gerakan ini memang tanpa sanksi. Kalau kita menentukan sanksi, kita malah sibuk mengurus sanksi, bukan akademik,” ujarnya.
Tak heran jika pihak fakultas belum menentukan target pelaksanaan. “Dalam masa sosialisasi ini, target kita adalah orang-orang tahu. Dalam hal ini, hampir 100% orang tahu akan adanya Deklarasi EFC,” ujar Lutfi.
Namun, Lutfi telah melakukan perencanaan tingkat lanjut untuk pelaksanaan EFC. Dirinya kini tengah membuat buku saku panduan mengenai pelaksanaan EFC. Beberapa poin di antaranya bahkan menganjurkan untuk saling hormat-menghormati dan saling menasihati dengan orang lain.
Bagi Agung, hanya sekitar 40% dari Deklarasi EFC yang terlaksana. Ia berharap, “Ke depannya, sebaiknya dibuat aturan dengan sanksinya. Khususnya tentang rokok, itu yang jelas kelihatan. Bisa dimulai dari dosen dan karyawan supaya bisa jadi contoh.”

Malam Apresiasi dan Reuni JIK UGM

SABTU (3/7). SOSOK Ashadi Siregar, berusia 65 tahun namun tampak bugar, berjalan tegap ke atas panggung yang digelar di halaman Gedung Pascasarjana Fisipol UGM. Busana hitam yang ia kenakan seakan menambah kesahajaannya. Di depan spanduk bertuliskan “Tribute to Ashadi Siregar”, ia mengungkapkan rasa harunya yang disampaikan dengan jenaka.

Pria yang menerima Satyalencana Karya Satya XXX pada tahun 2007 ini, tidak menyangka bahwa para alumni mampu membuat rangkaian hajatan “Tribute to Ashadi Siregar” dengan penuh kekompakan. Selain terharu, acara ini adalah kejutan baginya. Terlebih ia tidak mengetahui sama sekali rencana hajatan tersebut hingga menjelang hari H. “Saya terharu karena anak-anak muda itu penuh perhatian. Perhatian mereka itu luar biasa,” ujarnya.
Suasana menjadi begitu meriah ketika Bang Hadi mengucapkan rasa harunya sambil tetap berusaha untuk menutupinya dengan mimik wajah yang datar dan kelakar. Ia berkata bahwa karena sudah tidak lagi menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ia memasuki dunia militer. Tak ayal, riuh gelak tawa peserta undangan memenuhi suasana.

Selain itu, sebagai “sesepuh” di JIK UGM, Bang Hadi memberikan wejangan terhadap beberapa staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi dalam pidatonya. “Perubahan ilmu komunikasi semenjak Perang Dunia II tidak begitu berpengaruh pada jurusan. Saya titipkan jurusan komunikasi untuk tetap diperdebatkan,” pesan penulis trilogi novel berjudul Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir ini.

Tidak lupa juga pria kelahiran 3 Juli 1945 ini mengucapkan rasa terimakasihnya kepada seluruh alumni yang telah menyelenggarakan acara tersebut. Namun, bagi Bang Hadi ada hal yang lebih penting daripada persembahan bagi dirinya. “Yang paling penting adalah kumpulnya itu. Itu sangat berharga,” katanya. Malahan niat Bang Hadi untuk tetap berhubungan dengan murid-muridnya sangat kentara. “Bagi teman-teman muda untuk tetap saling berkomunikasi,” pesannya sebelum beranjak pulang.
(F. Refitasari)

Bang Hadi: Bukan Sinis Biasa

Pada 3 Juli 2010 lalu, salah satu dosen Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK) Fisipol yang memasuki masa pensiun, Ashadi Siregar mendapat kejutan pada ulang tahunnya yang keenam puluh lima. Hadiah tersebut berupa Peluncuran dan Diskusi Buku “Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru” di Gedung Pascasarjana Fisipol UGM Lt. II. Tak hanya terangkum di dalam buku, Satu aspek dari pribadi Bang Hadi, atau Bang Adi, panggilan akrab Ashadi Siregar, yang menonjol dan kerap diungkit tidak hanya di dalam buku melainkan juga di dalam acara tersebut adalah “sinisme” novelis Cintaku di Kampus Biru itu.

Lontaran sinis itu, menurut tuturan para alumni JIK, memang amat khas Bang Hadi. Dalam diskusi, Bang Hadi seringkali berkomentar dengan cukup sinis dan terkadang nylekit. Dr. Kuskridho Ambardi, atau dipanggil Dodi, staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi yang juga pernah menjadi muridnya, bahkan menjulukinya sebagai ”Raja Sinis”, ”Tukang Gembos”, dan ”Si Raja Tega.”
Akan tetapi, ”sinisme” Bang Hadi itu tidak pernah disertai dengan ungkapan menggurui, atau merendahkan pihak lain. ''Dia memberi motivasi tanpa menggurui. Kalau berdebat dan tidak setuju pada satu gagasan, paling-paling dia hanya tertawa kecil yang agak sinis tanpa terkesan memusuhi dan merendahkan," tutur Rizal Mallarangeng.

Tidak hanya itu, “sinisme” Bang Hadi itu diimbangi dengan kemampuannya mendengarkan pihak lain. ”Bang Hadi itu tampak seperti orang yang sarkas, angker, sinis, tetapi memiliki kemampuan sabar mendengarkan yang besar,” ujar Saur Hutabarat, Pemimpin Redaksi Media Indonesia.
Selain itu, setelah mengenali pribadi Bang Hadi lebih jauh, di balik senyum ”sinis”-nya, Bang Hadi merupakan sosok yang menyenangkan dan pemalu. ”Tidak ada duka bersama Bang Hadi,” ujar Rizal. Baginya, semua pengalaman bersama pria keturunan Batak tersebut adalah suka.

Karena keunikan karakter Bang Hadi itulah, para alumni JIK sepakat menjuluki Bang Hadi sebagai penjaga akal sehat. “Dia melihat segala sesuatu dengan pikiran yang berbeda,” ujar Saur. Ditambahkannya, pria yang juga menulis novel Jentera Lepas itu berpikir atas dasar-dasar empirik. Ia tidak tergoda dengan pragmatisme. “Bang Hadi adalah orang yang jujur dan lugas,” jelasnya.
Kesederhanaan Bang Hadi juga dibenarkan oleh Dodi. Ketenarannya sebagai penulis novel bahkan tidak pernah mengubah sifatnya yang tidak nyaman dengan popularitas. ”Di tengah wabah kegandrungan orang untuk menjadi selebritas, Ashadi memilih untuk meninggalkannya,” tambah Dodi.

Diskusi yang dimoderatori oleh Dr. Ana Nadhya Abrar, yang juga koordinator penulisan buku kenangan tersebut berlangsung sangat meriah. Terlebih diskusi yang diselenggarakan sebagai acara perpisahan dan pensiun Bang Hadi in i berhasil mengungkap sejumlah peristiwa-peristuwa lucu bersama Bang Hadi sehingga membuat para tamu terbahak-bahak.
Para alumni dan kolega Bang Hadi berharap, dengan adanya masa pensiun ini Bang Hadi tidak pensiun begitu saja melainkan tetap berkarya. ”Tetaplah berkarya terus di akademik dan sastra!” ujar Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc. (F. Refitasari)

Lava Tour Kaliadem (Di Luar Bunker) Sebelum Erupsi

Ini adalah sebuah batu raksasa yang "dimuntahkan" oleh Merapi ketika erupsi. Saking besarnya, batu ini dinamakan Watu Gajah (Batu Gajah).

Jalan aspal di Kaliadem yang tidak tahu arahnya ke mana karena telah tertutup timbunan material erupsi Merapi.
Entah bangunan apa ini. Mungkin pendapa, tapi luasnya kecil sekali. Di dalamnya terdapat batu-batu yang disusun mirip meja dan kursi.
Ini adalah Kali Gendol dilihat dari arah utara.
Kali Gendol dilihat dari selatan. Penuh pasir.
Apa ini? Saya menduga bahwa ini adalah endapan lahar. Apabila tersentuh sedikit saja, ia akan hancur. Warnanya kemerahan.
Bangunan ini adalah bekas kios warung yang sudah rusak karena diterjang material erupsi.

Wednesday 13 October 2010

Lava Tour Kaliadem 1

Beberapa bulan yang lalu, saya beserta keluarga saya (Ibu, kakak lelaki nomor dua, dan kakak perempuan nomor empat) berkesempatan jalan-jalan bersama di hari Minggu yang cerah. Awalnya kami mengunjungi Air Terjun Telaga Putri dan menyempatkan berfoto-foto di sana. Namun tak satu pun foto yang aku abadikan dengan kamera ponselku. Alasannya, saya sudah pernah ke tempat ini waktu kecil dan tidak ada yang begitu spesial di tempat ini.

Sebelumnya, kami sempatkan mengisi perut yang kosong dengan menyantap sega pecel yang dijual di area wisata itu. Tak lupa, beli salak gading yang kata penjualnya bisa mengobati diabetes. Padahal bukan mengobati. Salak gading itu kandungan gulanya rendah. Jadi, ia aman dikonsumsi oleh penderita diabetes. Bisa dibuktikan, rasanya agak kecut.

Perjalanan berlanjut. Kakakku a.k.a masku yang menjadi supir mengarahkan mobil kijang berwarna hijau emerald ke Kaliadem. Aku belum pernah menapaki tempat itu sama sekali. Awalnya sih, Ibuku menolak. Tapi masku diam saja dan tetap mengarahkan mobil ke tempat itu.

Perjalanan ke Kaliadem melewati sebuah bendungan yang bagus sekali! Kebetulan jalannya luas. Orang bisa menghentikan kendaraannya di sana dan istirahat melepas lelah. Bahkan bernarsis ria di sana. Pokoknya, sejuk! Tak lama kemudian kami melewati area rumah juru kunci Merapi, Mbah Maridjan. Itu pertanda, sebentar lagi kami sampai Kaliadem.

Sampailah kami di sana. Apa yang kulihat ternyata sangat menarik hatiku. Di sana terdapat Bunker Kaliadem yang dahulu menewaskan dua orang mahasiswa Universitas Islam Indonesia. Dengan rasa penasaran yang teramat sangat, aku masuk ke dalamnya. Berikut ini adalah foto-fotonya.





Pintu Bunker Kaliadem.



Bunker Kaliadem dilihat dari luar pintunya.



Lampu dalam Bunker Kaliadem.






Ini adalah pintu kamar mandi di dalam Bunker Kaliadem yang sempat digunakan salah satu mahasiswa UII untuk mendinginkan dirinya dari kepungan lahar.



Salah satu sudut dalam Bunker Kaliadem yang menewaskan dua mahasiswa asal UII. Bunker ini sekarang dipenuhi dengan pasir-pasir sisa letusan Merapi. Suhu di dalamnya pun dingin lembab.

Selain foto-foto tersebut, masih ada foto-foto lain yang sangat menarik di luar bunker. Mau lihat? Tunggu blog selanjutnya!!!

Dokumentasi Audisi Presenter TvOne



Nomor audisi saya, 150!!



