Wednesday 7 September 2011

Tolong, Jangan Saltum di Kawah Sikidang!




Petualangan saya di Dieng sempat berlabuh ke obyek pariwisata Kawah Sikidang. Kawah Sikidang merupakan salah satu kawah yang masih aktif di antara beberapa kawah yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Meskipun aktif, kawah ini tidak berbahaya. Kawah ini hanya mengeluarkan gas sulfur atau belerang. Bahkan kawah ini bisa didekati hingga bibir kawahnya.
Konon, kawah ini dinamai Sikidang karena pusat semburan asapnya yang kerap berpindah-pindah. Perpindahan tersebut mirip seperti kijang (bahasa Jawa: kidang) yang sedang melompat-lompat.

Gambar 1. Pemandangan sekitar Kawah Sikidang
Saya menyinggahi tempat ini hingga dua kali. Pertama kali dengan Kepala Obyek Wisata Telaga Warna, Bapak Suwignyo dan dua orang wanita dalam tim KKN saya. Hanya saja, saat itu kami tidak mengunjungi hingga ke dalam. Kedua kalinya, dengan teman saya dari SKM Bulaksumur UGM yang berkunjung ke Dieng ketika saya KKN. Kali ini saya bisa masuk hingga ke dalam-dalamnya (bukan ke dalam kawah, loh ya!).
Saran saya, jangan memaksakan diri untuk masuk ke area yang lebih dalam lagi (lebih dekat dengan kawah utama) jika anda tidak kuat dengan bau asap belerang yang menyengat. Anda bisa pusing atau bahkan pingsan dibuatnya! Saya sendiri kuat mendekati bibir kawah utama, akan tetapi harus menutup hidung dengan jaket yang saya pakai.
Begitu sampai di bibir kawah utama, saya dapat melihat gelembung-gelembung dalam kawah yang cairannya berwarna abu-abu pekat. Saya bisa membayangkan betapa panasnya! Ajaib sekali bisa melihat sedekat ini. Supaya pengunjung tidak terlalu dekat dengan kawah, ada pembatas berupa pagar bambu di sekeliling kawah.

Gambar 2. Kawah utama

Gambar 3. Gelembung-gelembung dalam kawah

Gambar 4. Kawah kecil yang dekat dengan area parkir

Saran saya yang kedua adalah kenakan kostum yang biasa saja di sana. Maksud saya, kenakan kostum yang cocok dengan iklim daerah Dieng dan nyaman di tubuh anda. Pengalaman saya, ada seorang wanita kota mengenakan kaus dan hot pants di obyek wisata ini. Ujung-ujungnya ia malah meminjam sarung untuk menghalau rasa dingin yang ia rasa. Aduh mbak, ini Dieng! Meskipun anda sedang di dekat kawah aktif, tapi Dieng tetap saja dingin karena berada di dataran tinggi! Andai saja mbaknya sempat merasakan dinginnya salju di Dieng, mungkin ia tidak akan salah kostum. Hmm...

(Not) Enjoying Golden Sunrise in Sikunir!


Selama berjalannya dua bulan KKN, saya dan kawan-kawan seunit menyempatkan diri berkunjung ke Bukit Sikunir pada 31 Juli 2011. Bukit ini memang tidak tenar, akan tetapi bagi rekan-rekan pecinta alam barangkali banyak yang sudah tahu tempat ini. Wisatawan, terutama wisatawan asing yang berkunjung ke Dieng pasti akan ditawari oleh tour guide untuk berkunjung ke bukit ini.

Apa spesialnya Bukit Sikunir? Bukit Sikunir merupakan point of view untuk menikmati golden sunrise khas Dieng. Disebut golden sunrise karena matahari yang terbit berwarna oranye keemasan. Bukit ini terletak di Desa Sembungan, salah satu desa di area Dieng Plateau Area.

Sabtu sore, 30 Juli 2011, saya dan teman-teman yang memiliki agenda program di Homestay Dieng Pass langsung bergegas dan bersiap-siap. Pastinya perlengkapan untuk menghangatkan tubuh tidak boleh dilupakan. Jaket, kupluk, kaus kaki, kaus tangan, sepatu, bahkan selimut pun dibawa serta. Tentunya kami tidak ingin mengalami hipotermia di Sembungan hanya karena ceroboh tidak membawa perlengkapan penghangat tubuh.

