Saturday, 24 May 2014

Sego Welut, Alternatif Mangut Baru

Ingat welut, ingat Godean. Ingat lele, ingat mangut? Jangan salah! Mangut tak selalu lele. Karena kini Godean memiliki sego mangut welut sebagai alternatif baru.

Daerah Godean, Sleman, DIY memang sudah dikenal luas sebagai penghasil belut. Terlebih dengan banyaknya lahan persawahan yang dikenal sebagai habitat asli belut. Orang yang berwisata ke Yogyakarta kerap menyempatkan diri mampir dan membeli kripik belut untuk oleh-oleh. Pun ada juga yang mampir ke Warung Sego Welut Bu Surani.

alamat warung Bu Surani

Tak ubahnya belut, warung Bu Surani pun sudah tersohor. Kelezatan mangut welutnya yang jarang ditemukan di tempat lain, berpadu dengan sepotong krecek yang kemerahan. Santannya gurih dan tidak pedas. Seporsi sego welut yang berisi nasi, krecek, dan welut ini dibanderol tak mahal. Hanya Rp 8.000,00 saja untuk sensasi daging yang sekaligus beradu dengan tulangnya.

sego welut dan sego lele

Kalau mau tambahan lauk lain, Anda tinggal memilih menu yang tersedia di deretan panci Bu Surani. Sebab ia menyediakan mangut lele dan juga gudeg. Bila seporsi mangut welut dirasa kurang, bisa dikombinasikan dengan daun singkong, gori, atau telur ayam rebus pada gudeg.
Warung Bu Surani terletak tepat di seberang Pasar Godean. Anda harus pelan-pelan ketika melewatinya. Sebab spanduk tulisan warung Bu Surani tidak dihadapkan ke arah jalan. Warung ini sendiri berbagi lahan dengan parkir motor. Tetenger yang bisa dilihat dari pinggir jalan adalah seorang ibu yang berdiri di belakang meja pendek, dengan banyak panci berjajar di atasnya.

Bu Surani tengah disibukkan melayani pelanggan

Jangan ragu, jangan jijik! Mangut welut enak sekali.

Friday, 23 May 2014

Ketika Tongseng Beradu dengan Telur

Suka tongseng? Bosan dengan tongseng yang itu-itu saja?

Bila sedang di Yogyakarta, ada baiknya kalau Anda beranjangsana ke kawasan wisata Air Terjun Telogo Putri, Kaliurang, Sleman Begitu patung burung elang menyapa, tengoklah sebelah kanan. Mampirlah ke Warung Makan dan Catering Mbah Ganis.

Aneka menu di Warung Mbah Ganis
Meskipun nama warungnya sangat sederhana, menu Mbah Ganis tidaklah sesederhana namanya. Warung ini menyimpan begitu banyak menu untuk disajikan. Dan yang paling istimewa adalah menu tongseng kopyok. Apa itu tongseng kopyok? Tongseng kopyok adalah tongseng yang kuahnya dicampur dengan telur. Rasanya pedas karena kuah kocor, cabe rawit, dan lada putih. Meski pedas, nikmatnya membuat kita ketagihan. Pilihan dagingnya variatif meliputi kelinci, ayam, dan kambing. Yang pasti, semua dagingnya empuk dan meresap bumbunya!

Menengok dapur Mbah Ganis, ada kuah gulai dan kuah kocor
Bukan hanya soal rasa. Penampilan pun boleh diuji. Meski judulnya tongseng, daging yang dikenakan ditusuk seperti sate. Pun piring yang dikenakan mirip dengan buffet hotel. Kelebihan lainnya, harganya tergolong murah dan kita juga bisa melihat proses memasaknya langsung di dapur.
Aneka olahan kelinci, mulai dari sate hingga tongseng kopyok
Meski ada dua orang mbak yang membantunya, Mbah Ganis yang belum tua ini, tetap turun langsung ketika memasak. Terlebih dengan menu tongseng dan sate. Ia memiliki takaran khusus yang tak tergantikan.

Bagaimana dengan Anda? Mau coba tongseng yang menagih ini? Jangan lupa ke area wisata Telaga Putri ya, bila ke Jogja!