Berfoto di depan banner TvOne. Thanks to Indah Suryaningtyas yang sudah menjadi sukarelawan dan memotret saya, juga meng-upload di Facebook!! :DD




Saya dan Alfito Deannova.



Saya dan Muhammad Rizky berfoto setelah audisi usai. Karena sudah sore, wajah saya sudah agak berantakan seperti di foto ini.

Mereka yang Sangat Jarang Ada

Di dunia ini, ada beragam cara manusia untuk mencari uang dan memenuhi kebutuhan hidup. Yang perlu kita perhatikan adalah ada segelintir orang yang mencari uang dengan cara yang unik dan berbeda. Penghasilannya sedikit, akan tetapi mereka-mereka tetap setia menjalani hal itu. Yang penting lagi adalah halal! Ya, halal! Lebih baik bergaji sedikit daripada bergaji banyak akan tetapi tidak halal! Daripada para penjahat di jalanan atau penjahat di gedung mewah sana.


Entah apa nama profesi ini. Aku menyebutnya dengan Tukang Siter. Tak hanya bermain siter, ia juga menembangkan lagu-lagu Jawa. Suaranya merdu dan sangat "njawa". Keberadaannya bisa ditemukan di Purbalingga.

Coba perhatikan topinya! Setahuku itu adalah topi yang biasa diberikan oleh Kepresidenan Republik Indonesia. Entah asli atau palsu, bisa jadi itu wujud apresiasi dari presiden kepada sosok pelestari budaya ini.



Seorang lelaki yang mencari sesuap nasi dengan cara membenahi payung-payung yang rusak. Entah berapa kilometer per hari ia berjalan kaki demi profesi ini.

Dokumentasi IMB



Dalam foto ini ada saya, kawan-kawan dari Bulaksumur Pos, Radio Prambors, dan dari Trans TV.




Ini adalah saya dan kawan-kawan saya dari Bulaksumur Pos, yang berkesempatan membuka stand pada saat Audisi Indonesia Mencari Bakat.







Ini adalah saya dengan salah satu peserta audisi yang mirip pelawak, Tukul. Ia bernama Pak Subekti. Kami berdua masuk dalam kloter D dan Pak Subekti akan menunjukkan keahlian melawaknya.

Hunting 17 Agustus 2009

Kebetulan Agustusan di tahun 2009 saya habiskan di Purbalingga. Itu loh, kota ngapak-ngapak itu! Kalau tidak salah, waktu itu sedang libur Lebaran atau menjelang Lebaran. Paginya pun aku berkesempatan menyaksikan pawai Agustusan yang ada tepat di depan rumah Mbah saya! Asyik, bisa nonton!

Pawainya gokil-gokil! Macam-macam kostum ada di sana. Kostum banci, perawat, terus sepupuku malah menciptakan mobil-mobilan dari becak. Daripada banyak berkata, mending lihat aja nih foto-fotonya!


Peserta pawai yang memerankan Orang Gila. Gara-garanya mereka tidak lulus sekolah! Hahaha...


Salah satu peserta pawai Desa Kalimanah, Purbalingga yang mirip Limbad. Masak burung hantunya dari ayam , terus kakinya diikat ke tangan pakai tali rafia?!?!?!

Catatan SMA 7: Ultah Rani dan Tragedi Makan-Makan

Senin, 19 Maret 2007
14:15 WHV

Kemarin (Minggu, 18 Maret 2007), aku datang ke perayaan ulang tahunnya Rani. Acaranya dimulai pukul 12.00 di Hartz Chicken! Tadinya, aku hampir saja tidak berangkat karena Ndut berangkat kerja pukul 10.00. Kemudian aku mengirim sms ke Nia untuk memberitahukan hal ini sebab sebelumnya ia meminta kepastianku. Apakah benar aku akan datang atau tidak. Eh, LUCKY FORTUNE! Nia mengatakan bahwa mau mengajakku serta! Yes! Jadi makan-makan enak!

Di tengah perjalanan menuju Hartz Chicken, Nia cerita kalau sebelumnya ada “monster” (salah seorang teman yang kurang kita sukai karena beberapa sifatnya yang menyebalkan sekali!) yang mengganggunya. Si “monster” itu hendak merepotkan Nia segala macam, sampai-sampai ia mau mampir ke rumahnya. “Weh, anak itu mulai lagi deh!” pikirku. Namun akhirnya si “monster” itu gagal menghancurkan acara asyik kita berdua! Rasanya senang sekali bisa bebas dari kurungannya.

Pada acara ulang tahun Rani, selain ada sesi makan-makan dan minum sepuasnya, ada juga game dan karaoke. Asyik juga! Aku dan teman-teman dipotret bersama sambil berjoged ria. Pokoknya asyik dan lucu, deh! Ayah Rani beberapa kali memotretku dengan kamera DSLR-nya. “Jangan-jangan ada tawaran dari untuk agency model dari orang tua Rani untukku?” pikirku. Tapi ditunggu-tunggu sampai pulang, tidak ada sama sekali yang menawarkan itu, tuh! Hahahaha…. Ngarep!

Aku sempat ndeso ketika mengambil minuman. Waktu itu, aku melihat Alfian memegang coklat shake yang di atasnya terdapat krim putih. Aku langsung tergoda ketika melihatnya dan ingin langsung mencoba. Akan tetapi setelah dicari, kok tidak ada? Bagaimana ini sih, sebenarnya? Tidak hanya aku, teman-teman yang lain pun tampak katrok. “Ndeso, katrok, katrok!” begitu kata sejumlah teman yang sebenarnya mengatai diri mereka sendiri. Maklumlah, kami tidak tahu caranya dan baru pertama kalinya menikmati makanan di chicken buffet berkonsep all you can eat ini.

Ketika mengambil makanan, aku berbaris di meja prasmanan. Tak dinyana, di depanku adalah Alfian lagi. Baiklah, aku mengikuti dia lagi. Jujur, aku lebih bingung dan katrok lagi. Kalau tadi, minuman hanya satu konter saja. Kalau makanan, alamak konternya lebih banyak lagi! Batinku, Alfian itu anak gunung (Kaliurang) tapi gaul juga! Dia sama sekali tidak tampak katrok. Mungkinkah ia pernah makan di tempat itu?

Sesampainya desert, aku sudah eneg sekali. Eh, sampai rumah kok jadi lapar? Akibat cara makan yang salah, nih! Akhirnya, aku memasak mie instan karena di rumahku juga tidak ada makanan apa-apa. Ngenes!

Tuesday 20 July 2010

Catatan SMA 6: Teh Pak Bams Sid

Sabtu, 17 Maret 2007
07:38 WJTV

Sekarang, jam pelajaran Matematika oleh Pak Bams Sid (Bambang Sidik) masih berlangsung. Memoriku jadi teringat pada kejadian kemarin Jumat. Saat itu, aku menumpahkan teh milik Pak Bams Sid di mejanya. Untung saja beliau sedang tidak di tempat dan teh yang tumpah pun tidak sampai mengkosongkan gelas. Seandainya habis, Pak Bams Sid pasti akan sangat bertanya-tanya.

Saat itu bahkan Pak Priyanto, guru sejarah dan bahasa Jawa, memergokiku dan mengatakan, “Hayo!” Wah, sebuah kata yang ia keluarkan itu sungguh-sungguh membuatku terhakimi. Aku langsung bergerak cepat. Aku langsung ke kopsis (koperasi siswa) dan ngutang tisu. Mbak Ice, penjaga kopsis, membolehkanku begitu tahu aku menumpahkan teh milik Pak Bams Sid! Glory, glory! Dengan langkah seribu, aku kembali ke ruang guru dan langsung membersihkan meja Pak Bams Sid.

Kali ini Pak Jon, guru sosiologiku yang ngocol punya, yang memergokiku. Akan tetapi, tidak seperti Pak Priyanto, ia dengan rela dan baik hati membantuku. Pak Jon memberiku bekas soal sosiologinya yang sudah tak terpakai untuk mengelap meja Pak Bams Sid. Akhirnya bersih dan kinclong juga! Saat itu selesai, Pak Bams Sid belum datang juga.

Yah, paling tidak aku sudah bertanggung jawab. Dan yang paling membuatku senang adalah meja Pak Bams Sid benar-benar kinclong. Rasanya ada kebanggaan di hatiku! Halah…! Aku pun menyelesaikan tanggung jawabku tepat waktu karena setelahnya aku akan mengkoordinir imtaq yang selalu diadakan setiap hari Jumat.

Sewaktu aku mengundang anak-anak untuk imtaq (termasuk temannya Dirly), aku bertemu Dirly. Dia mengatakan, “Kok enak tho, mesti di ruang AVA?” (Ruang AVA merupakan tempat paling mewah dibandingkan segala sudut di sekolahku yang kata orang, sebesar kandang kuda) Saat itu, seharusnya aku langsung menimpali. Akan tetapi tuntutan pekerjaan membuatku tak sempat bermain-main. Aku harus cepat! Minggu lalu saja, Pak Natalis sudah sewot-sewot sewaktu bel berbunyi. Padahal film rohani yang diputar sewaktu imtaq, Passion of the Christ, tinggal sedikit lagi.


Dan Sabtu pagi ini, aku berangkat ke sekolah naik bus. Walau capek, aku bisa mengecilkan perut. Pelajaran olahraga setelahnya pun terasa enak dan ringan.
Sempat takut juga pada awalnya. Sebelum berangkat, mama mengatakan kalau wajahku pucat dan nyluntruk. Terlebih aku sama sekali tidak minum minuman hangat dan tidak sarapan. Hanya air putih saja yang kukonsumsi pagi ini. Aku pun membawa bekal nasi saja, tanpa lauk. Alhasil, di jalan aku keberatan karena membawa barang bawaan berat berupa baju seragam dan sekotak nasi tanpa lauk, beserta sebotol minum. Belum lagi irama perut yang keroncongan.

Begitu sampai sekolah, aku merasa sangat lega. Aku langsung melampiaskan rasa lelah dan laparku yang sudah kutahan sedari perjalanan tadi. Nasi yang kubawa kumakan dengan martabak kecil dan sate yang kubeli di kantin. Belum ada lauk besar sepagi itu. Aku mengambil lauk yang seadanya saja, jajanan. Beruntungnya, waktu yang tersisa membuatku sangat sempat menikmati sarapan yang sederhana itu. Ketika sarapanku baru saja habis, bel langsung berbunyi. Thanks God!

Sekarang aku tidak sakit. Amin. Dugaan mama salah. Mungkin, aku pucat karena memakai Gizi Super Cream. Wui… Berarti produk tersebut manjur! Aku sempat berfoto-foto di hp Rani dan mendapati hasilnya bagus. Hahaha… Tidak sia-sia aku membeli produk itu. Bahkan, ternyata Pitix juga memakainya. Akhirnya, ketika anak-anak perempuan berganti pakaian setelah olahraga, kita berdua menjadi saling merekomendasikan itu pada mereka. Beberapa teman bahkan mencoba.


Dan sekarang, pelajaran sejarah kosong. Aku menggunakan kesempatan ini untuk menulis lagi. Namun, belum ada kejadian yang unik lagi. Aku juga belum bertemu Dirly.