Tak lama kemudian, bus yang akan kami pakai datang. Kami pikir bus yang sengaja dipesan agar melewati pondokan kami itu, kosong melompong. Ternyata tidak. Berhubung ini adalah bus terakhir ke Sembungan, maka terisilah beberapa kursi oleh orang-orang yang akan menuju Sembungan. Memang bus yang menuju Desa Sembungan amat jarang. Sehari hanya ada dua kali, pukul 08.00 dan 14.00 WIB. Baiklah, belasan dari kami pun masuk ke dalam bus tanggung tersebut! Untuk wanita, beruntunglah dia yang diprioritaskan mendapatkan tempat duduk. Saya pun bisa duduk. Tapi duduknya saya bukan tanpa beban. Saya ingat kalau saya juga duduk dengan memangku teman saya, Chita. Ia salah satu wanita yang tidak kebagian tempat duduk. Sisanya, silahkan berjejalan sambil berdiri! Bahkan salah seorang teman kedapatan di pintu layaknya kenek.

Saya amat beruntung duduk di dekat jendela. Selama perjalanan, kami disuguhi pemandangan khas Dataran Tinggi Dieng yang tidak mungkin saya dapati di kota saya, Yogyakarta. Saya melihat hamparan padang rumput atau savana di dekat belokan menuju Dieng Plateau Theater. Entah padang ini pernah dipakai untuk sepakbola atau tidak sebab letaknya ada di bawah tebing. Tapi yang jelas ia membentuk hamparan yang sangat luas dan enak dilihat mata. Tak jauh dari sana, bisa saya lihat tulisan menggelikan “DILARANG MERUMPUT DI SINI SELAIN PRIBUMI!” Hahaha....

Setelah itu, saya melihat pipa-pipa besar berwarna hijau kecoklatan. Lebih besar dari pipa air rumah saya tentunya. Itu adalah pipa geothermal dari Geodipa Energy. Geodipa Energy merupakan salah satu pembangkit listrik tenaga panas bumi di Dieng. Dahulu ia milik Pertamina, namun kini tidak lagi. Tidak mengherankan jika di Dieng ditemui pipa-pipa raksasa yang amat panjang karena banyaknya kawah aktif di dataran tinggi ini.

Setelah itu, saya melihat sekumpulan air di bawah tebing jalan yang saya lewati. Entah apakah itu telaga atau sungai. Saya tidak tahu apa itu namanya, tapi indah sekali. Dieng sendiri terlalu banyak memiliki kawah aktif dan telaga-telaga.

Sekitar pukul 17.30 kami sampai di Desa Sembungan. Kami pun menginap di rumah Kepala Desa Sembungan. Kalau tidak salah, namanya Bapak Muchozin. Rumahnya besar dan terletak tepat di depan masjid besar. Kami sengaja menginap di sana dengan pertimbangan jika kami mendadak ke Sikunir pada pagi buta, mustahil bagi kami untuk bangun sepagi itu. Belum lagi perjalanan dari Dieng Wetan ke Sembungan yang berangin dan dingin. Motor yang kami bawa dari Yogyakarta bahkan tidak memadai untuk semua orang yang berminat melihat golden sunrise. Kebetulan juga, Bapak Muchozin kerap menerima tamu yang menginap karena ingin melihat golden sunrise.

Keesokan harinya, 31 Juli 2011 pukul 03.00 WIB, kami bangun semua. Semuanya bersiap dan pukul 04.00 WIB kami beranjak naik bukit dengan adegan narsis sebelumnya. Hehehe... Sungguh gelap gulita saat itu. Perjalanan menuju bukit benar-benar dirasa mencekam. Selain penerangan yang hanya berasal dari senter yang kami bawa, kami juga tak membawa serta pemandu jalan. Selain itu, di sisi kami adalah jurang yang tinggi. Kami pun sempat bingung menentukan jalan. Untungnya ada dua orang pendaki yang kami temui dan mereka membantu kami.

Akhirnya kami mencapai suatu titik yang menjadi point of view kami. Saya sempat terkaget-kaget dengan apa yang saya lihat. “Inikah Bukit Sikunir? Mengapa wujudnya hanya batu besar?” Usut-usut punya usut, ternyata kami salah rute. Di belakang kami ada sebuah bukit yang telah didaki sejumlah orang, yang nampaknya adalah mapala. Itulah Sikunir yang sebenarnya. Argh...!
Akhirnya kami menikmati golden sunrise dari situ saja. Jujur, saya agak tidak nyaman menikmatinya dari tempat ini. Mungkin karena tempatnya yang agak sempit dan membuat ruang gerak saya jadi tidak bebas. Tapi, ya apa mau dikata? Disuruh pindah ke Sikunir yang beneran, saya juga udah ogah! Capek kali! Saya pun menikmati transformasi matahari yang sedemikian rupa sambil bernarsis-narsis ria.

Gambar 1. Golden Sunrise menyembul di antara gunung-gunung (Foto: Jerry Kurniawan)
Gambar 2. Golden Sunrise mulai terlihat bulat sempurna (Foto: Jerry Kurniawan)

Saya juga tak lepas dimintai kawan saya untuk memotret. Damn! Salah satu hasil potretan saya komposisinya bagus sekali (paling tidak, menurut saya) dan saya tidak meminta teman saya untuk memotret balik! Hwaa...