Tuesday 10 January 2012

Rupa-Rupa Candi Wayang Dieng




Selama KKN, banyak waktu yang tercurah untuk melaksanakan bermacam-macam program. Saya jadi tidak bisa banyak berjalan-jalan juga. Namun berkat kehadiran teman saya, Ferdi dan Zaki, saya dapat menggunakan hari Minggu saya untuk berjalan-jalan seharian. Iyalah! Otomatis saya harus menyempatkan waktu untuk menjadi guide mereka di Dieng. Di samping itu, saya perlu menemui mereka untuk membangkitkan semangat yang kendor. Istilah kerennya, re-charge. Jadi tugas guide itu saya laksanakan dengan sepenuh hati. Toh, hari itu sedang tidak ada program dan teman piket saya mempersilahkan saya pergi. Sip!

Kebetulan Ferdi, mahasiswa Sastra Nusantara UGM angkatan 2008, amat menggemari candi-candi. Ia bahkan mengambil tema skripsi tentang candi. Berbagai macam candi Hindu dan Budha telah ia lawat. Hasil lawatan tersebut dituangkan dalam blog pribadinya yang berjudul “Laler Kliter”. Nama yang unik dan sangat njawani. Di awal-awal KKN, saya mengojok-ojoki dia dan rekan-rekan dalam pers mahasiswa untuk mampir ke Dieng. Di samping saya kangen dan membutuhkan semangat dari mereka, Dieng memiliki aneka rupa candi Hindu. Pokoknya sekali datang ke Dieng, macam-macam candi terkunjungi.

Akhirnya hari yang ditunggu pun datang juga. Pagi-pagi setelah sahur, Syefi (anak SKM Bulaksumur UGM yang KKN di Dieng Kulon) mengirim pesan ke ponsel saya dan memberi tahu kalau Ferdi jadi datang ke Dieng. Asyiiiikkkk! Kami pun terlibat konflik bathin (baca: kebingungan) dalam menjelaskan arah menuju Dieng berhubung si Ferdi belum pernah ke Dieng.
Akhirnya jam 11.00 WIB, Ferdi dan Zaki sampai. Ups, saya telanjur gembira karena mengira anak-anak satu pers mahasiswa akan datang! Ternyata ya, hanya mereka berdua saja. Tak apalah! Yang penting jalan-jalan, suasana baru, dan senang!

Gambar 1. Candi Arjuna sekompleks dengan Pendopo Soeharto – Whitlam (Foto: Yuradita Soemantri)

Rute kami pun berkisar antara lingkaran Dataran Tinggi Dieng. Tentunya tidak jauh-jauh dari yang namanya Candi. Yang pertama adalah Kompleks Candi Arjuna.Kompleks Candi Arjuna berada dalam satu kompleks yang sama dengan Pendopo Soeharto-Whitlam. Nama Soeharto tentu sudah familiar, sedangkan Whitlam kalau tidak salah adalah mantan perdana menteri Australia. Dahulu mereka pernah beristirahat dan berdiskusi di tempat ini dengan tujuan membahas masalah Timor Timur. Itulah mengapa pendopo berwarna hijau ini dinamakan demikian. Kini pendopo ini digunakan sebagai kantor sekretariat bersama pengelola obyek-obyek wisata di Dieng. Kadang kala bisa digunakan pula oleh pihak luar untuk pertemuan-pertemuan tertentu. Partai Nasional Demokrat misalnya, pernah mengadakan musyawarah di tempat ini.

Gambar 2. Kompleks Candi Arjuna (Foto: Yuradita Soemantri)
Inilah Kompleks Candi Arjuna yang dimaksud. Di dalamnya ada lima candi sekaligus. Mereka adalah Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Puntadewa, Candi Srikandhi, dan satunya lagi saya lupa!

Gambar 3. Candi Arjuna

Gambar 4. Candi Arjuna juga dekat dengan Kompleks Sendang Sedayu
Tak jauh dari Kompleks Candi Arjuna, dapat ditemui Kompleks Sendang Sedayu. Dalam kompleks ini, terdapat dua sumber mata air yang dilindungi oleh pohon besar. Ini adalah salah satu bukti bahwa melestarikan alam itu bermanfaat. Ketika kita membiarkan pohon tumbuh besar dan tidak ditebang, maka kita akan mudah menemukan sumber air di dekatnya. Salah satu sumber air di kompleks ini bahkan digunakan dalam ritual pemotongan rambut gimbal dalam Dieng Culture Festival. Tepatnya pada prosesi pemandian anak gimbal.