Thursday, 22 May 2014

Kisah Was-Was Penduduk Merapi

Rabu, 30 Mei 2014 saya dan kawan-kawan mengunjungi Kawasan Wisata Kaliurang. Tepat malam sebelumnya, 29 Mei 2014 sekitar pukul 22.00 WIB, media ramai memberitakan kenaikan status merapi menjadi waspada dari normal aktif. Meski masih terlalu jauh dari awas, lantas kami juga ikut waspada selama di sana. Kalau-kalau ada kenaikan status tiba-tiba.
Tujuan awal kami adalah Jadah Mbah Carik I di Jalan Asta Mulya, Kaliurang. Sambil menunggu pesanan wajik, jadah, teh poci, dan teh rosela, kami pun berbincang-bincang dengan karyawan dan salah satu keturunan Mbah Carik yang usianya sudah sepuh. "Ssst! Ssst!" Suara itu muncul berulang kali. Namun kami masih asyik saja mengobrol sambil sesekali menyeruput teh hangat dan jadah tempe yang tersaji. Sampai kemudian radio HT dari Jalin Merapi berbunyi "Tit, tit!", kami baru peka. Itu pun setelah ibu karyawan berkata "Aku sok was-was e nek ngene iki," (maksudnya: aku sering was-was kalau dengar tanda sirine semacam ini).

Meski status Merapi naik menjadi waspada, mereka tetap bekerja
Ya. Pengalaman berulang kali menghadapi erupsi merapi memang mudah membuat penduduk merapi menjadi was-was, sensitif, dan trauma. Apalagi baru saja semalamnya Gunung Merapi mengeluarkan dentuman. Hari-hari di bulan-bulan sebelumnya pun, Merapi sempat bergeliat dan menghempaskan abu tipis. Sampai akhirnya malam terakhir, Merapi dinaikkan statusnya menjadi waspada.
Penduduk kawasan Merapi kini tak menganggap remeh alat komunikasi seperti HT. Meski kalah canggih dibandingkan HP, tablet, dan sejenisnya, HT lebih dibutuhkan untuk update perkembangan Merapi yang paling cepat. Sebab segala perkembangan Merapi via HT, dilaporkan langsung dari pos pengamatan. Warga tinggal menyalakannya stand by 24 jam dan perkembangan Merapi pun bisa didengar ke seluruh penjuru ruangan berkat volumenya yang keras. Apabila waktu evakuasi tiba, sirine status turut berbunyi sangat cepat dari HT.
Masih di Jadah Mbah Carik, saya cek akun facebook. Kawan saya yang tinggal di sekitaran Merapi pun berkeluh kesah. Dia amat prihatin dengan sejumlah jalan yang kini berlubang karena kerap lewatnya truk yang mengangkut batu dan pasir dari kali-kali sekitaran Merapi. Keadaan seperti itu dianggap mampu mempersulit evakuasi warga bila waktu erupsi tiba. Bayangkan ketika ratusan kendaraan menjauhi wedhus gembel dan menyesaki jalan penuh lubang dengan tergesa, apa jadinya?
Erupsi Merapi bukanlah sekali terjadi. Meski penanganan bencana Merapi dari tahun ke tahun selalu mendapat acungan jempol, ada baiknya jika pemerintah juga meningkatkan kewaspadaan lebih tinggi lagi. Terlebih dengan memperbaiki kondisi fisik jalur evakuasi dan pos penampungan.

Wednesday, 21 May 2014

Mbah Carik, dari Perangkat Desa ke Jadah

Siapa yang tak kenal dengan jadah tempe Mbah Carik? Penduduk Jogjakarta tentunya mengenalnya sebagai jajanan kondang dari Kaliurang. Lebih dari itu, Mbah Carik pula lah yang pertama kali mencetuskan resep burger Jawa ini.

Tokoh di balik Jadah Mbah Carik yang melegenda
Mbah Carik yang bernama asli Sastro Dinomo ini, merupakan istri carik (perangkat desa) di Kaliurang. Itulah mengapa beliau disebut demikian. Beliau telah memulai usahanya semenjak tahun 1945. "Di tahun itu, Kaliurang sudah ramai didatangi sebagai daerah pariwisata," jelas seorang simbah yang merupakan salah satu keturunan dari Mbah Carik. "Awalnya Mbah Carik hanya berjualan di tepian jalan di Kaliurang," tambah Simbah Putri tersebut. Usaha Mbah Carik pun semakin kondang semenjak Sri Sultan HB IX mencicipinya. Beliau begitu gemar dan kerap membelinya. Semenjak itu pula bermunculan jadah-jadah yang lainnya.