O iya! Tadi Bhe ulang tahun. Happy b’day ya, Bhe! Semoga kamu bisa menjadi temanku yang terbaik selalu! Aku akan terus mendoakanmu. Amin.

Mmm... Aku hari ini senang sekali karena sekolah pulang lebih awal. Besok Senin juga hari libur. Yeah, MTV VJ Hunt just count day! Aku harus melakukan persiapan yang maksimal agar bisa mewujudkan impian terindahku itu!

Catatan SMA 5: Tentang Workshop dan Dirly

14 Maret 2007, 07:55 Waktu Jam Tangan Vita
Jamnya PKn Pak Chooey adalah jam potensial untuk menulis-nulis sendiri, sebab sangat membosankan!

Akhirnya aku buka suara juga. Selain dengan teman-teman (Nia, Dea, Bhe, dan Rasti), aku juga cerita ke Ndut kalau aku ingin mengikuti MTV VJ Hunt 2007. Hari ini, ia libur bekerja dan akan berangkat ke kampus. Kebetulan sekali! Aku paksa saja sekalian untuk mencari informasi tentang workshop yang akan diadakan di FISIP UGM. Toh, kampusnya bersebelahan. Jalan sebentar saja juga sampai, sebentar sekali malah!

Aku juga bertanya padanya, “Workshop itu ngapain sih?” Dia jawab, seperti training. Hah? Training? “Daftar aja belum, kok sudah training?” kataku. Wah, ada yang tidak beres ini! Tuhan, bimbing aku ya!

O iya! Aku ada lagu yang cocok untuk Dirly. Lagunya Gil featuring The Moffats, berjudul If I Only Knew. Kurang lebih, begini liriknya:

I give you everything, anything
If you will be mine
I give you stars above, oh my love
How can you be SO BLIND?
SO BLIND?
I’m going out my mind
For the time, for you, yes it’s true!


Reff:
If you only knew
That I’m crazy for you
Then you understand
If I only knew
What you going through?
Then I’m understand


Huhuhu… Bentar lagi dia mau lulus dan aku bahkan belum mengenalnya! T.T
Tuhan, bantu aku!

Catatan SMA 4: Gebetanmu dan Gebetanku

13 Maret 2007, 18:46 Waktu Hp Vita, 18:31 Waktu Jam di Kamar, 18:39 Waktu Jam Tanganku

Hehehe… Ajaib, kan lihat sejumlah jam di rumahku itu berbeda semua? Makanya setiap aku menulis di “buku tanggung jawab” (aku menyebutnya karena berbeda dari buku curhat yang lain), tepatnya “buku tanggung jawab hidup”, aku selalu mencantumkan jam dengan keterangan WIB, WITA, dan WIT ala Vita Kent yang berbeda-beda semuanya.

Kemarin, 12 Maret pukul 17:31 WHV, Dea, sahabatku semenjak SMP, sms aku. Katanya, dia telah melihat iklan MTV VJ Hunt. Sepertinya yang mau ikut, langsung saja datang ke tempat audisi. Alright! Aku menjadi lebih lega.

Selain itu, dia mengatakan bahwa ia sedang patah hati. Aku sms dia balik dan menasehati dia supaya sering-sering saja berkomunikasi dengan “L” agar si “L” bisa melihat ketulusan hati dan cintanya Dea. Ciye… Gue sok nasehatin nih! But, that’s a must for my friend! Aku bercanda (via sms, tentunya), “Kalau gak dapat “L”, terus ntar aku jadi VJ beneran, aku bakal kenalin kamu sama personel Tangga yang item itu loh.”

--sms dikirim--
--sms dibalas—

“GAK MAU! Sekali “L”, tetap “L”! Aku cuma mau “L”, bukan yang lain. He.. he.. he..” itu sms balasannya padaku. Jadi, ceritanya dia mau setia? Entah mengapa, ya Tuhan aku ragu dengan hal itu. Hehe… Dosa tidak, ya aku meragukan teman sendiri? Hihihi…

Tiba-tiba aku teringat Dirly. Sebentar lagi dia akan lulus pula! Janji Sunny-nya juga sudah tidak bisa membuatku semangat untuk melakukannya. Tapi, seandainya nih, seandainya, aku benar-benar menjadi VJ, pasti dia yang akan mencari aku! Hehehe, narsis!

Sudah dulu, ya! Semoga besok aku bisa berkenalan dengan Dirly! Syukur-syukur Dirly Idol yang sesungguhnya . Amin!

Catatan SMA 3: Ujian, Audisi, dan Bima Marzuki

Senin, 12 Maret 2007 13:46 Waktu Hp Vita

Curhatanku kemarin tidak diteruskan dan diputus begitu saja. Aku harus belajar bahasa Jawa untuk ujian hari ini. Untungnya, tadi aku bisa mengerjakannya karena belajar itu tadi.

Awal belajar, semua terasa mudah-mudah saja. Eh, belakang-belakangnya, di bagian tentang tata cara pengantin itu susah sekali menghapalkannya. Bahasanya itu, lo! Tingkat tinggi sekali. Baru kusadari sekarang kalau Bahasa Jawa memiliki bahasa tingkat tinggi. Padahal ini baru basa krama, belum bahasa Jawa Kawi! Haduh, gilak!
Aku tidak jelas sama sekali apa itu artinya. Akhirnya rangkuman materi itu hanya kubaca tanpa dihapalkan. Entah apa itu isinya, aku tidak tahu. Sepertinya semuanya bakal lebih mudah kalau dipraktekkan saja! Hahaha… Untung saja ulangan tadi tidak banyak membahas bagian pengantin itu.

Lalu, sewaktu ujian seni rupa, aku juga bisa loh! Tinggal bagaimana nanti nilainya. Hehehe… Thanks God! Ada empat pilihan dalam soal menggambar itu. Yang tiga ilustrasi semua! Wah, gila aje! Aku pada dasarnya tidak bisa menggambar ilustrasi, malah disuruh buat begituan! Nilaiku hancur sekalian saja! Terutama ketiga pilihan tersebut diwajibkan untuk berwarna. Aku sendiri tidak membawa perkakas pewarnaan yang mumpuni.

Ah, tidak! Lebih baik aku menggambar perspektif saja! Aku kan sudah mengerti dasarnya seperti apa. Jadi, bisa disiasati dan jadilah! Thanks God, I love You!

Meneruskan yang kemarin, tentang VJ Hunt. Aku sudah mencari-cari info tentang VJ Hunt. Aku berburu tabloid bersama Rasti di BCA. Aku sempat membaca tabloid Kerbek dan Gaul. Keduanya sama saja, tidak menyajikan informasi yang jelas.

Hanya saja, informasi yang baru adalah acara yang dilaksanakan tanggal 23 Maret di FISIP UGM itu cuma workshopnya. Yang audisi, ya yang di Mall Galeria itu. Wah, bagaimana ini? Masak minggu-minggu harus jauh-jauh ke kota? Sudah begitu, di bawahnya ada tulisan “cepetan daftar!”. Selain itu, ada juga tulisan “atau kirim juga video kamu dalam format mini DV”.

“Aduh! Masak pinjam handycam Febri buat bikin rekaman?” pikirku. Malu dong!Kalau mau pinjam hp Nia, apa formatnya ntar sama? Terus videonya itu seperti apa? Kita berlagak membawakan suatu acara atau video gokil ala Alex Abad? Kalau seperti Alex Abad, wuih…! Ideku sih banyak, tapi penerapannya susah!

Sepertinya aku harus telepon radio Prambors saja karena di ujung bawah iklan MTV VJ Hunt itu, ada logo Prambors. Semoga sewaktu aku menelepon, tidak nyasar sewaktu on air.

Oh iya! Terakhir kali aku menggunakan internet, aku sempat mencari info tentang Bima, reporter RCTI yang masih sempat melaporkan suasana Kapal Mesin Levina ketika detik-detik kapal itu akan karam. Ternyata nama lengkapnya adalah Bima Marzuki. Akan tetapi tetap saja aku belum mendapatkan alamat email dia.

Aku melihat di situs berita Metro TV dan di sana ada video ketika ia dirawat di rumah sakit. Ia hanya terbaring begitu saja di atas kasur dan kalau tidak salah menggunakan alat bantu berupa selang pernafasan. Sewaktu itu, jujur saja dia tampak jelek dan hitam. Maklumlah, dia sedang lemah.

Aku mencoba klik video tersebut, akan tetapi untuk melihatnya harus menggunakan program tertentu dan aku harus men-download-nya. Karena takut kalau download-nya itu berbayar, akhirnya aku cancel saja. Kemudian kucari fotonya, akan tetapi malah foto tokoh Bima dalam cerita pewayangan yang kudapat. Apes!

Usahaku masih berlanjut. Aku buka situs RCTI. Akan tetapi mataku mulai lelah menatap komputer. Terlebih, agro warnet terus berjalan. Dua jam terlewati dan aku harus membayar Rp 6.000,00 untuk mencari informasi yang masih belum jelas. Whatever! Huh!

Sinisme Seorang Ashadi

Sabtu (07/10) lalu, Ashadi Siregar mendapat hadiah kejutan pada ulang tahunnya yang keenam puluh lima. Hadiah tersebut diwujudkan dalam Peluncuran dan Diskusi Buku “Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru”. Sejumlah alumni pun menyampaikan testimoni tentang sinisme Ashadi.

”Bang Hadi itu tampak seperti orang yang sarkas, angker, sinis, tetapi memiliki kemampuan sabar mendengarkan yang besar,” ujar Saur Hutabarat, Pemimpin Redaksi Media Indonesia dalam acara yang diadakan di Ruang Seminar Pascasarjana Fisipol tersebut.

Rizal Malarangeng, Direktur Eksekutif Freedom Institute pun menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Saur. ''Dia memberi motivasi tanpa menggurui. Kalau berdebat dan tidak setuju pada satu gagasan, paling-paling dia hanya tertawa kecil yang agak sinis tanpa terkesan memusuhi dan merendahkan," tuturnya.

Dalam buku yang diluncurkan tersebut, juga terangkum pula bagaimana sinisme novelis Cintaku di Kampus Biru ini. Ia seringkali berkomentar dengan cukup sinis dan terkadang nylekit. Dodi Ambardhi, staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi yang juga pernah menjadi muridnya, bahkan menjulukinya sebagai ”Raja Sinis”, ”Tukang Gembos”, dan ”Si Raja Tega”.

Meski sinis, Bang Hadi, panggilan akrab Ashadi Siregar, merupakan sosok yang menyenangkan. Ia meninggalkan kesan yang begitu mendalam di hati murd-muridnya sehingga diadakanlah hajatan tersebut. ”Tidak ada duka bersama Bang Hadi,” ujar Rizal ketika ditanya mengenai suka dan duka bersama Bang Hadi. Baginya, semua pengalaman bersama pria keturunan Batak tersebut adalah suka.

Ashadi juga merupakan sosok yang sangat sederhana. Ketenarannya sebagai penulis novel bahkan tidak pernah merubah sifatnya. ”Di tengah wabah kegandrungan orang untuk menjadi selebritas, Ashadi memilih untuk meninggalkannya,” ujar Dodi.