Gambar 5. Salah satu dari dua sumber air di Sendang Sedayu

Gambar 6. Sumber air membentuk sumur


Gambar 7. Kompleks Dharmasala di dekat Sendang Sedayu
Gambar 8. Kompleks Dharmasala yang berisi puing-puing rekonstruksi bangunan purbakala
Gambar 9. Candi Setyaki dan dodi-dodi di sekitarnya

Gambar 10. Candi Bima

Katalog Oriflame Januari 2012

 Diskon hingga 50%. Info lebih lanjut, hubungi Vita 08170409127.


Oriflame Sweden Oriflame Sweden

Histeria 2012




Jutaan orang di dunia pasti tidak akan melewatkan apa yang disebut malam pergantian tahun baru. Mereka semua, entah di Greenwich, London, Paris, atau pun Indonesia, akan tumpah ruah turun ke jalanan merayakannya. Tradisi manusia dari tahun ke tahun adalah membawa properti berupa terompet dan kembang api untuk menandai bahwa inilah waktunya, tahun telah berganti. Pun, tak terkecuali di Yogyakarta.

Saya yang biasanya melewatkan malam tahun baru bersama keluarga, kali ini mencoba keluar zona. Saya dan kawan-kawan Pers Mahasiswa SKM UGM Bulaksumur, berkumpul bersama di markas besar. Sengaja untuk melewatkan malam tahun baru bersama-sama. Tidak pandang bulu apakah kami jomblo atau tidak, semua berkumpul begitu saja. Yang punya pacar ya pacarnya dibawa serta, yang tidak ya nasibmu! Hahaha....

Yang awalnya sedikit, lama-lama menjadi bukit. Satu per satu, orang-orang berdatangan. Tanpa babibu, langsung saja kami persiapkan acara tahun baruan. Tungku dipasang bersama baranya dan laptop dinyalakan bersama mic dan speakernya. Sebagian orang membakar jagung dan ubi. Sebagian lagi berkaraoke ala minilyric. Tak hanya itu, semakin berdatangan para anggota, maka suplai makanan juga semakin banyak. Saat itu juga saya bisa membedakan mana kripik Ma’Icih level pedas 10 yang asli dan palsu. Tak kalah asyik, saya pun makan duren yang manisnya tak terlupakan sampai sekarang. Haha, sedikit lebay!

Sedangkan itu, awalnya kawan-kawan yang malu untuk berkaraoke satu per satu penasaran. Dimulai dari Etha diikuti pacarnya Prem (yang membentuk duo Anang-Ashanty, eh Anang-Syahrini), kemudian Aji, Juned (sedikit malu-malu karena direkam), Bang Beryl, Kecap (baru datang langsung minta mic), kemudian Ijat (karaoke di kala sepi dengan lagu Armada). Serunya, saya merekam suara mereka dengan software di laptop tanpa mereka sadari. Padahal mata mereka juga tertuju ke laptop. Tanpa bermaksud iseng, tapi fasilitas karaoke di laptopku emang begitu. Seharusnya bisa direkam dengan video juga, akan tetapi softwarenya menyebalkan! Hehehe...

Gambar 1. Suasana malam tahun baru di SKM UGM Bulaksumur. Ada yang karaoke, bakar jagung dan ketela, dan tentunya narsis. (Foto: Vita Kent)

Then, tengah malam kurang beberapa dari kami berjalan menuju Bunderan UGM. Di sana sudah ramai sekali. Biasanya ramai karena kendaraan, kini ramai dengan lautan manusia. Mau menyeberang ke tengah bunderan pun tak usah ragu. Selanjutnya parade kembang api berturutan mempesona penontonnya. Dari sekian parade, kembang api dari arah Gramedia merupakan yang paling hebat dan keren. Pancuran cahayanya pun tidak biasa dan besar-besar. Saya pikir, pasti paling mahal kembang apinya. Di sela-sela menonton pertunjukkan itu, ada sesi curhat dengan sahabat saya. Dia cerita masalahnya, saya juga cerita masalah terkini saya. Ternyata baru saya sadari, midnight always be the right quality time to share everything. Paling tidak, sampai kini pengalaman saya mengatakan demikian.