Jadah tempe bacem lengkap dengan cabai hijau
Usaha ini pun masih dilanjutkan oleh anak-anak Mbah Carik. Oleh karenanya, bisa ditemui beberapa cabang dari Jadah Tempe Mbah Carik di beberapa tempat seperti di kawasan wisata Air Terjun Tlogo Putri, Kaliurang. Sedangkan yang pertama bisa ditemui di Jalan Astamulya, dekat patung Kali dan Urang yang juga tak jauh dari kantor polisi.
Bila berkunjung ke Warung Jadah Tempe Mbah Carik di Jalan Astamulya, kita bisa mampir ke dapurnya. Ternyata jadah ini masih diolah dengan tungku, dalam sebuah dapur tradisional yang besar dan berasap. Butuh sekitar 5 tungku besar untuk memasak jadah dan bacemannya. Bahkan kelapa untuk campuran beras ketannya pun berbutir-butir banyaknya.

Dapur tungku Mbah Carik yang penuh asap
Selain menjual jadah tempe, ada pula jadah tahu bacem dan wajik. Sejumlah makanan lain yang terpampang di meja pun sanggup membuat kita berbetah lama di sini. Sebutlah mie rebus, aneka kripik, dsb. Tertarik mencoba?

Monday, 19 May 2014

Kamboja Lempar

Anak-anak, bahkan balita zaman sekarang sudah tentu akrab betul dengan teknologi. Tak heran di antara kita menemui bocah-bocah sudah akrab menyentuh layar tablet atau mouse. Kala yang sama, orang tuanya sibuk dengan urusan mereka.
Bukan hal yang salah sebenarnya. Teknologi masa kini bisa menjadi alat edukasi yang interaktif untuk anak-anak. Bahkan keberadaan teknologi bisa lebih mencerdaskan anak-anak sebelum waktunya mereka belajar membaca. Namun ada baiknya pula mereka tetap dikenalkan pada permainan tradisional daerah. Selain kemampuannya dalam mengajarkan sosialisasi dan mengenali budayanya sendiri, menurut saya permainan tradisional daerah akan memberi kenangan tersendiri kala mereka dewasa nanti. Kenangan tak terlupakan yang menarik untuk dibagi pada orang lain, bahkan pada anak cucu mereka sendiri.
Bicara soal permainan tradisional daerah, saya merasa amat beruntung memiliki kenangan yang cukup unik. Memiliki ayah yang bekerja sebagai PNS, membuat saya sempat berkunjung dan tinggal di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah di pulau dewata, Bali. Tepatnya di Karangasem, Amlapura. Bila dilihat pada peta, Karangasem ada di Bali bagian timur.
Selama setahun tinggal di sana, saya bersekolah di SDN Karangasem I. Selama setahun itulah, saya menemui berbagai macam adat budaya setempat yang menarik dan unik. Salah satunya adalah permainan unik yang tak saya temui di daerah lain, khususnya di Jawa, daerah asal saya.

Di Jawa, pohon kamboja kerap ditemui di area pekuburan. Namun lain halnya dengan Bali. Pohon ini mudah sekali ditemui di beberapa tempat, khususnya di pura. Pura itu sendiri mudah ditemui di rumah-rumah. Pun di depan rumah dinas yang keluarga saya diami antara tahun 1997-1998 itu. Di halaman rumah saya, ada dua pura. Yang satu besar dan berpagar. Yang satunya lagi kecil dan tidak berpagar. Pohon kambojanya sendiri ada di pura yang besar dan berpagar. Sama halnya dengan sekolah saya, yang kebetulan merupakan salah satu sekolah bagus di daerah itu. Keberadaan pohon kamboja di pura sekolah itu pun jadi kesenangan untuk anak-anak SD seperti saya dan kawan-kawan.


