Tuesday 3 January 2012

Becoming a Dayang




Apa sukumu? Sudahkah pernahkah kamu ikut ambil bagian dalam upacara adat atau tradisi daerahmu itu?

Saya bersuku Jawa, tepatnya Jawa Ngayogyakarta. Saya lahir dari ibu yang asli Purbalingga (ngapak mameeeenn) dan ayah yang lahir di Surakarta dan besar di Semarang. Anehnya, tak satupun tradisi dari daerah ersebut yang saya ikut sertai apalagi kuasai. Menari tradisional dan nyinden hanya sebatas pelajaran di sekolah dasar. Bermain saron dan gong juga sebatas pelajaran di bangku SMP. Tak heran kalau saya tidak betah memakai pakaian tradisional seperti kebaya. Pengalaman saya saat wisuda SMA mengatakan demikian. Ribetnya bukan main!

Semua itu berubah ketika ujung-ujungnya saya justru melakoni sebuah tradisi dari daerah lain. Ya, daerah lain. Justru dari daerah lain. Meski sama-sama Jawa, akan tetapi Jawa Dieng dengan Jawa Ngayogyakarta jelas berbeda.

Kala itu saya saja baru saja tiba di lokasi KKN. Pada malam yang dingin dan berkabut itu pun (29/6/2011), langsung saja saya beserta Gilang, Nadya, dan Jerry diminta datang ke rumah juru kunci Desa Dieng Kulon, Mbah Naryono dan membahas sistematika pagelaran Dieng Culture Festival. Salah satu panitia pagelaran Dieng Culture Festival 2011, Mas Oveb secara tiba-tiba meminta saya untuk menjadi Domas (iring-iringan wanita menggunakan kemben) dalam upacara cukur rambut gimbal di Dieng. Jelas saya kaget sekali. Bagaimana tidak? Saya tidak pernah punya pengalaman sama sekali dalam dunia upacara adat tradisional. Saya juga bukan orang yang cukup anggun berbusana tradisional. Tiba-tiba saya harus mengawal di belakang juru kunci membawa rambut gimbal dan mengenakan kemben di tengah dinginnya Dieng. Bercanda pikir saya! Tapi ternyata Mas Oveb serius. Dengan pertimbangan saya tidak mengenakan jilbab dan mungkin saya juga merupakan salah satu perempuan di KKN yang akrab dengannya, ia memilih saya.

Pikir punya pikir, dengan hati yang juga penasaran, saya terima tawaran itu. Serasa tidak ada wanita lain yang bisa mengisi posisi itu, saya mengambilnya sebagai tantangan dan wujud saya menolong warga Dieng. Apalagi Mas Oveb menunjukkan kalau tahun lalu juga ada Domas yang merupakan perwakilan dari KKN. Saya berpikir positif saja bahwa keikutsertaan saya akan memberikan banyak hal positif. Toh, ini letak serunya! Merasakan dingin yang bisa berefek masuk angin, merasakan jadi bagian utama dalam upacara adat, dan hmmm... masuk tivi mungkin?!?!?!?!? Hahahaha...

The day was come! Saya bangun pagi sekali dan tidak perlu mandi. Cukup cuci muka dan gosok gigi saja. Langsung saya, Nadya, Naya, dan Sheiffi bergerak ke rumah Juru Kunci Dieng Kulon. Di sana sudah cukup ramai. Langsung kami dipersilahkan masuk ruang tamu dan menikmati aneka suguhan seperti sale pisang, kue, dan teh manis hangat khas Tambi. Sambil nyemil, saya mengamati beberapa sesaji yang tertata di ruang tamu. Ada tumpeng nasi kuning dan nasi hijau, ayam, ikan asin, ada juga aneka minuman unik dalam cangkir.

Ditunggu-tunggu, mana ini juru riasnya? Ealah, juru riasnya di salon! Wah, salah informasi ini! Padahal jam pendek telah menunjuk ke angka 8! Setelah sarapan, kami capcus ke Salon Astri. Karena antrinya lama, kami mencoba dandan sendiri dengan kosmetika yang dipunya. Dandan kebaya modifikasi sendiri. Hahaha... ribet sekali! Dandan sudah selesai, sama ibu salon dihapus lagi. Rambut saya di-spray. OMG, that was the first time I used hairspray. Kaku-kaku aneh! Finally, jadinya seperti ini.

Gambar 1. Dandanan super kinclong. Awas silau!

Saat itu juga, senang sekali melihat kenyataan bahwa ternyata sudah ada yang menjadi Domas. Saya hanya menjadi Dayang yang bertugas membawa sesaji. Syukur puji Tuhan, saya tidak perlu kembenan dan masuk angin! Tugas saya cukup membawa sebuah kelapa. Meskipun hanya sebuah, tapi karena ada arak-arakan atau pawai, rasanya pegal benar! Ditambah salah rute segala, padahal kaki ini pakai selop high heels yang ukurannya tidak sama. Huhu...

Akhirnya berkumpullah semua di pelataran Candi Arjuna. Upacara pencukuran segera dimulai. Di sela-sela itu, saya sempat lho narsis! Di sana ada sekumpulan penari Rampak Yasa yang mirip Butho Cakil (tokoh wayang yang bertaring besar). Menurut saya, ini adalah kostum yang paling seram. Oleh karena itu, sangat menantang untuk berfoto bersama mereka.

Gambar 2. Yang seram justru diserbu wanita

Satu-satu persatu anak gimbal kemudian dicukur. Ada yang menurut, ada juga yang menangis. Ada yang meminta telur dalam kilogram yang amat banyak, ada yang minta anak kambing, ada juga yang minta sepeda berwarna pink. Sembari itu, tugas saya adalah meminta sumbangan dari para penonton. Sumbangan tersebut nantinya akan dikumpulkan dan dibagi rata kepada tujuh anak yang rambut gimbalnya dicukur. Setelah itu, tibalah waktunya yang paling pusing. Menghitung uang! Sudah dihitung, eh hitung ulang. Setelah itu dibagi tujuh anak. Hayooo... berapa yaa???

Gambar 3. Menghitung uang dari penonton (Foto: Innayati Oktiana)

Wah, jelas mengesankan sekali apa yang saya dapatkan ketika saya menjadi Dayang ini! Saya berusaha anggun sebagai wanita Jawa dengan kebaya, memahami budaya masyarakat Dieng, belajar dandan, dsb. Yang paling penting, saya belajar menghargai budaya dan adat daerah lain. Saya bangga ikut ambil bagian dalam upacara ini karena ini kesempatan pertama saya menyelami sebuah adat atau tradisi daerah. Terima kasih sekali untuk Mas Oveb!
Jika Anda penasaran bagaimana upacara ini, jangan lewatkan Dieng Culture Festival 2012! Pasti seru! See ya, next year Dieng!

2 comments:

  1. si butho cakil ini muncul juga pas acara khataman di kalilembu. kemunculannya disertai matahari pertama dari barat...

    ReplyDelete
  2. hahahaha... masih inget aja sih kamyu! jadi geli klo inget2 itu :D

    ReplyDelete