Kembang Api di Bunderan UGM

Akhirnya kita semua telah menginjak 2012. Ibarat menginjak tanah yang berbeda, harus ada banyak penyesuaian dan adaptasi dengan tanah yang diinjak. Hendaknya kita menginjak tahun yang baru dengan harapan yang berbeda pula. Tujuannya satu, mencapai perubahan yang mampu merubah diri kita sebaik mungkin dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu, membuat sebuah resolusi adalah hal yang dipandang sangat urgen. Saya mau tahun 2012 lulus, saya mau dapat pacar, dll. Mungkin itu harapan yang kerap diingini orang. Apapun itu, yakinkan resolusimu bukan hanya sekedar resolusi! Resolusi adalah revolusi bagi diri! Bagaimana anda merevolusikan diri anda, itu tergantung diri anda. “Hidup itu penuh dengan pilihan, maka dari itu tidak semuanya bisa dilakukan. Maka dari itu perlu adanya PRIORITAS!” (Tung Desem Waringin)

Akhir kata, Happy New Year everybody! Selamat memulai mencicil resolusimu, selamat berevolusi!

NB: Mengapa tahun baru 2012 jatuh pada hari Minggu? Agar hari Senin, Anda langsung bekerja mencicil resolusi Anda! :D

Tuesday 3 January 2012

Becoming a Dayang




Apa sukumu? Sudahkah pernahkah kamu ikut ambil bagian dalam upacara adat atau tradisi daerahmu itu?

Saya bersuku Jawa, tepatnya Jawa Ngayogyakarta. Saya lahir dari ibu yang asli Purbalingga (ngapak mameeeenn) dan ayah yang lahir di Surakarta dan besar di Semarang. Anehnya, tak satupun tradisi dari daerah ersebut yang saya ikut sertai apalagi kuasai. Menari tradisional dan nyinden hanya sebatas pelajaran di sekolah dasar. Bermain saron dan gong juga sebatas pelajaran di bangku SMP. Tak heran kalau saya tidak betah memakai pakaian tradisional seperti kebaya. Pengalaman saya saat wisuda SMA mengatakan demikian. Ribetnya bukan main!

Semua itu berubah ketika ujung-ujungnya saya justru melakoni sebuah tradisi dari daerah lain. Ya, daerah lain. Justru dari daerah lain. Meski sama-sama Jawa, akan tetapi Jawa Dieng dengan Jawa Ngayogyakarta jelas berbeda.

Kala itu saya saja baru saja tiba di lokasi KKN. Pada malam yang dingin dan berkabut itu pun (29/6/2011), langsung saja saya beserta Gilang, Nadya, dan Jerry diminta datang ke rumah juru kunci Desa Dieng Kulon, Mbah Naryono dan membahas sistematika pagelaran Dieng Culture Festival. Salah satu panitia pagelaran Dieng Culture Festival 2011, Mas Oveb secara tiba-tiba meminta saya untuk menjadi Domas (iring-iringan wanita menggunakan kemben) dalam upacara cukur rambut gimbal di Dieng. Jelas saya kaget sekali. Bagaimana tidak? Saya tidak pernah punya pengalaman sama sekali dalam dunia upacara adat tradisional. Saya juga bukan orang yang cukup anggun berbusana tradisional. Tiba-tiba saya harus mengawal di belakang juru kunci membawa rambut gimbal dan mengenakan kemben di tengah dinginnya Dieng. Bercanda pikir saya! Tapi ternyata Mas Oveb serius. Dengan pertimbangan saya tidak mengenakan jilbab dan mungkin saya juga merupakan salah satu perempuan di KKN yang akrab dengannya, ia memilih saya.

Pikir punya pikir, dengan hati yang juga penasaran, saya terima tawaran itu. Serasa tidak ada wanita lain yang bisa mengisi posisi itu, saya mengambilnya sebagai tantangan dan wujud saya menolong warga Dieng. Apalagi Mas Oveb menunjukkan kalau tahun lalu juga ada Domas yang merupakan perwakilan dari KKN. Saya berpikir positif saja bahwa keikutsertaan saya akan memberikan banyak hal positif. Toh, ini letak serunya! Merasakan dingin yang bisa berefek masuk angin, merasakan jadi bagian utama dalam upacara adat, dan hmmm... masuk tivi mungkin?!?!?!?!? Hahahaha...