Sebagai anak baru pindahan, saya begitu cepat mengenal permainan kamboja lempar ini. Ya, kamboja lempar. Begitu saya menyebutnya. Saya kurang tahu atau mungkin sudah lupa apa nama aslinya. Saya juga tak tahu siapa yang memulai dan bagaimana sejarahnya. Saya hanya terlarut dengan asyiknya melempar-lempar bunga kamboja.
Untuk memainkannya, kita perlu mengumpulkan bunga kamboja putih yang sudah gugur dari pohonnya. Setelah terkumpul cukup banyak, bunga-bunga itu harus dijadikan kering. Caranya, cukup gesek-gesekkan satu atau dua bunga kamboja di antara kedua telapak tangan kita. Setelah dirasa cukup, hentikan. Bunga yang tadinya putih, berubah kecoklatan karena layu. Setelah itu, satukan beberapa bunga yang kering menjadi satu. Jadikan satu dengan rapi. Kelopak dengan kelopak, tangkai dengan tangkai. Kemudian, di bagian tangkainya diikat kencang dengan karet gelang. Tujuannya agar tak ada bunga yang lepas. Jadilah!
Untuk memainkannya, sederhana saja. Cukup lemparkan bunga ke udara. Ketika bunga itu hendak jatuh, cepat-cepat kita tangkis terus-menerus. Jangan sampai bunganya jatuh mengenai tanah atau lantai.
Sebenarnya ada dua level atau tingkat kesulitan pada permainan ini. Untuk pemula, kita cukup menangkisnya dengan tangan. Kalau sudah lebih mahir, kita juga bisa menangkisnya dengan kaki. Dan selama saya tinggal di Bali, saya hanya bisa di tingkat pemula saja.
Permainan ini begitu populer di kalangan anak perempuan. Kalau dirating, permainan kamboja lempar menempati posisi kedua setelah permainan setan-setanan. Permainan setan-setanan sendiri adalah permainan menyeberang dari tembok satu ke tembok seberang, tanpa tertangkap “setan” yang berdiri di antara kedua tembok. Permainan ini sangat cocok dimainkan di lorong-lorong yang tidak sempit.
Namun yang disayangkan dari permainan ini adalah bunganya hanya bisa dipakai selama sehari saja. Setelahnya, kita tak bisa menyimpannya karena sudah kering dan akan membusuk. Namun saya dan kawan-kawan tak lantas patah arang. Dengan mudahnya, kami selalu mendapatkan stok bunga dari pohon kamboja yang berguguran di sekolah. Jadilah kami memainkannya setiap hari.
Cukup unik, bukan? Mungkin ini akan jadi permainan masa kecil saya yang paling unik karena tak cukup umum dimainkan di lain tempat. Mengenangnya membuat saya menjadi nostalgia akan kehidupan 15 tahun silam. Sangat berkesan bisa hidup di sebuah kota kecil di Pulau Bali.
15 tahun setelahnya, saya tak tahu lagi apakah permainan ini masih hidup. Mengingat Bali kini semakin ramai dan modern karena pariwisatanya berkembang pesat. Rindu saya membuat saya berjanji ingin ke Karangasem suatu hari nanti.
Ini permainan masa kecil saya. Bagaimana dengan masa kecilmu? Apa permainanmu?

Monday, 12 May 2014

Selaksa Kenangan Dili Sebelum Merdeka

Januari di kota Dili, tak terkira cinta bersemi 
Januari lekas berganti, dan terhempas cintaku