Diskusi yang dimoderatori oleh Ana Nadhya Abrar tersebut berlangsung sangat menarik. Terlebih diskusi yang diselenggarakan sebagai acara perpisahan dan pensiun Ashadi berisi testimoni-testimoni alumni yang membangkitkan sejumlah kenangan lucu dan membuat semua yang ada di Ruang Seminar Pascasarjana Fisipol UGM terbahak-bahak.

Para alumni dan kolega Bang Hadi berharap, dengan adanya masa pensiun ini Bang Hadi tidak pensiun begitu saja melainkan tetap berkarya. ”Tetaplah berkarya terus di akademik dan sastra!” harap Prof Dr Pratikno M Soc Sc, Guru Besar Fisipol UGM.

NB:
Berita ketigaku yang dipublikasikan. Dapat juga dilihat di http://www.bulaksumur-online.com/people-inside/163-sinisme-seorang-ashadi.html

Apresiasi dan Reuni untuk ‘Bang Hadi’

Sabtu (07/10) lalu, suasana Halaman Gedung Pascasarjana Fisipol UGM tidak sama seperti biasanya. Sejumlah tenda berdiri disertai beberapa hiasan yang menarik. Di depannya terdapat sejumlah karangan bunga bertuliskan “Selamat Ulang Tahun, Bang Hadi”. Itulah yang terlihat dari Malam Apresiasi dan Reuni Jurusan Ilmu Komunikasi UGM.

Acara yang diselenggarakan sebagai rangkaian hajatan “Tribute to Ashadi Siregar” tersebut seharusnya dimulai pukul 18.00. Namun, acara terlambat karena Ashadi, yang akrab disapa Bang Hadi, belum datang. Sembari menunggu, tamu undangan yang berdatangan mendaftarkan diri di resepsionis, lalu menuliskan pesan di sebuah dinding untuk Bang Hadi. Mereka juga memandangi foto Bang Hadi yang ada di sebuah bilik bambu.

Tak lama kemudian sosok bersahaja, berkacamata, dan berkemeja hitam muncul. Dialah Ashadi, yang muncul ditemani keluarganya. Bang Hadi adalah seorang mantan staf pengajar dari Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Karena telah mendapatkan surat pensiun, diadakanlah acara perpisahan dengan pria yang telah berjasa mengharumkan nama UGM, khususnya Jurusan Ilmu Komunikasi tersebut.

Begitu datang, alumni-alumni dari Jurusan Ilmu Komunikasi pun langsung menyambutnya. Mereka pun terlibat dalam sebuah pembicaraan. Ketika selesai berdiskusi, ia pun menyantap hidangan yang telah dipersiapkan. Begitu selesai, ia langsung didaulat untuk duduk di barisan terdepan.

Rangkaian acara pun dimulai. Dodi Ambardhi, dosen komunikasi, menaiki panggung untuk memberikan pidatonya. Sesudahnya, ditampilkan slide-slide foto Ashadi, kemudian sambutan dari Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Budhy Komarul Zaman.

Acara yang ditunggu pun tiba, sesi tumpengan. Sesi tumpengan tersebut tidak ubahnya seperti kue pada perayaan ulang tahun pada umumnya. Maka, Ashadi pun memotong puncaknya tepat di hari ulang tahunnya yang ke enam puluh lima. “Selamat ulang tahun, Bang Hadi!” kata MC.

Setelahnya, Ashadi pun naik ke podium dan memberikan pidatonya. Ia mengucapkan rasa terimakasihnya kepada seluruh alumni yang telah menyelenggarakan acara tersebut. Ia pun memberikan wejangan terhadap beberapa staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi dalam pidatonya. “Perubahan ilmu komunikasi semenjak Perang Dunia II tidak begitu berpengaruh pada jurusan. Saya titipkan jurusan komunikasi untuk tetap diperdebatkan,” pesannya.

Pidato Ashadi pun ditutup dengan gelak tawa meriah peserta undangan. Ia mengucapkan rasa harunya atas kejutan berupa acara untuk dirinya. Namun ia tetap berusaha untuk menutupinya sehingga timbullah mimik dan ucapan yang berkelakar darinya.

Sosok Ashadi memang layak untuk dikenang. Berbagai pendapat positif mengenai dirinya bermunculan. Seperti Saur Hutabarat , Pemimpin Redaksi Media Indonesia “Dia melihat segala sesuatu dengan pikiran yang berbeda.” Ditambahkannya, pria yang juga menulis novel Jentera Lepas itu berpikir atas dasar-dasar empirik. Ia tidak tergoda dengan pragmatisme. “Bang Hadi adalah orang yang jujur dan lugas,” jelasnya. Tak heran bila Bang Hadi disebut sebagai penjaga akal sehat dari Kampus Biru. Bagi Saur, Bang Hadi tidak akan pernah pensiun. Ia hanya pensiun secara administratif, namun ia akan tetap berkarya di bidang jurnalistik.

Tidak hanya itu, pria yang lahir di Pematang Siantar tersebut juga sangat giat di bidang media. Ia sempat menjadi pemimpin redaksi di koran , meski akhirnya dilarang terbit oleh pemerintah Orde Baru setelah terbitan yang ke-13. Walaupun diadili, ia tidak kenal kata menyerah. Tahun 1999, ia dipercaya lagi menjabat sebagai pemimpin redaksi di Surabaya Post. Bahkan kini Bang Hadi masih menjabat sebagai direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) sejak tahun 1992. LP3Y itulah yang kini menghasilkan sejumlah wartawan-wartawan handal.

Selain sebagai staf pengajar dan wartawan, pria kelahiran 3 Juli 1945 ini juga dikenal sebagai novelis handal. Beberapa novel yang telah ditulis dan meledak di pasaran antara lain Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir. Cintaku di Kampus Biru-lah yang semakin mengharumkan nama UGM, hingga UGM dikenal dengan sebutan ‘Kampus Biru’.

Uniknya, tidak ada satupun dari keluarganya yang memiliki profesi yang sama dengannya. Istrinya, Helga, berkecimpung dalam bidang desain grafis. Sementara itu, Banua, putra sulungnya, memiliki minat dalam hal fotografi. Messa, putra bungsunya lebih menyukai dunia psikologi. Ashadi pun memilih untuk tidak mencampurkan urusan rumah dan pekerjaan. Namun, Messa berpendapat bahwa ayahnya adalah teman diskusi yang baik. “Diskusi macam-macam. Mulai politik, sosial, dan lain-lain,” ujarnya.

Mengenang Ashadi, tidak akan pernah cukup dalam sebuah acara. Namun, setidaknya acara yang digagas Jurusan Komunikasi UGM ini merupakan apresiasi atas perjuangan Ashadi selama ini. Di akhir acara, pria yang menerima Satyalencana Karya Satya XXX pada tahun 2007 ini memberikan pesan singkat tetapi sarat makna bagi Ilmu Komunikasi UGM,” Bagi teman-teman muda untuk tetap saling berkomunikasi.”



Vita

NB:
berita keduaku yang dipublikasikan. Bisa juga dibaca di http://www.bulaksumur-online.com/component/content/article/1-latest-news/165-apresiasi-dan-reuni-untuk-bang-hadi.html

Tuesday 13 July 2010

Catatan SMA 2: Info VJ Hunt

11 Maret 2007, 17:20 waktu jam duduk di kamar

Kali ini aku disibukkan dengan mencari info audisi MTV VJ Hunt 2007. Hari ini kudapat informasi dari internet bahwa audisi Yogyakarta dilaksanakan dua hari: Jumat, 23 Maret di FISIP UGM dan Minggu, 25 Maret di Mall Galeria. Sayang, tidak disebutkan jamnya. Keterangannya memang kurang banyak. Jadi, di sana ada tulisan keterangan lebih lanjut lihat di tabloid atau media massa di daerah anda. Padahal keterangan di tabloid dan media massa pun tidak lebih lanjut.

Sepertinya aku akan mengikuti yang tanggal 23 karena aku malas minggu-minggu berangkat ke kota. Sedihnya, aku hanya akan sendirian di sana karena Nia sedang study tour ke Bali. Aku tidak mungkin mengajak keluarga. Bisa malu duluan aku!

Niatnya, aku tidak mau memberitahukan rencana ini pada siapa-siapa, kecuali teman. Mulai sekarang siap-siap saja latihan, kostum, other performances, dan tentunya siap malu juga di depan anak-anak kampus UGM. Aku pasti bakalan terasing di sana dan tidak ada satu pun yang kukenal sama sekali. Belum lagi kalau ketahuan sama Ndut karena kampusnya yang bersebelahan sekali dengan FISIP, yakni Ekonomi.

Catatan SMA 1: Guru Baru

3 Maret 2007 15:57 WHV (Waktu HP Vita)

Aku tiba-tiba jadi inget. Tadi di sekolah, sewaktu latihan untuk olimpiade science economy di ruang AVA (Audio Visual), aku, Pitik (Fitri), Astri, Risti, dan Idha sempat bercerita seru. Tak lama kemudian, kita semua mengganggu Pitik yang saat itu sedang hangat-hangatnya digosipkan dengan guru bahasa Indonesia yang masih muda dan bujangan, Pak Syarif. Sedangkan itu, Bu Suras, guru ekonomi kami sedang menghitung-hitung mencari jawaban soal.
Saat itu Pitik berkata kalau deritanya saat itu bakal lengkap kalau ada Bu Suras, Pak Mardi, dan satu lagi guru yang aku lupa siapa namanya. Mereka pasti bakal habis-habisan dalam menggoda dan menggosipkan Pitik dengan Pak Syarif. Tiba-tiba Bu Suras bertanya, “Bagaimana kabar guru bahasa Inggris kalian yang baru? Katanya dia sampai nangis-nangis?” *Maaf, kami sensor namanya!* Tak ayal pertanyaan pamungkas tersebut membuat kami berenam terlibat dalam obhat (obrolan curhat) tentang guru baru tersebut.
Sejurus kemudian, kami tahu bahwa “guru baru” itu marah kepada kelas kami karena beliau diadukan ke Bu Kus, Wakil Kepala Sekolah yang mengurusi murid-murid (aku lupa istilahnya. Tapi kalau di universitas, istilahnya Wadek Kemahasiswaan). Beliau tidak terima dan merasa kami yang mencari-cari masalah sendiri. Padahal kami melapor ke BK itu, kan apa adanya. Untuk apa kami mengadu ke BK yang tidak-tidak? Kami juga tahu, kok kalau melapor ke BK itu bukan permainan! Untuk apa juga kami cari gara-gara dan melaporkan orang ke BK kalau tidak ada masalah? Capek, deh!
Kemudian pembicaraan kami berlanjut ke soal beliau yang membanding-bandingkan daerah, mengajar di empat provinsi, dll. Bu Suras berkata bijak, anak mana pun tidak ada yang mau dibanding-bandingkan. Bu Suras berkata demikian dengan pengalaman bahwa dulu murid-muridnya ingin kembali diajar olehnya karena guru ekonomi yang baru suka membanding-bandingkan. Bu Suras bahkan sependapat dengan Bu Noor Zaimah. “Kalau saya jadi guru baru, bukan anak-anak yang harus adaptasi. Akan tetapi saya yang harus adaptasi,” kata Bu Suras. Bu Noor sendiri bilang, “Jangan mau kita yang menyesuaikan dia, tetapi dia yang harus menyesuaikan diri dengan kita.”
Klop habis, deh! Jadi, di rumah aku sempat terpikir kalau “guru baru” kami itu kurang fleksibel. Selain itu, aku sendiri belum pernah merasakan bagaimana senyuman beliau. Sejak awal beliau berpidato di upacara sampai detik terakhir aku melihatnya mengajar di kelas. Wajahnya masam saja, datar, kaku, membosankan, dan tidak bisa diajak akrab. Diajak bercanda saja tidak mau, malah tersinggung.
Kemudian, katanya Bu Noor dan Bu Fat (guru agama Islam dan juga wakil kepala sekolah) lebih membela kelas kami daripada “guru baru” tersebut. Konon, Bu Fat agak sedikit tidak cocok juga dengan beliau.
Kemudian Pitik bercerita. Bu Endang (entah Endang siapa. Mungkin Bu Endang Bahasa Inggris) mau mengantar “guru baru” tersebut ke RS dengan becak. Kan sekolah kami dekat dengan sejumlah RS sehingga naik becak cukuplah! Tapi beliau tidak berkenan dan memilih naik taksi! Wah, mendengar itu aku jadi sebal padanya! Terlihat sombong, apalagi dengan gaya hidupnya yang kaya. Lalu melihat cat kukunya yang membuat penampilannya “wow!”.
Sudahlah! Besok akan kuceritakan ini pada Nia.