The day was come! Saya bangun pagi sekali dan tidak perlu mandi. Cukup cuci muka dan gosok gigi saja. Langsung saya, Nadya, Naya, dan Sheiffi bergerak ke rumah Juru Kunci Dieng Kulon. Di sana sudah cukup ramai. Langsung kami dipersilahkan masuk ruang tamu dan menikmati aneka suguhan seperti sale pisang, kue, dan teh manis hangat khas Tambi. Sambil nyemil, saya mengamati beberapa sesaji yang tertata di ruang tamu. Ada tumpeng nasi kuning dan nasi hijau, ayam, ikan asin, ada juga aneka minuman unik dalam cangkir.

Ditunggu-tunggu, mana ini juru riasnya? Ealah, juru riasnya di salon! Wah, salah informasi ini! Padahal jam pendek telah menunjuk ke angka 8! Setelah sarapan, kami capcus ke Salon Astri. Karena antrinya lama, kami mencoba dandan sendiri dengan kosmetika yang dipunya. Dandan kebaya modifikasi sendiri. Hahaha... ribet sekali! Dandan sudah selesai, sama ibu salon dihapus lagi. Rambut saya di-spray. OMG, that was the first time I used hairspray. Kaku-kaku aneh! Finally, jadinya seperti ini.

Gambar 1. Dandanan super kinclong. Awas silau!

Saat itu juga, senang sekali melihat kenyataan bahwa ternyata sudah ada yang menjadi Domas. Saya hanya menjadi Dayang yang bertugas membawa sesaji. Syukur puji Tuhan, saya tidak perlu kembenan dan masuk angin! Tugas saya cukup membawa sebuah kelapa. Meskipun hanya sebuah, tapi karena ada arak-arakan atau pawai, rasanya pegal benar! Ditambah salah rute segala, padahal kaki ini pakai selop high heels yang ukurannya tidak sama. Huhu...

Akhirnya berkumpullah semua di pelataran Candi Arjuna. Upacara pencukuran segera dimulai. Di sela-sela itu, saya sempat lho narsis! Di sana ada sekumpulan penari Rampak Yasa yang mirip Butho Cakil (tokoh wayang yang bertaring besar). Menurut saya, ini adalah kostum yang paling seram. Oleh karena itu, sangat menantang untuk berfoto bersama mereka.

Gambar 2. Yang seram justru diserbu wanita

Satu-satu persatu anak gimbal kemudian dicukur. Ada yang menurut, ada juga yang menangis. Ada yang meminta telur dalam kilogram yang amat banyak, ada yang minta anak kambing, ada juga yang minta sepeda berwarna pink. Sembari itu, tugas saya adalah meminta sumbangan dari para penonton. Sumbangan tersebut nantinya akan dikumpulkan dan dibagi rata kepada tujuh anak yang rambut gimbalnya dicukur. Setelah itu, tibalah waktunya yang paling pusing. Menghitung uang! Sudah dihitung, eh hitung ulang. Setelah itu dibagi tujuh anak. Hayooo... berapa yaa???

Gambar 3. Menghitung uang dari penonton (Foto: Innayati Oktiana)

Wah, jelas mengesankan sekali apa yang saya dapatkan ketika saya menjadi Dayang ini! Saya berusaha anggun sebagai wanita Jawa dengan kebaya, memahami budaya masyarakat Dieng, belajar dandan, dsb. Yang paling penting, saya belajar menghargai budaya dan adat daerah lain. Saya bangga ikut ambil bagian dalam upacara ini karena ini kesempatan pertama saya menyelami sebuah adat atau tradisi daerah. Terima kasih sekali untuk Mas Oveb!
Jika Anda penasaran bagaimana upacara ini, jangan lewatkan Dieng Culture Festival 2012! Pasti seru! See ya, next year Dieng!

Srikandi Untukku




Selama KKN di Dieng, begitu banyak bentuk-bentuk kearifan lokal yang saya lihat. Terlebih ketika membantu pelaksanaan Dieng Culture Festival. Di event ini, banyak kesenian bisa saya lihat. Ada thek-thek, Rampak Yasa, bahkan kesenian Barongsai juga ada di sana.

Sewaktu saya menjadi MC di Dieng Culture Festival hari kedua, di belakang saya sudah tertata rapi panggung khusus untuk pertunjukkan wayang. Macam-macam wayang pun telah dijajar di debhok pisang secara komplit. Dari yang cakep sampai yang seram, mulai Arjuna sampai Butha Ijo.

