Wednesday 2 February 2011

Bijak di Jalanan

Saya adalah pejalan kaki sejati. Dalam hitungan kasar, keseharian saya adalah 45% di atas kaki sendiri, 45% dengan bus, dan 10% menebeng. Mungkin kalian bertanya, mengapa begitu? Mengapa tak mengendarai motor seperti anak seusia saya? Jangan-jangan saya aktivis Green Peace yang peduli masalah polusi? Baiklah, saya jelaskan! Saya tak bisa mengendarai sepeda motor. Fakta menyatakan, keseimbangan saya tak sempurna.

Sering bepergian dengan berjalan kaki membuat saya paham bagaimana kerasnya jalanan. Bukan sekedar kecelakaan. Banyak sekali bentuk kriminalitas yang saya alami selama di jalan.

Yang terakhir, saya melihat eksibisionis ketika menunggu bus. Untungnya saya tak sendiri. Ada beberapa ibu yang juga menunggu bus. Entah mengapa mereka tiba-tiba menjauh. Tak tahunya, ada eksibisionis nangkring di atas motor hitam dan menghadap kami. Saya berusaha santai. Kalau takut, senanglah dia.

Tak hanya itu. Saya pernah didatangi orang yang mengaku kecopetan di bus. Agar bisa kembali ke rumah, ia minta uang. Untungnya, saya adalah orang yang tak suka bersentuhan dengan orang asing. Tak sepeser pun saya berikan. Ternyata benar, jalanan memang keras! Mereka bukan orang yang tepat dibantu. Beberapa minggu kemudian, mereka melakukannya lagi.

Saya pernah hampir kecopetan di bus. Dari awal, saya merasa aneh. Gerombolan pencopet itu berisik sekali. Saya turun lewat pintu belakang dan ditabrak orang gemuk. Otak saya merespon untuk memasukkan tangan ke saku. Yang terjadi adalah tangan saya menyentuh sapu tangan yang digenggam pria itu! Memang ada mp4 player di saku saya. Pria berbadan subur itu hanya mengatakan “Sorry, sorry!”. Sejak itu saya yakin, Tuhan pemberi anugerah yang besar.

Saya pernah digerayangi, dihampiri orang asing yang menawarkan tumpangan, dan disuit-suitin. Ini membuat saya kesal dengan jalanan. Dampaknya, saya jadi cuek dengan orang di sekitar. Tiap orang asing mengajak berbincang, saya perlakukan seadanya. Tak peduli perasaan mereka, yang penting saya aman dan jauh dari orang jahat. Saya sentimen pada jalanan. Apa pun yang terlihat di jalan terasa muram karena rawan kriminalitas.

Sudah bukan rahasia pula jika pejalan kaki kurang diperhatikan haknya. Trotoar dipakai untuk warung, parkir, dan jalan motor saat macet. Pejalan kaki yang menyeberang di zebra cross kerap tak dipersilahkan menyeberang.

Suatu pagi, saya menyeberang di zebra cross. Tak biasanya saya diberi kesempatan oleh pengendara yang lewat. Saya menanti jalan agak kosong dan sampai ke tengah jalan. Kembali saya menanti jalan kosong dari utara. Tiba-tiba mobil minibus silver meluncur dari utara. Apa yang terjadi? Ia berhenti dan mempersilahkan saya menyeberang! Perasaan saya senang dan lega sekali. Seperti melalui peristiwa luar biasa. Saya langsung menyeberang. Sayang, saya tak melihat wajah orang berhati mulia itu. Yang jelas, ia adalah bapak-bapak. Seandainya dapat bertemu, saya haturkan terima kasih dan berharap bisa berhubungan dengannya.

Pengendara mobil kerap diinisiasikan sebagai sosok egois di jalan. Berbadan besar dan memenuhi jalan. Jika ada kecelakaan, ia sering dijadikan penyebabnya. Akan tetapi stigma itu tak seperti yang saya lihat.

Hal ini menginspirasi saya. Sebelumnya saya hanya melihat sisi buruk jalanan dan membencinya. Kini saya dapat menemukan orang baik dan bijaksana di jalanan. Tak selamanya jalanan keras. Kita dapat menemukan, meski sedikit, orang berhati mulia seperti bapak tadi. Meski bermobil dan kaya, ia tak sombong dan egois. Saya yakin, ia kaya dan sukses karena hati mulia dan suka menolong. Kelak berkarir, saya ingin bijak di jalan sepertinya.

Tuhan, terimakasih telah pertemukanku dengan hal negatif dan positif dari jalan. Aku bersyukur bisa belajar dari semuanya, hingga tahu bagaimana menghadapi dunia. Terutama untuk Bapak pengguna mobil silver, terimakasih sekali Pak! Saya belajar teladan Bapak.