NB:
Kejadian ini terjadi sewaktu aku kelas dua SMA. Kelasku memang sering sekali terlibat permasalahan dengan beberapa guru. Hebatnya, kami selalu bersatu dan tampil kompak. Maklum, kelas kami adalah satu-satunya kelas sosial di kelas dua. Konon setelah selesai mengajar untuk angkatan kami, “guru baru” tersebut tidak lagi mengajar untuk kelas IPS.
Buat “guru baru”, tetap semangat mengajar bahasa Inggris ya, Bu! Jadikan SMA kami tetap unggul di bahasa Inggris, walaupun sejumlah guru andalan bahasa Inggris kini telah pensiun.
Buat Bu Suras dan Pak Mardi, aku kangen kalian! Aku ingin punya dosen seperti kalian yang mengajar komunikasi, hehehe… Dosen komunikasi ada yang pelit kasih nilai, tidak seperti kalian! Hihihi… (*prihatin setelah melihat KHS*)
Buat guru lain yang sempat disebut di atas, terimakasih ya sudah mendidik dan mewarnai hidupku sehingga aku bisa menuliskannya! :)

Diskusi bersama Prof. Dr. Gaetan Tremblay, Mahasiswa Antusias Berdiskusi

Rabu 2 Juni 2010 lalu, Jurusan Ilmu Komunikasi menyelenggarakan kuliah umum berjudul “Cultural Industries, Creative Economy, and the Information Society”. Diskusi yang dimulai pukul 10.00 WIB di Ruang Seminar Lantai II Sayap Barat, Gedung Fisipol UGM ini, menghadirkan Prof. Dr. Gaetan Tremblay, profesor bereputasi internasional dari Universitas Quebec, Montreal, Kanada. Diskusi yang dimoderatori Tore Eses, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM ini, berlangsung menarik.

Gaetan Tremblay yang memiliki spesifikasi pada bidang industri kreatif ini, membuka presentasinya mengenai sejarah industri kreatif. Industri tersebut dimulai pada sepuluh tahun yang lalu oleh Partai Buruh dari Tony Blair. Pada awalnya ide itu hanya bersifat politis saja. “Ide tersebut dengan cepatnya disebarluaskan hingga kalangan teknokrat dan akademisi,” ujar Tremblay. Ia menambahkan, setiap karya kebudayaan, bahkan yang diproduksi secara industri, secara tidak langsung juga termasuk sebuah karya kreatif. “Jantung ekonomi kreatif adalah industri kreatif,” lengkap Tremblay. Dalam hal ini, Cina adalah negara yang keseluruhan industri kreatifnya paling banyak di dunia. Pada akhir diskusi yang didukung oleh Komako ini, moderator menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki potensi kreatif yang dapat dikembangkan.

Sesi tanya jawab setelahnya berlangsung sangat menarik. Beberapa peserta menunjukkan atensinya dengan mengajukan pertanyaan kritis kepada pembicara. Tak mau kalah dengan peserta, Tremblay bahkan sempat berkelakar ketika menjawab pertanyaan salah seorang peserta. Suasana diskusi menjadi cair karenanya. Tremblay pun mengaku senang dan beruntung sekali bisa menjadi pembicara dalam kuliah umum tersebut. Terlebih lagi ia menjadi pembicara di universitas terbaik di Indonesia.

Siang harinya, pukul 15.00 WIB diselenggarakan pula Seminar Terbatas Program S2 Komunikasi. Masih dengan pembicara yang sama, seminar terbatas kali ini membahas tema “Marshall McLUhan, Harold Innis, and Communication Research in Canada”. Acara yang diselenggarakan oleh Program Studi S2 Komunikasi UGM ini dimoderatori oleh Pulung Setiosuci Perbawani, SIP., MM, salah satu staff pengajar Jurusan Komunikasi UGM.

Sama halnya dengan kuliah umum untuk mahasiswa Program Studi S1 Jurusan Ilmu Komunikasi, seminar ini pun berlangsung seru. Pada sesi tanya jawabnya, beberapa peserta terlihat sangat antusias. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan menarik untuk dijawab oleh Tremblay.

Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fisipol UGM yang juga salah satu pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi, Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni mengatakan, “Diskusi tersebut sebenarnya sebagai bagian dari kegiatan prodi untuk research faculty dan kemudian international standard.” Ditambahkannya lagi, tema tersebut diangkat karena merupakan spesifikasi dari Gaetan Tremblay, yaitu industri kreatif.

Menurut Hermin, diskusi tersebut memiliki relevansi dengan kurikulum di Jurusan Komunikasi. “Saya kira jurusan paling tepat untuk mengembangkan kajian-kajian itu,” ujarnya. Hermin juga berharap, seminar ini dapat memperluas wawasan internasional mahasiswa sehingga mahasiswa tahu apa yang akan dikembangkan oleh mahasiswa komunikasi di negara lain.


NB:
Ini adalah berita pertama saya yang dipublikasikan. Berita ini juga dapat dilihat di http://www.komunikasi.fisipol.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:cultural-industries-creative-economy-and-the-information-society&catid=35:on-the-spot&Itemid=72

Sunday 11 April 2010

Un Chien Andalou (An Andalusian Dog)

Sutradara : Luis Bunuel
Penulis : Salvador Dali dan Luis Bunuel
Dirilis : 6 Juni 1929 di Perancis
Genre : Drama
Durasi : 16 menit
Pemain : Simone Mareuil, Pierre Batcheff, Luis Buñuel, Salvador Dalí, Jaime Miravilles

Bagi banyak orang, film ini memang begitu membingungkan, tidak biasa, dan berbeda dengan film-film yang sering kita saksikan. Seakan-akan tidak ada alur dalam film ini karena film ini menggunakan logika mimpi. Seperti layaknya kita bermimpi, segala hal yang terjadi di dalamnya kerap kali tak masuk akal dan tidak nyambung. Hal inilah yang Bunuel dan Dali angkat dalam film surealis ini.
Film ini dibuka dengan adegan seorang pria yang sedang mengasah pisau cukurnya. Lalu ia melihat bulan tertutup awan yang mirip seperti mata yang dibelah pisau cukur. Kemudian nampak pria itu membelah mata istrinya dengan pisau cukur itu.
Setelah itu, adegan berganti ke delapan tahun kemudian di mana ada seorang wanita melihat ke luar jendela apartemennya dan melihat ada seorang laki-laki berpakaian misionaris dengan kotak terkunci yang dikalungkan di leher mengenakan sepedanya, jatuh di pinggir jalan. Setelah itu, wanita itu tampak mengumpulkan dan menyusun baju pria yang ternyata kekasihnya tadi di atas ranjang. Tiba-tiba kekasihnya datang dari belakang dan sang wanita tampak melihat tangan kekasihnya. Ternyata tangannya berlubang dan dari lubang itu keluar semut. Setelah itu, wanita melihat ketiaknya.
Sedangkan di bawah apartemen sudah ada seorang detektif dan gerombolan orang datang ke tempat misionaris itu jatuh tadi. Detektif itu menemukan tangan dalam kotak yang dibawa misionaris tadi. Kemudian ia merenung dan nampaknya menemukan titik terang akan kejadian itu, akan tetapi kemudian ia tertabrak mobil.
Setelah melihat kejadian itu, kekasih melihat sang wanita dan kemudian memegang dada wanita itu. Awalnya wanita itu nampak tidak mau akan tetapi ia sedikit memberikan kesempatan kepada kekasih untuk melakukannya. Setelah itu ia mendorong kekasihnya itu dan mencoba untuk melarikan diri sambil melakukan sedikit pemberontakan. Kekasih itu kemudian juga melakukan pembelaan diri dengan mengambil raket, akan tetapi tiba-tiba ia meraih dua piano besar yang diikuti oleh keledai busuk dan loh batu Sepuluh Perintah Allah. Dan kemudian sang wanita bisa melarikan diri.
Adegan beralih pada sekitar jam tiga pagi. Kekasih terbangun dari ranjang yang berbeda apartemen oleh suara senjata. Ternyata ayahnya datang dan marah-marah karena ia berani melakukan hal bejat kepada istrinya. Ia pun diberi hukuman. Apa yang terjadi kemudian adalah ia menembak ayahnya dengan buku yang kemudian berubah menjadi pistol. Selanjutnya ada adegan kematian ngengat di dinding. Kemudian sang istri meninggalkan sang kekasih dengan menjulurkan lidah dan keluar dari apartemen.
Ketika ia keluar dari apartemen, tampak setting tempat berubah menjadi pantai. Kemudian ia menemui suaminya dan berjalan bersama dengan sangat bahagia. Setelah itu adegan beralih ke musim semi dan memperlihatkan wanita itu dan suaminya terkubur pasir sampai bahu.
Mungkin saja Dali dan Bunuel lewat film ini ingin mengatakan bahwa tidak selamanya semua hal bisa menggunakan logika karena sesungguhnya tak ada yang ingin mereka sampaikan lewat film ini. Ada beberapa hal, bahkan banyak hal yang tidak bisa kita jelaskan dengan logika dan maka dari itu kita harus bersiap.

THE BLAIR WITCH PROJECT

Bagian yang paling berkesan bagiku adalah ketika ada wawancara dengan seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Di situ ada tingkah laku dari si anak yang memancing tawa penonton. Ia mengupil dengan polosnya kemudian jari yang ia gunakan untuk mengupil tadi diisapnya di mulut. Kesannya jijik, tetapi lucu. Kemudian ia menangis dan mengatakan “No, no!” seakan-akan ia tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya adalah hal yang berbau horror. Bahkan sejurus kemudian ia memukul mulut ibunya seakan-akan ia ingin menyuruh ibunya dengan paksa untuk menceritakan hal itu. Acting anak ini sesungguhnya bisa memperkuat kesan horror dalam film ini. Bagaimana mitos tentang Blair Witch itu sungguh nyata dan membuat setiap orang takut akannya.
Selain itu, dari wawancara ini pula menyebutkan bahwa seakan-akan mitos tentang Blair Witch ini sudah sangat terkenal di dunia. Karena ibu yang menggendong anak tadi menyebutkan bahwa mitos ini pun pernah dibahas di National Geographic Channel. Hal ini dikuatkan dengan gapura yang menunjukkan bahwa Desa Burkitsville dijadikan sebagai desa sejarah.