Bait dari Rita Effendy tersebut membuat saya bernostalgia. Terngiang sekali tatkala saya berkunjung ke negerinya Raul Lemos. Sudah lama memang, ketika masih berumur sembilan tahun. 15 tahun yang lalu. Tapi kunjungan ke sana begitu melekat karena Dili waktu itu masih menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedatangan itu pun hanya berjarak sekitar satu bulan sebelum lagu tersebut tenar di pasar musik Indonesia.
Kala itu, ayah bekerja di Bumi Lorosae. Sedangkan itu, libur catur wulan telah tiba. Artinya, kesempatan bagi saya untuk bersenang-senang. Ibu mengajak saya berlibur ke Dili sambil menjenguk ayah. Perjalanan udara saya tempuh dari Jogja menuju Denpasar. Setelah menginap semalam di Denpasar, Bali, barulah kami melanjutkan perjalanan udara lagi ke Timor Timur. Memang jarak yang jauh antara Jogja dan Dili, mengharuskan kami untuk transit dahulu di Pulau Dewata.
Setibanya di Bandar Udara Comoro, gedung beratap khas rumah adat Timor Timur, Los Palos, menyapa kami. Sangat unik! Ketika hendak mencari pintu kedatangan, saya melihat kumpulan orang berdesak-desakan. Pintu itu sama sekali berbeda dengan pintu kebanyakan, di mana pada umumnya pintu kedatangan terbuka lebar dari kaca dan tanpa sekat. Sedangkan pintu ini dibuat bersekat mengular yang berdiri setinggi dada atau perut manusia dewasa. Entah siapa orang yang berkerumum itu dan apa yang mereka lakukan hingga berdesakan. Menjemput keluarga? Porter? Ah, aku tak tahu! Akhirnya di antara kumpulan orang itu, muncullah ayah yang kemudian menjemput saya dan ibu. Serta merta ia membawa kami keluar di antara kerumunan itu.
Setelahnya, ayah membawa kami ke rumah dinasnya melewati kota dan pantai. Ya, memang pusat kota Dili amat dekat dengan pantai. Pantai itu bernama sama seperti kotanya, Pantai Dili. Pantainya berpasir putih. Tepiannya tak begitu jauh dari jalan raya. Pemandangan yang nampak di pantai itu adalah segerombolan anak laki-laki yang sebaya dengan saya, mandi di pantai saat matahari tengah terik-teriknya. Bisa dikatakan bahwa saat itu tengah siang bolong. Namun mereka juga tak peduli terhadap ancaman kulit gosong atau kepala pusing. Sampai di sini, kesan pertama tentang Dili di benak saya adalah panasnya yang tak terkira. Mudah dipahami mengapa anak-anak tadi mandi di pantai. Di seberang pantai itu, saya melihat Kantor Gubernur yang cukup besar dan megah. Di depannya terdapat lapangan luas berumput hijau.
Karena hari sudah tengah bolong, tak pelak yang kami perlukan adalah santapan. Kami langsung dibawa pada sebuah restoran. Lamat-lamat saya mencoba mengingat kenangan ketika ayah mengatakan, kalau di sana lauk pauk dimakan terlebih dahulu sebelum nasinya. Namun karena kultur kami adalah Jawa, kami tetap saja makan lauk pauk berbarengan dengan nasi. Setelah santap siang usai, kami melaju lagi menuju rumah sambil menyusuri kota Dili.
Sebelum sampai rumah, kami melewati pasar. Di pasar itu, banyak kios-kios yang menyerupai cakruk, yang menjual pisang. Ibu saya mengatakan bahwa pedagang di sini amat berbeda. Bila di Jawa atau daerah lainnya, setiap orang yang melewati kios mereka akan disambut dan ditawari membeli di tempatnya. Di Dili, mereka cuek dan diam saja. Bahkan ada yang tidur. Bisa jadi udara panas yang membuat mereka begitu.
Sampai juga kami di rumah. Rumah dinas ayah ada di Jalan Pantai Kelapa, Desa Comoro, Kecamatan Dili Barat. Di kompleks itu, ada banyak karyawan-karyawan lembaga pemerintahan tinggal. Di sebelah rumah kami malah ada rekan kerja ayah yang beragama Hindu, yang kerap saya lihat melakukan doa dan menaruh canang di sebuah pura kecil di depan rumahnya. Sebuah harmoni yang indah di kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristiani.

Membicarakan bentang alam Dili, selain pantai, juga ada gunung. Keduanya mempunyai potensi yang sama-sama menggairahkan. Di Pantai Dili, kita bisa menikmati sajian ikan bakar segar setiap malamnya. Selain ikan, ada juga yang berjualan jagung bakar di tepi jalan. Sungguh nikmat malam-malam hangout di sekitar pantai ini. Bila siang hari bertandang ke pantai tersebut, kita bisa melihat bukit di salah satu sudut pantai. Namanya Bukit Fatucama. Di atas bukit yang menghadap laut itu, berdirilah patung Yesus Kristus yang disebut Cristo Rei. Patung tersebut agak mirip dengan patung Yesus Kristus di Rio de Janeiro, Brazil. Keduanya sama-sama terletak di dekat pantai pula. Konon di bukit Fatucama itulah, dapat kita temui kebun kopi Timor Timur yang begitu nikmat dan khas rasanya.