Lalu ada seorang Bapak yang mungkin adalah pelatih kesenian yang saat itu tengah beraksi. Ia duduk di sisi kiri panggung. Letaknya tidak jauh dari saya dan dua teman saya yang juga menjadi MC acara kesenian tahunan Dieng ini. Saya tidak tahu apa hubungannya dengan Keraton Jogja, tapi ia mengenakan topi hitam dengan sablon bertuliskan Keraton Ngayogyakarta. Tak lama kemudian sejumlah ibu dengan membawa balitanya mendatangi bapak itu. Mereka seperti meminta sesuatu dari si bapak. Bapak itu lantas menuju deretan wayang di belakang saya. Saya tak berkutik kecuali hanya memperhatikan apa yang hendak terjadi antara bapak itu dengan sejumlah ibu yang mendatanginya. Bapak itu memilih wayang dan jika tak salah, itulah wayang Butho Ijo. Si Butho Ijo langsung saja disentuhkan ke dahi si bocah balita. Entah apa maksudnya, tapi ibu-ibu lainnya ikut mengantri untuk menyentuhkan balitanya dengan Butho Ijo.

Pemandangan seperti ini jelas sangat asing di mata saya. Saya notabene menghabiskan hidup di kota dan tidak pernah menonton wayang. Mana kuat saya begadang semalam suntuk? Sekalinya ada, belum tentu saya menemui ibu-ibu yang seperti itu.

Saya memberanikan diri menghampiri si bapak dan menanyakan untuk apa itu. Si bapak mengatakan agar si kecil tidak kaget.Hmmm... Jawaban yang cukup abstrak. Tapi saya tidak menanyakan lebih lanjut karena maklum. Namanya tradisi atau kearifan lokal ya memang sulit dijelaskan dengan logika. Tapi semua memang adalah simbolisasi dari tujuan yang baik. Kalau merunut kisah si Butho Ijo, kata orang tua, ia suka makan anak-anak. Makanya ketika ada bayi baru lahir, si bayi diberi gelang dari tali ato benang tebal berwarna putih. Ya, mungkin itulah sebabnya.

Tiba-tiba, seorang teman dari KKN tetangga bernama Dhirga naik panggung. Ia meminta saya untuk memotretnya kala bergaya seperti seorang dalang. Sebelum itu, si bapak memilihkan wayang untuk Dhirga. Jepreeeeettt! Jadilah foto Dhirga sedang mendalang.

Saya pun tidak lepas dari pilihan wayang si bapak. Pilih, pilih, pilih. Akhirnya tangannya meraih sebuah wayang berfigur wanita. Diberikannya wayang itu kepadaku. Ketika saya bertanya, ia menjawab “Itu Srikandi, mbak!” Waw, Srikandi? Bukankah ia figur wanita ideal dalam dunia pewayangan? Saya senang bapak itu memilihkan Srikandi bagi saya.
Apapun itu maksudnya, tapi saya harap wayang pilihan bapak tersebut adalah doa bagi saya. Jika memang ia mendoakan saya seperti Srikandi, Alhamdullilah sekali! Saya harap bukan hanya wajahnya yang didoakan (sepertinya yang ini ngarep :P), akan tetapi karakter atau pribadinya juga. Saya tahu bahwa Srikandi adalah sosok wanita yang lembut namun bersahaja dan kuat. Oleh karena itu, ia juga merupakan sosok wanita yang disegani dalam pewayangan. Dengan itu pula, saya harap saya menjadi wanita yang sesungguhnya. Lemah lembut, penuh kasih sayang, but I’m the stronger ones in facing the tight of life!

Gambar 1. Saya berfoto di depan Candi Srikandi. (Foto: Annisa Nadya Utami)

Berangkat dari ini, saya kagum akan beragam kearifan lokal di Indonesia. Kearifan lokal, meskipun tak dapat dilogika bahkan ada yang bilang musyrik, namun menurut saya ia tetap layak diperhatikan. Dengan kearifan lokal, masyarakat setempat dapat mengatur hubungannya dengan alam, bahkan menghargainya secara kuat. Kearifan lokal juga dapat menjadi simbolisasi yang mengandung nilai-nilai luhur dan filosofi kehidupan yang baik bagi manusia. Terutama bagi saya, ia memotivasi saya agar bisa sekuat pribadi Srikandi! J