Siaran Acara yang Kusuka dan Tidak Kusukai

Kita tentunya sudah familiar dengan radio dan televisi, yaitu media komunikasi yang selama ini selalu menemani hari-hari kita. Selain memberi informasi, kedua media ini dapat memberikan unsur-unsur edukasi, hiburan, serta persuatif. Dari sekian banyak channel yang ditawarkan dari kedua media penyiaran tersebut pasti ada program yang kita sukai dan tidak kita sukai. Di sini, aku akan menceritakan tentang program acara dari televisi dan radio yang kusuka dan tidak kusuka beserta alasannya.
Acara televisi yang kusuka adalah Laptop Si Unyil. Kita akan mendapatkan paparan wawasan dan ilmu dengan sangat mudah. Bagi sejumlah orang yang kurang suka berkutat lama dengan buku, bisa mendapatkan pengalaman audio visual di sini. Tayangan ini memaparkan pengetahuan diselingi drama boneka yang memerankan Si Unyil. Terkadang ia ditemani kawannya seperti Melani atau Usro atau oleh tetangganya, seperti Pak Raden atau Pak Ogah. Mereka hadir dan membaur di tengah dunia nyata bersama-sama anak-anak Indonesia yang sedang asyik melakukan kegiatannya. Tak ayal muncul humor-humor yang dialami Si Unyil. Jadi, di samping mendidik dan memberi informasi, tayangan ini juga bersifat menghibur. Penonton juga akan disajikan tayangan animasi tentang asal-usul tema yang diangkat.
Tayangan ini ditargetkan untuk anak-anak. Namun, tak menghalangi orang dewasa menontonnya, karena sifatnya yang mendidik dan memberi informasi. Bahasa yang digunakan cukup ringan dan mudah diserap oleh semua kalangan. Isinya juga aman dan tepat sasaran. Tak heran acara ini mendapat penghargaan sebagai program televisi yang mendidik tahun lalu. Penggagas acara ini cukup kreatif mengemas Si Unyil yang lama vakum dan dahulunya hanya opera boneka saja. Kini tayangan ini dapat kembali dinikmati anak-anak dengan mengikuti perkembangan zaman.
Acara televisi yang tidak kusukai adalah reality show Curhat Dengan Anjasmara yang membahas masalah percintaan. Alasannya tayangan ini tidak menghibur, tidak memberi informasi, dan tidak mendidik. Tidak menghibur karena isinya hanya permasalahan dan ujung-ujungnya mengakibatkan perselisihan, bahkan kekerasan yang dikemas dalam skenario yang serba dramatis. Tidak memberikan informasi karena berkutat pada masalah pribadi manusia yang tidak layak dipertontonkan. Tidak mendidik karena muatan pengetahuannya tidak ada.
Curhat Dengan Anjasmara bisa dibilang sebagai drama yang diembel-embeli label reality show alias tidak nyata. Ini bisa dilihat dari ekspresi pelakunya yang tidak natural dan dipaksakan demi memenuhi kepuasan penonton akan tayangan yang dramatis. Setiap episode pasti ada kekisruhan. Awalnya perang mulut, semakin memanas, hingga akhirnya perkelahian. Anehnya, Anjasmara selalu menenangkan peserta, mengatakan jangan emosi, serta memanggil produser untuk memastikan semuanya berjalan baik-baik saja, tapi selalu gagal. Bahkan, ia sendiri ikut terpancing amarah. Akhirnya Anjasmara dan produsernya, terlibat kesulitan melerai peserta yang terlibat keributan tanpa ada pihak lain yang membantu.
Keanehan kedua, mengapa penonton di studio selalu kompak bersorak apabila ada suatu kejadian yang mulai memancing emosi, dengan kata-kata “Huuuu!!!”? Ini seperti sudah dikomando oleh kru acara. Di samping itu, ending acara menggantung. Tidak ada penyelesaian atau kepastian mengenai masalah yang dibicarakan. Yang kita saksikan berkesan seperti obrolan kosong. Andai saja jam tayang Curhat Dengan Anjasmara ini sekarang belum diubah, akan semakin minus pula acara ini. Sebelumnya acara ini diputar sekitar pukul 18.00 WIB. Itu menandakan, acara untuk dewasa ini ditayangkan pada jam tayang yang salah karena anak-anak pada jam itu dapat menyaksikan acara ini. Padahal di dalamnya memiliki muatan kekerasan.
Aku berharap masyarakat yang berperan sebagai penonton bisa memilih mana tayangan yang bermutu, yang benar-benar bermanfaat bagi kehidupan, terutama bagi anak-anak. Walaupun tayangan seperti itu tetap ditayangkan, akan tetapi bila kita tidak menontonnya, maka rating acara tersebut akan turun sehingga acara itu kemudian akan diberhentikan penayangannya.
Siaran radio yang kusukai adalah The Greatest Memories yang disiarkan Radio Yasika 95.40 FM. Acara ini berformat curhat tetapi tidak anarkis seperti tayangan Curhat Dengan Anjasmara. Penyiarnya akan membacakan surat atau email dari pendengarnya sambil diiringi alunan backsound khas The Greatest Memories. Kemudian diberikan solusi-solusi atas permasalahan itu. Setelah itu, diputarlah lagu yang liriknya sesuai dengan masalah yang dibacakan.
Siaran ini memberi masukan bagaimana bersikap bila nanti mengalami permasalahan kehidupan yang sama. Dengan kata lain, acara ini memberikan kita unsur informasi. Masalah yang dibacakan di dalamnya tidak hanya masalah asmara saja. Permasalahan kehidupan yang lain, seperti persahabatan dan keluarga juga bisa dibicarakan. Untuk mengikuti acara ini tidak perlu malu karena bisa menggunakan nama samara dan pendengar juga tidak melihat wajah kita. Ada juga unsur hiburan dalam acara ini lewat lagu yang diputar, serta motivasi dari penyiar.
Siaran radio yang tidak aku sukai adalah Kuis Tiban. Kuis ini disiarkan di Yasika FM di sela-sela acara The Greatest Memories. Kuis ini memberikan pertanyaan berupa tebak-tebakan. Yang menjawab benar mendapatkan hadiah. Untuk mengikuti kuis ini, kita perlu bergabung lewat telepon atau sms. Sejauh ini, pertanyaan yang disampaikan sangat susah dijawab dan begitu banyak yang gagal dalam kuis ini. Apabila dalam satu sesi belum ada yang bisa menjawab dan tidak ada satu pun sms masuk dalam jangka waktu yang ditentukan, maka jawaban yang benar tidak bisa diberitahukan dan kuis akan dilanjutkan lagi keesokan harinya, hingga jangka waktu yang cukup lama. Umumnya bisa mencapai satu minggu. Hal ini membuatku ragu, apakah kuis ini benar-benar ada atau bohongan.
Menurutku, acara ini tidak masuk dalam kategori mendidik dan memberi informasi. Akan tetapi merupakan bentuk komunikasi untuk mempengaruhi pendengar mengikuti kuis ini dan mengejar hadiahnya atau disebut persuasi. Acara ini bisa masuk dalam kategori menghibur, akan tetapi hanya sedikit.
Setelah mencari di internet perihal kuis ini, banyak sekali radio-radio lain di Jawa yang menyiarkan kuis seperti ini. Banyak orang protes terhadap kuis seperti ini karena ternyata ini hanya tipuan. Pemenang kuis bukanlah yang bisa menjawab dengan benar dan dapat mengirim jawabannya dalam waktu cepat, melainkan peserta yang dapat mengirim sms sebanyaknya atau bahkan tidak ada pemenang sama sekali demi mengeruk keuntungan dan kemudian pemenang yang diberitakan adalah pemenang yang dipalsukan. Kemudian acara ini disiarkan tidak live. Jika ada percakapan antara penyiar dan peserta, itu hanyalah rekaman. Orang yang menelepon adalah orang dalam. Kemudian rekaman itu diputar berulang-ulang.
Aku agak lega di sejumlah daerah kuis seperti ini sudah ditindak tegas oleh aparat yang berwenang. Sayang, Kuis Tiban yang kumaksud belum ditindak. Semoga ada tindakan tegas atas hal ini dan tidak ada Kuis Tiban lainnya karena ini termasuk penipuan dan perjudian.

REAR WINDOW VS DISTURBIA

Pada film Rear Window, setting tempat yang digunakan cenderung sederhana. Dalam artian ia tidak berpindah-pindah tempat, akan tetapi ia bisa bercerita banyak terutama tentang kecurigaan si tokoh utama, Freemont. Ia hanya terduduk di pinggir jendela belakang apartemennya karena ia mengalami cidera pada kakinya. Hal itu menyulitkannya untuk bergerak bebas. Untuk mengatasi kebosanannya, ia mengamati aktivitas masing-masing tetangganya yang tertampil dari jendela apartemen mereka masing-masing. Freemont juga kerap terlibat pembicaraan dengan beberapa tokoh yang mampir ke apartemennya, seperti perawatnya atau calon istrinya.
Ada sudut pandang di mana sang tokoh utama melihat kegiatan beberapa tetangganya lewat jendela-jendela. Di sinilah menurutku, sisi artistik dari film ini muncul. Bagaimana sang sutradara bisa menyoroti masing-masing kegiatan tetangga yang berbeda-beda dari satu jendela saja. Hingga kemudian Freemont mencurigai seorang pria bernama Lars Thorwald, yang ia duga membunuh seorang wanita, yang beberapa hari sebelumnya kerap terlihat di apartemennya. Ia pun meminta tolong kepada perawatnya dan calon istrinya untuk menyelidiki hal ini.
Kemudian yang menarik dari film ini adalah mengenai dekorasinya. Film ini diambil indoor dan menggunakan dekorasi gedung di dalamnya, bukan diambil dari gedung sungguhan. Detil-detil yang digunakan juga mirip dengan aslinya. Seperti misalnya ada jalan yang dilewati mobil, kemudian juga ada beberapa anak kecil bermain di pinggir jalan raya, serta taman-tamannya. Tidak lupa juga detil suara jalan raya dan ramainya anak-anak bermain yang bisa terdengar dari kamar Freemont. Bisa dibilang sederhana akan tetapi cukup sulit untuk dibuat. Yang jelas, film ini klasik sekali.
Sedangkan film Disturbia, yang notabene adalah remake dari film Rear Window justru bisa dikemas lebih menarik. Konflik-konflik tertentu yang disuguhkan di dalamnya pun semakin menambah unsur dramatisasi film ini. Selalu ada greget atau bagian-bagian yang menegangkan yang membuatnya tidak monoton seperti di Rear Window. Misalnya sewaktu Mr. Turner tiba-tiba ada di dalam rumah Kale.
Kalau di Rear Window kesan klasik sangat terlihat, di Disturbia justru kebalikannya. Selain ada teropong, ada pula handycam dengan tripodnya, dan komputer yang memiliki kemampuan internet. Ada pula Ipod, Macbook, dan mesin cuci yang tidak ditemukan di Rear Window. Dan satu lagi, yaitu situs Youtube yang diucapkan di akhir film.
Setting tempat pada Disturbia lebih ke kompleks perumahan, bukan apartemen. Kemudian jendela yang diamati lebih terfokus pada jendela rumah Miss Carlson dan Mr. Turner. Sedangkan tetangga yang lainnya hanyalah selingan pada awal film. Menurutku, ini mengurangi unsur estetika film. Akan tetapi, untungnya unsur estetika itu tergantikan oleh alur cerita yang menggigit.
Kalau di Rear Window pelakunya adalah orang yang sudah cukup tua, di Disturbia pemainnya adalah anak muda. Hal ini semakin menguatkan segmentasi film ini. Tentu saja lebih ditujukan untuk remaja. Apalagi di dalam Disturbia, bumbu-bumbu cinta lebih kental.
Scene yang paling mirip adalah scene wanita melepas bra yang membelakangi kamera. Sedangkan pemain utamanya sama-sama memiliki masalah dengan kaki, akan tetapi Mr Freemont karena digips, sedangkan Kale karena terkena hukuman tahanan rumah.