patung Christo Rei (foto from Wikipedia)

Saat itu, meski belum kisruh, sudah muncul pergolakan-pergolakan di Dili. Ayah mengatakan, ia pernah mendengar suara tembakan-tembakan peluru dari halaman belakang rumah kami. Namun kami patut bersyukur bahwa ayah kami dan rekan-rekannya tetap selamat selama bekerja di sana. Bahkan ketika Ayah harus mengungsi karena pergolakan semakin panas dan tak terbendung, Ayah bisa pulang ke Pulau Jawa dan berpelukan dengan kami semua.
Tinggal di Dili sendiri, menurut saya, paling tidak harus memiliki kipas angin. Bagaimana tidak? Udara yang begitu panas tersebut, tentunya membuat diri merasa tak nyaman. Belum lagi, nyamuk di sana banyak dan ganas. Ini membuat saya memonopoli satu-satunya kipas angin untuk diri sendiri. Hal ini pun berujung pada sakitnya saya sesaat sebelum pulang kembali ke Jogja. Saya dan ibu nyaris tertinggal pesawat.
Begitulah selaksa kenangan yang terekam tentang Dili. Saya bangga bisa mengunjungi tempat ini. Meskipun Timor Timur telah lepas dari kedaulatan Indonesia, terkadang saya bangga berkelakar kepada sesama kawan kalau pernah keluar negeri karenanya. Dan bagaimana pun, Dili akan tetap hangat dalam ingatanku seperti bait dari Rita Effendy.
Januari di kota Dili, kian hangat dalam ingatan
Nantikanlah aku kembali, tuk menjemput cintamu

Monday, 5 May 2014

Kental Hangatnya Mie Ongklok

Mengunjungi dinginnya kota Wonosobo, Jawa Tengah rasa-rasanya sangat tak lengkap bila kita tidak mencari suatu penghangat. Terletak di bawah kaki gunung Sindoro dan Sumbing, kota kecil tersebut dianugerahi suhu udara yang sejuk. Salah satu penghangat yang dirasa tepat adalah kuliner. Menjelajahi kota yang juga menjadi rute menuju Pegunungan Dieng ini, apalagi kalau bukan mie ongklok yang jadi makanan khas.

Mie ongklok adalah mie tipis berwarna kuning, yang disiram kuah kental dan ditaburi daun kucai melimpah serta kol. Kucai dan kol sendiri adalah tanaman khas pegunungan, yang mana kota Wonosobo tak jauh darinya. Mie tersebut memiliki sensasi gurih agak pedas pada kuahnya. Kuah itu terbuat dari pati yang dicampur gula jawa, ebi, serta rempah. Bumbu kacang pun ikut diguyurkan ke atas mie tersebut. Sensasi gurih itulah yang didapat dari ebi dalam kuah yang mirip papeda. Sedangkan rasa pedas didapat dari lada putih. Bila terasa kurang pedas, Anda bisa saja meminta cabai hijau yang dipotong kecil-kecil.

mie ongklok lengkap dengan sayuran segar (foto from Google)

Mie ini akan bertambah nikmatnya bila dinikmati bersama tempe kemul khas Wonosobo dan juga sate sapi. Tempe kemul sendiri adalah semacam gorengan tempe di banyak tempat. Hanya saja tepungnya berwarna kuning, dengan banyak campuran daun kucai. Pada umumnya, warung-warung mie ongklok yang bertebaran di pusat kota Wonosobo juga menyediakan dua makanan tersebut sebagai pendamping. Lengkaplah sudah penghangat badan di dinginnya sejuk Wonosobo. dengan kuah kental mie ongklok, gorengan yang masih hangat dari penggorengan, dan sate sapi yang usai dibakar.
Bicara harga, Anda cukup merogoh Rp 5.000,00 untuk seporsi mie yang mengenyangkan. Sedangkan sate sapi sebanyak 10 tusuk hanya Rp 15.000,00 dan Rp 500,00 saja untuk tempe kemulnya. Murah, bukan? Bagaimana tertarik wisata kuliner di Wonosobo? (Vit)

