Tuesday 13 July 2010

Catatan SMA 1: Guru Baru

3 Maret 2007 15:57 WHV (Waktu HP Vita)

Aku tiba-tiba jadi inget. Tadi di sekolah, sewaktu latihan untuk olimpiade science economy di ruang AVA (Audio Visual), aku, Pitik (Fitri), Astri, Risti, dan Idha sempat bercerita seru. Tak lama kemudian, kita semua mengganggu Pitik yang saat itu sedang hangat-hangatnya digosipkan dengan guru bahasa Indonesia yang masih muda dan bujangan, Pak Syarif. Sedangkan itu, Bu Suras, guru ekonomi kami sedang menghitung-hitung mencari jawaban soal.
Saat itu Pitik berkata kalau deritanya saat itu bakal lengkap kalau ada Bu Suras, Pak Mardi, dan satu lagi guru yang aku lupa siapa namanya. Mereka pasti bakal habis-habisan dalam menggoda dan menggosipkan Pitik dengan Pak Syarif. Tiba-tiba Bu Suras bertanya, “Bagaimana kabar guru bahasa Inggris kalian yang baru? Katanya dia sampai nangis-nangis?” *Maaf, kami sensor namanya!* Tak ayal pertanyaan pamungkas tersebut membuat kami berenam terlibat dalam obhat (obrolan curhat) tentang guru baru tersebut.
Sejurus kemudian, kami tahu bahwa “guru baru” itu marah kepada kelas kami karena beliau diadukan ke Bu Kus, Wakil Kepala Sekolah yang mengurusi murid-murid (aku lupa istilahnya. Tapi kalau di universitas, istilahnya Wadek Kemahasiswaan). Beliau tidak terima dan merasa kami yang mencari-cari masalah sendiri. Padahal kami melapor ke BK itu, kan apa adanya. Untuk apa kami mengadu ke BK yang tidak-tidak? Kami juga tahu, kok kalau melapor ke BK itu bukan permainan! Untuk apa juga kami cari gara-gara dan melaporkan orang ke BK kalau tidak ada masalah? Capek, deh!
Kemudian pembicaraan kami berlanjut ke soal beliau yang membanding-bandingkan daerah, mengajar di empat provinsi, dll. Bu Suras berkata bijak, anak mana pun tidak ada yang mau dibanding-bandingkan. Bu Suras berkata demikian dengan pengalaman bahwa dulu murid-muridnya ingin kembali diajar olehnya karena guru ekonomi yang baru suka membanding-bandingkan. Bu Suras bahkan sependapat dengan Bu Noor Zaimah. “Kalau saya jadi guru baru, bukan anak-anak yang harus adaptasi. Akan tetapi saya yang harus adaptasi,” kata Bu Suras. Bu Noor sendiri bilang, “Jangan mau kita yang menyesuaikan dia, tetapi dia yang harus menyesuaikan diri dengan kita.”
Klop habis, deh! Jadi, di rumah aku sempat terpikir kalau “guru baru” kami itu kurang fleksibel. Selain itu, aku sendiri belum pernah merasakan bagaimana senyuman beliau. Sejak awal beliau berpidato di upacara sampai detik terakhir aku melihatnya mengajar di kelas. Wajahnya masam saja, datar, kaku, membosankan, dan tidak bisa diajak akrab. Diajak bercanda saja tidak mau, malah tersinggung.
Kemudian, katanya Bu Noor dan Bu Fat (guru agama Islam dan juga wakil kepala sekolah) lebih membela kelas kami daripada “guru baru” tersebut. Konon, Bu Fat agak sedikit tidak cocok juga dengan beliau.
Kemudian Pitik bercerita. Bu Endang (entah Endang siapa. Mungkin Bu Endang Bahasa Inggris) mau mengantar “guru baru” tersebut ke RS dengan becak. Kan sekolah kami dekat dengan sejumlah RS sehingga naik becak cukuplah! Tapi beliau tidak berkenan dan memilih naik taksi! Wah, mendengar itu aku jadi sebal padanya! Terlihat sombong, apalagi dengan gaya hidupnya yang kaya. Lalu melihat cat kukunya yang membuat penampilannya “wow!”.
Sudahlah! Besok akan kuceritakan ini pada Nia.

NB:
Kejadian ini terjadi sewaktu aku kelas dua SMA. Kelasku memang sering sekali terlibat permasalahan dengan beberapa guru. Hebatnya, kami selalu bersatu dan tampil kompak. Maklum, kelas kami adalah satu-satunya kelas sosial di kelas dua. Konon setelah selesai mengajar untuk angkatan kami, “guru baru” tersebut tidak lagi mengajar untuk kelas IPS.
Buat “guru baru”, tetap semangat mengajar bahasa Inggris ya, Bu! Jadikan SMA kami tetap unggul di bahasa Inggris, walaupun sejumlah guru andalan bahasa Inggris kini telah pensiun.
Buat Bu Suras dan Pak Mardi, aku kangen kalian! Aku ingin punya dosen seperti kalian yang mengajar komunikasi, hehehe… Dosen komunikasi ada yang pelit kasih nilai, tidak seperti kalian! Hihihi… (*prihatin setelah melihat KHS*)
Buat guru lain yang sempat disebut di atas, terimakasih ya sudah mendidik dan mewarnai hidupku sehingga aku bisa menuliskannya! :)

No comments:

Post a Comment