PETUALANGAN SHERINA: FILM INDONESIA YANG BAGUS

Film Indonesia yang bagus menurutku adalah Petualangan Sherina. Setahuku, film ini adalah pelopor film anak-anak di Indonesia. Sebelumnya film anak-anak lebih popular di luar negeri. Film anak-anak lebih banyak dibuat di luar negeri, seperti Amerika dan Eropa. Apalagi film ini dipadukan dengan genre adventure (petualangan). Kita bisa melihat betapa banyaknya koleksi film anak-anak luar negeri, terutama Hollywood yang bergenre adventure. Bandingkan dengan Indonesia yang saat itu belum memiliki film untuk anak-anak.
Poin yang menambah bagusnya film ini adalah film ini merupakan tunas pembangkit bertumbuhnya kembali perfilman nasional yang sudah lama layu. Dengan adanya kesuksesan film ini, ia merangsang jiwa-jiwa anak muda di Indonesia untuk kembali berkarya memproduksi film. Kita lihat saja setelah Petualangan Sherina, muncullah AAdC (Ada Apa dengan Cinta), Eiffel I’m In Love, Jailangkung, dan kemudian bertambah lagi semakin banyak hingga sekarang.
Kemudian cerita di dalamnya menurutku tidak wagu. Memang genre film ini terkesan sangat meniru film Hollywood sebab bukan kebiasaan perfilman Indonesia membuat film anak-anak yang berpetualang seperti ini. Ada scene anak-anak dikejar penjahat, penculikan, dan scene lain yang sudah umum. Akan tetapi dari segi cerita ia tetap berbeda. Apalagi didukung setting dan latar belakang budaya Indonesia yang cukup kental ditampilkan di film ini. Sehingga yang membedakannya adalah film ini tidak terlalu pop dalam setting dan latar belakang.
Selanjutnya, selain genre anak-anak dan adventure, film ini juga bergenre musikal. Aku rasa aku belum pernah menemukan ini di film Hollywood karena setahuku tidak banyak penyanyi cilik di sana yang sekaligus bisa bermain film. Di Indonesia kebetulan ada Sherina yang saat itu sedang booming sebagai penyanyi dan dimanfaatkanlah dia sebagai penarik cerita. Mungkin itu saja yang bisa kujelaskan, berhubung juga tempat terbatas. Singkat kata, Petualangan Sherina adalah pelopor film anak-anak Indonesia yang kreatif!

PERKEMBANGAN SISTEM PERS DI INDONESIA

Pengertian Pers

Secara etimologis, kata pers atau press (dalam Bahasa Inggris) artinya menekan atau mengepres. Isitlah ini merujuk pada alat dari besi atau baja yang di antara dua lembar besi tersebut diletakkan suatu barang. Kata pers berkaitan dengan upaya menertibkan sesuatu dengan upaya menertibkan sesuatu melalui cara mencetak. Proses produksinya adalah dengan cara memakai tekanan (pressing).
Menurut Lesikow, komunikasi pers memiliki arti sebagai berikut:
a. Usaha percetakan atau penerbitan
b. Usaha pengumpulan dan penyiaran berita
c. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan televisi
d. Orang-orang yang bergerak dalam penyiaran berita
e. Media penyiaran berita yakni surat kabar, majalah, radio, dan televisi.

Terdapat dua pengertian tentang pers:
a. Pers dalam arti sempit: adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran, majalah, tabloid, dan bulletin-buletin pada kantor berita.
b. Pers dalam arti luas: mencakup semua media komunikasi yaitu media cetak, media audio, media audiovisual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi, film, internet, dan sebagainya.

Menurut UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Pengertian inilah yang termasuk pengertian pers dalam arti luas.

Perkembangan Pers di Indonesia

Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak lepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi tiga golongan.
a. Pers Kolonial
Pers kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonial Belanda. Di samping itu, pers kolonial juga membantu usaha pemerintah Hindia Belanda dalam melanggengkan kekuasaannya di tanah air.
b. Pers Cina
Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina meliputi koran-koran, surat, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia, atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
c. Pers Nasional
Pers nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan.
Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak tahun 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan dengan modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.

Adapun perkembangan pers nasional dimulai sejak masa pergerakan, masa penjajahan Jepang, masa revolusi fisik, masa demokrasi Liberal, masa demokrasi Terpimpin, masa orde baru, dan pers di era reformasi sekarang ini.
a. Pers masa pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers masa pergerakan tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan nasional.
Setelah munculnya pergerakan modern Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat ini merupakan corong dari organisasi pergerakan Indonesia.
Karena sifat dan isi pers pergerakan adalah anti penjajahan, pers mendapatkan tekanan dari pemerintah Hindia Belanda. Salah satu cara pemerintah Hindia Belanda saat itu adalah dengan memberikan hak kepada pemerintah untuk menutup usaha penerbitan pers pergerakan. Pada masa pergerakan itu berdirilah kantor berita nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.
b. Pers masa penjajahan Jepang
Pada masa ini, pers nasional mengalami kemunduran besar. Pers nasional yang pernah hidup di zaman pergerakan, secara sendiri-sendiri dipaksa bergabung untuk tujuan yang sama, yaitu mendukung kepentingan Jepang. Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang.
Dan di akhir pemerintahan kolonial Jepang, pers radio punya peran yang sangat signifikan. Ia turut membantu penyebarluasan Proklamasi dan beberapa saat sesudahnya dalam Perang Kemerdekaan.
c. Pers masa Revolusi Fisik
Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah saat bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan.
Saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan.
• Pers NICA, yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda. Pers ini berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk bekuasa di Indonesia.
• Pers Republik, yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia. Pers Republik disuarakan oleh kaum republik yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu.
d. Pers masa Demokrasi Liberal
Masa Demokrasi Liberal adalah masa di antara tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu itu Indonesia menganut system parlementer yang berpaham liberal. Pers nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati adanya kebebasan pers. Pers nasional pada umumnya mewakili aliran politik yang saling berbeda. Fungsi pers dalam masa pergerakan dan revolusi berubah menjadi pers sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.
e. Pers masa Demokrasi Terpimpin
Masa Demokrasi Terpimpin adalah masa kepemimpinan Presiden Soekarno (1959-1965). Masa ini berawal dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1955 untuk mengakhiri masa Demokrasi Liberal yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Sejak itu mulailah masa Demokrasi Terpimpin dengan mendasarkan kembali pada UUD 1945.
Sejalan dengan Demokrasi Terpimpin, pers nasional dikatakan menganut konsep otoriter. Pers nasional saat itu merupakan corong penguasa dan bertugas mengagung-agungkan pribadi presiden, serta mengindoktrinasikan manipol. Pers diberi tugas menggerakkan aksi-aksi massa yang revolusioner dengan jalan memberikan penerangan, membangkitkan jiwa, dan kehendak massa agar mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainnya.
Pada masa ini, mucullah pers televisi. Awal mulanya adalah dari keinginan untuk menyiarkan Pesta Olah Raga Asia IV atau Asian Games IV. Setelah acara ini berakhir, TVRI tidak dapat melanjutkan siarannya karena belum tersedianya studio dan keterlambatan persediaan film. Atas desakan Yayasan “Gelora Bung Karno” dibangunlah studio darurat sebagai studio operasional yang memungkinkan TVRI siaran satu jam sehari. Pada kemudian hari, TVRI semakin berkembang dan hingga akhirnya kini sudah ada banyak stasiun televisi swasta yang juga ikut melakukan kegiatan pers.
f. Pers masa Orde Baru
Pers senantiasa mencerminkan situasi dan kondisi masyarakatnya. Pers nasional pada masa Orde Baru adalah salah satu unsur penggerak pembangunan. Pemerintah Orde Baru sangat mengharapkan pers nasional sebagai mitra dalam menggalakkan pembangunan sebagai jalan memperbaiki taraf hidup rakyat.
Pada saat itu, pers menjadi alat vital dalam mengkomunikasikan pembangunan. Karena pembangunan sangat penting bagi orde baru, maka pers yang mengkritik pembangunan mendapat tekanan. Orde baru yang pada mulanya bersifat terbuka dan mendukung pers, namun dalam perjalanan berikutnya mulai menekan kebebasan pers. Pers yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah atau berlaku berani mengkritik pemerintah akan dibredel atau dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kita tentunya masih ingat dengan kasus yang dialami oleh majalah Tempo. Media tersebut pernah dicabut SIUPPnya akibat pemberitaan yang kritis terhadap pemerintahan Orde Baru.
g. Pers masa Reformasi
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasannya. Hal demikian sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Pemerintah pada masa reformasi sangat mempermudah izin penerbitan pers. Akibatnya, pada awal reformasi banyak sekali penerbitan pers baru bermunculan. Bisa dikatakan pada awal reformasi kemunculan pers ibarat jamur di musim hujan.
Pada masa inilah marak bermunculan apa yang disebut jurnalisme online. Kalau sebelumnya pers di Indonesia masih didominasi oleh media cetak dan media penyiaran, pada masa ini mulai banyak berdiri sejumlah jurnalisme online. Jurnalisme ini menggunakan sarana internet sebagai medianya. Jurnalisme ini mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh jurnalisme media cetak dan media penyiaran.
Kelebihan itu adalah setiap individu memiliki peluang untuk memperoleh informasi dari sumber yang sangat luas. Kedua, jurnalisme online bisa menyiarkan informasi dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu yang sangat pendek. Yang ketiga adalah bisa menggabungkan tulisan, gambar, dan suara dalam satu kemasan (Abrar,2003:49).
Kelebihan itu yang dianggap sebagai tantangan besar bagi para pelaku pers, terutama surat kabar. Namun pada kenyataannya, jurnalisme online yang sekarang sudah ada di Indonesia belum bisa dikatakan mengancam keberadaan media cetak secara besar. Sejauh ini, keberadaaan jurnalisme media cetak dan jurnalisme online masih saling melengkapi. Sebetulnya media surat kabar berada pada posisi yang kuat untuk membangun masa depan berdasarkan posisi unik mereka di masa lalu yang cukup kuat dan telah mengakar di masyarakat luas. Kehadiran berbagai media online diyakini hanya akan meredefinisikan media cetak konvensional (Grafika, 2000:11).
Jurnalisme online sendiri memliki kekurangan. Ia kurang memiliki kredibilitas, sehingga apa yang sudah orang lihat di internet belum tentu tepat. Maka orang akan mencari-cari lagi dari sumber yang kredibilitasnya tinggi, salah satunya lewat pemberitaan media cetak dan media penyiaran.
Pada masa reformasi, keluarlah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
UU RI No. 40 Tahun 1999, antara lain juga menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. UU ini juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan Dewan Pers.
Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap. Dengan instalasi kabinet B.J. Habibie, proses tersebut dikurangi menjadi tiga tahap saja. Terlebih pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Departemen Penerangan yang menjadi momok bagi dunia pers dengan SIUPPnya dibubarkan. Hal ini membawa pengaruh sangat besar bagi perkembangan dunia pers di Indonesia.
Dengan longgarnya proses mendapatkan SIUPP, hampir 1.000 SIUPP baru telah disetujui bulan Juni 1998 sampai Desember 2000. Angka tersebut tidak termasuk sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi dan setelah tahun 2000. Sebagian besar penerbitan tersebut merupakan tabloid mingguan yang berorientasi politik. Penerbitan tersebut dimiliki dan didukung oleh konglomerat media, misalnya Bangkit (Kompas-Gramedia Group) dan Oposisi (Jawa Pos Group).
Namun, dunia pers kembali mengalami kekhawatiran di masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. UU Penyiaran tersebut dirasakan banyak pasal yang tidak demokratis sehingga dapat membelenggu dunia pers, terutama pada pers radio dan televisi.