Monday, 28 April 2014

Surga Tersembunyi di Candi Gebang

Adalah sebuah resto dan pemancingan ikan bernama Ledok Gebang. Sebagian orang, khususnya warga Jogja mungkin masih asing dengan namanya. Namun karena keterasingannya lah tempat ini layak disebut surga tersembunyi.
Ledok Gebang layak disebut surga bukan hanya karena memiliki aneka menu sedap saja. Ledok (yang artinya jurang) ini juga memiliki hamparan alam nan indah yang "mengumpet" dari antara kawasan rumah penduduk yang padat.
Mengunjungi tempat ini, Anda harus waspada. Sebab kebablasan sedikit, anda akan tidak tahu kalau sudah sampai. Salah satu penanda dari Ledok Gebang adalah adanya gapura kayu coklat besar. Setelah memasukinya, Anda akan dibawa menurun menuju parkiran. Dengan sekejap, hamparan kolam ikan dan gubuk kayu pun terhampar luas. Pun diiringi pohon-pohon teduh yang melingkupi jurang ini.

pemandangan indah di Ledok Gebang

Apabila menyaksikan sinetron, jurang identik dengan bahaya dan rasa takut. Rasa itu pun musnah di sini. Betapa jurang yang juga memiliki sungai ini, dapat dikelola dengan sangat baik. Bahkan bagi penyuka ketenangan alam, tempat ini sangat direkomendasikan untuk mencari inspirasi.

tepian kolam yang membuat pikiran lebih adem

kumpulan bunga teratai

ikan-ikan gemuk yang menarik perhatian

Menu di restoran ini beragam. Mulai dari udang, cumi, sayur, tahu, tempe, ikan, dan aneka minuman jus. Yang pasti, rasanya tidak mengecewakan dan begitu nikmat sambil melihat alam. Harganya pun menengah dan tidak terlalu mahal.

menu tahu, tempe, tumis brokoli, udang, dan gurame khas Ledok Gebang

Penyuka fotografi, dari yang profesional sampai pemuja selfie tentu saja dapat memuaskan hasratnya di tempat ini. Lokasi nyaman, indah, dan tenang. Selain memberi rasa damai dan kenyang, tentunya mata menjadi lebih segar.

Saturday, 26 April 2014

Tahu Gejrot, Kuliner Segar Cirebon

Bicara soal tahu, makanan apa saja yang Anda tahu terbuat dari tahu? Gorengan, tahu petis, kupat tahu kah? Bagaimana dengan tahu gejrot?
Tahu gejrot adalah kuliner khas dari Cirebon. Sesuai namanya, tentu saja tahu menjadi bahan utama dalam kuliner ini. Tahu ini sangat istimewa karena rasanya yang segar. Tak lain dan tak bukan karena racikan bumbunya.

tahu gejrot biasa dimakan dengan menggunakan lidi

Tahu yang digunakan adalah tahu kering yang sudah digoreng dan dipotong sedang. Bumbunya terdiri dari air asam jawa, ulekan cabe hijau dan bawang merah. Terkadang ada pula yang menggunakan bawang putih. Racikan kuah itu pun terasa amat segar karena didukung asam jawa.
Meski berasal dari Cirebon, kuliner ini telah mulai tersebar di berbagai daerah Indonesia. Mulai dari warung, sepeda bergerobak, foodcourt, hingga restoran pun menjadikannya menu. Harganya bervariasi. Namun sejauh yang saya temui di Jogja, harga seporsinya tidak lebih dari Rp 6.000,00.
Ingin cari di Jogja? Anda harus sering-sering berputar di sekitaran Taman Pintar karena sepeda bergerobak yang menjualnya, sering berputar. Atau cobalah ke salah satu stand di Foodcourt Taman Pintar yang menjajakannya. Selamat mencoba!