Pers Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
• Tahun 1945-an, pers Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan
• Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya
• Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi
• Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi
• Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan B.J. Habibie yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.

Kaitan Dengan Model Pers

Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm (1956) membagi sistem komunikasi pada empat model pers, yaitu Pers Otoritarian, Pers Libertarian, Pers Soviet Komunis atau Pers Totalitarian, dan Pers Tanggungjawab Sosial. Di antara keempat model tersebut, Indonesia pernah menganut Pers Otoritarian, Pers Libertarian, dan Pers Tanggungjawab Sosial.
1. Pers Otoritarian
Otoritarian artinya kekuasaan yang mutlak atau otoriter. Falsafah dari teori pers otoritarian adalah pers menjadi kekuasaan mutlak dari kerajaan atau pemerintah yang berkuasa guna mendukung kebijakannya. Teori ini pertama kali muncul dan dikembangkan di Inggris pada abad XV dan XVII yang kemudian menjalar ke seluruh dunia.
Pers menjadi pendukung dan kepanjangan tangan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor langsung, dan peraturan yang diterapkan sendiri dalam tubuh serikat pemilik mesin cetak, individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik pemerintah yang berkuasa. Pers bisa dimiliki baik secara publik atau perorangan, akan tetapi tetap dianggap sebagai alat untuk menyebarkan kebijakan pemerintah (Severin,2005:374).
Pers ini pernah dijalani Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin. Masa Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan karena itulah system pemerintahan Indonesia menjadi Demokrasi Terpimpin. Otomatis, system pers Indonesia ikut berubah. Pers kemudian menjadi corong penguasa dan bertugas mengagungkan-agungkan presiden. Pers diarahkan untuk membentuk opini masyarakat yang baik kepada pemerintah agar bisa memuluskan semua kepentingan pemerintahan.
Sama halnya dengan pers masa Orde Baru. Pemerintah sangat berharap rakyat mampu menjadi mitra dalam melaksanakan kebijakan pemerintah, yaitu melaksanakan pembangunan. Barang siapa berani mengkritik atau memberikan pemberitaan yang menjatuhkan citra pemerintahan, akan mendapatkan tekanan atau hukuman yang sangat tegas dan nyata. Misalnya dibredel atau SIUPPnya dicabut.
Contohnya, siaran berita televisi pada masa Orde Baru ditujukan semata untuk kepentingan pemerintah, yaitu sebagai alat propaganda bagi kebijakan pemerintah dan sebagai situs bagi definisi rezim ini tentang kebudayaan nasional Indonesia (Sen,2001:152). Televisi swasta dikontrol untuk tidak memproduksi siaran sendiri, akan tetapi merelay siaran berita TVRI dari Jakarta. TVRI sengaja menayangkan berita tentang pemerintahan pada malam hari untuk mengetahui reaksi pemerintah tentang berita yang ada pada media cetak pada pagi harinya. Kemudian mereka dapat menyaring berita yang baik untuk menjaring dukungan rakyat terhadap pemerintah.
Untuk saksi mata, berita pada TVRI selalu menghadirkan saksi mata dari pihak pemerintahan. Tidak ada pemunculan saksi mata dari warga biasa. Jikalau ada, mereka biasanya hanya dipakai untuk menggambarkan hubungan hirarkis dengan para pejabat tinggi. Seolah TVRI ingin memberikan kesimpulan bahwa pihak pemerintah yang paling kredibel untuk semua macam berita. Padahal tidak. Hal ini justru mengacu kepada pengaburan fakta yang sesungguhnya, serta membatasi masyarakat untuk berpendapat.
2. Pers Libertarian
Libertarian berasal dari kata liberty yang artinya bebas. Pers ini juga berasal dari Inggris kemudian masuk ke Amerika Serikat dan selanjutnya ke seluruh dunia terutama pada Negara yang menganut paham kebebasan atau liberal. Pers libertarian bertolak belakang dengan pers otoritarian. Falsafah teori ini adalah pers memberi penerangan dan hiburan dengan menghargai sepenuhnya individu secara bebas. Pers bebas mengeluarkan berita baik yang ditujukan kepada masyarakat maupun negara. Campur tangan negara terhadap pers dianggap menindas kebebasan pers. Dalam hal ini negara tidak berhak mengontrol kehidupan pers, justru menjadi alat kontrol sosial.
Pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan. Di bawah teori ini pers bersifat swasta, dan siapa pun yang mempunyai uang yang cukup dapat menerbitkan media (Severin,2005:376).
Model ini pernah dianut bangsa Indonesia pada pers masa Demokrasi Liberal, di mana pada masa itu pers sangat menikmati adanya kebebasan pers. Namun pada masa itu fungsi pers masih terbatas pada bentuk perjuangan kelompok partai atau aliran politik. Pers belum bisa menjalankan fungsi pers yang sesungguhnya karena pemerintahan belum benar-benar stabil setelah perjuangan pada masa revolusi fisik.
3. Pers Tanggungjawab Sosial
Falsafah dari teori ini adalah pers memiliki tanggungjawab sosial. Falsafah bahwa pers perlu mempunyai tanggung jawab sosial. Teori ini mulai dikembangkan di Amerika Serikat pada abad ke-20. Pers memberikan penerangan, berita, hiburan, dan produk secara bebas, namun dilarang melanggar kepentingan orang lain dan masyarakat. Para pekerja pers diharapkan memiliki kesadaran bahwa ada tanggung jawab yang harus diemban atas kegiatan jurnalistik yang dilakukan secara bebas. Para wartawan menyadari bahwa ada hak orang lain dan masyarakat yang harus dihargai. Contohnya masalah pribadi, hak asasi manusia, keamanan dan ketertiban masyarakat.
Teori ini sebenarnya bermula dari teori pers libertarian. Teori libertarian sudah banyak ditinggalkan oleh negara-negara yang menganut system politik liberal, sebab teori ini dinilai merugikan publik. Sebagai gantinya, muncullah teori pertanggungjawaban sosial pers. Inti ajaran teori ini adalah kebebasan dan tanggung jawab sosial pers harus berjalan seimbang. Dalam kebebasan ini, dengan sendirinya melekat tanggung jawab. Hal ini berarti bahwa setiap berita atau tulisan yang dilansir penerbitan pers harus bisa dipertanggungjawabkan baik secara jurnalistik, etika, maupun hukum.
Posisi teori ini netral dan berada di tengah-tengah kedua mazhab, yaitu antara teori otoritarian dan libertarian. Di satu sisi, mereka menerima ideology kebebasan pers dan di sisi lain juga menerima adanya tanggung jawab sosial atas berita-berita yang dikemukakan. Pers menjadi alat kontrol masyarakat, tetapi masyarakat juga dapat mengontrol pers.
Teori tanggungjawab sosial mengatakan bahwa setiap orang yang memiliki sesuatu yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika media dianggap tidak memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksanya (Severin,2005:379). Media pers dikontrol dikontrol oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profeisonal, dan dikontrol oleh badan pengatur karena keterbatasan-keterbatasan tertentu.
Model pers ini dialami Indonesia setelah masa Orde Baru usai, yaitu pada masa Reformasi. Pers Indonesia bebas menggunakan haknya untuk meliput berita, akan tetapi ia juga dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan berita yang disampaikan. Oleh karena itu hendaknya tiap-tiap pekerja jurnalisme memiliki ketrampilan jurnalisme yang baik dan rasa tanggung jawab yang tinggi.
Akan tetapi, walau berita di masa Reformasi kini sudah tidak dipengaruhi lagi oleh rezim penjajah atau rezim pemerintah yang otoriter, isi berita masih bisa juga dipengaruhi oleh hal-hal lain. Hal itu adalah pengaruh sponsor iklan dan pengaruh kepemilikan media. Hal ini yang tampaknya sulit dihindari. Masing-masing media kini harus berebut sponsor iklan agar bisa melangsungkan jalannya media tersebut. Oleh karena itu, biasanya kaum pengiklan punya ikut campur dalam urusan isi berita. Hal ini tentunya juga demi keuntungan yang diinginkan pihak pengiklan tersebut.
Sedangkan dari sisi kepemilikan media bisa kita lihat dari perisitiwa pencalonan Ketua Umum Partai Golkar baru-baru ini. Dua kandidat terbesar adalah Aburizal Bakrie dan Surya Paloh yang kebetulan keduanya memiliki stasiun televisi yang tayangan utamanya berbasis pada berita. Otomatis, masing-masing stasiun televisi tersebut digunakan untuk saling bersaing mempropagandakan keunggulan masing-masing kandidat demi suksesnya tujuan mereka, yaitu terpilih sebagai Ketua Umum Golkar. Timbullah berita yang sifatnya subyektif dan cenderung mendukung mereka.

Daftar Pustaka

Abrar, Ana Nadhya. 2003. Teknologi Komunikasi Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: LESFI.
Grafika, Tim Leksikon. 2000. Leksikon Grafika. Jakarta: Pusat Grafika Indonesia.
Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya, dan Politik di Indonesia. Jakarta: ISAI.
Severin, Werner J. dan James W. Tankard, JR. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa, Edisi 5. Jakarta: Prenada Media.
Tuntas, Tim. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan XII – Semester 2. Surakarta: CV Pustaka Manggala.
Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedelapan. Jakarta: Kencana.