Sunday, 20 April 2014

Sensasi Mengambang di Dalam Gua

Meski sudah agak siang, kami beruntung Kawasan Wisata Gua Pindul masih sepi. Padahal hari itu Sabtu. Baru saja menjejak ke gapuranya, dua orang pria tengah baya langsung menyambut kami dengan wajah sumringah. "Selamat datang di Gua Pindul!"
Sambutan itu agaknya membuat saya dan kawan-kawan SD saya langsung terkesan pada wisata alam rivertubing tersebut. Wisata yang dikelola oleh Wira Wisata Gua Pindul itu memang tengah hangat dibicarakan. Maklum, ia memang wisata baru. Lewatnya, wisatawan diajak menyusuri kegelapan dalam Gua Pindul dan mengambang di Sungai Oyo dengan ban karet.
Begitu sampai, kami yang memang sedang reuni kecil-kecilan itu, mendaftar dan menunggu nama kami dipanggil. Kami pun menitipkan barang bawaan di penitipan yang tak jauh dari pendaftaran. Sebab selama melakukan river tubing, tidak diperkenankan membawa barang bawaan, termasuk ponsel agar tidak basah.
Sembari menunggu di sebuah kursi bermejakan sederhana tapi nyaman dan akrab, kami mengomentari apa saja di sekitar kami. Mulai dari pajangan foto berjajar mengenai bentang alam di sekitar Gua Pindul, dokumentasi selama Gua Pindul diabadikan di TVC Djarum, syuting acara Koki Cilik, sampai foto kedatangan artis sinetron Stuart Collins.
Saya dan teman-teman sudah pasti berpikir. Bahwa wisata rivertubing yang lumayan menantang adrenalin ini, sangat memanjakan wisatawan yang datang. Selagi menunggu antrean, ada sekelompok pemain gamelan yang menghibur. Bagi pengunjung yang datang dari luar Jawa, tentunya ini sangat menarik. Belum lagi ketika kami usai melakukan rivertubing, secangkir wedang jahe disuguhkan sebagai pelepas rasa dingin selama basah-basahan di Sungai Oyo.
Segera setelah giliran kami tiba, dua orang pemandu memperkenalkan diri. Mereka pun mengajarkan kepada kami bagaimana caranya menggunakan rompi pelampung. Setelah kami paham dan benar-benar memakainya, kami memilih ban yang dirasa nyaman untuk memulai rivertubing.
Berjalan sebentar, tibalah kami di pinggir Sungai Oyo. Plung, plung, plung! Satu per satu ban karet masuk ke air. Tak terkecuali dengan orang yang menunggang di atasnya. Kami dianjurkan untuk bergandengan tangan agar tidak terpencar dari grup.


Area terang, remang-remang, lalu gelap. Itulah area dalam gua yang kami lewati. Menurut pemandu, ada batu lanang dan batu wedok di sana. Konon, mampu membuat yang memegangnya semakin rupawan.
Ketika area gua hampir berakhir, ada lubang di atap gua. Mirip Gua Jomblang, lubang ini memancarkan cahaya surga yang indah meskipun masih kalah dengan Gua Jomblang. Dari situ, wisatawan diajak berjalan kaki menyusuri pos sungai selanjutnya. Jalur berupa pematang sawah yang dilewati sangat menentramkan karena udara segar dan warna hijau dari tanaman padi. 
Untuk warga Kota Jogja yang ingin melewatkan akhir pekannya, Gua Pindul sangat tepat dicoba. Letaknya tidak jauh, ongkosnya juga tidak mahal, sensasinya pun menyenangkan. Hanya kira-kira Rp 45.000,00 per orangnya. Kapan lagi ke Pindul?

Monday, 14 April 2014

8 Pagi di Solo

Meski tubuh masih cukup lelah karena perjalanan Jogja-Solo, saya berusaha tak terlena dengan kenyamanan hotel yang saya inapi. Bergegas saya mandi, berdandan, dan turun keluar dari Solo Paragon Hotel pada jam 8 pagi.
Karena hotel itu tak jauh dari Jalan Slamet Riyadi, maka Jalan Slamet Riyadi lah yang pertama-tama ingin saya kunjungi dengan sepasang kaki ini. Berharap menemui nasi liwet untuk sarapan pagi, saya menembus Jalan Yosodipuro. Tak dinyana, hotel yang saya inapi juga dekat dengan Kalitan. Beberapa tukang becak barangkali memanggil-manggil hendak membawa saya lewat ke sana. Pun saya hanya berkata "mboten" karena tidak berniat pergi terlalu jauh.
Sampailah saya di tepi Jalan Slamet Riyadi. Mungkin karena hari itu Sabtu, ruas jalan utama di Solo ini tidak terlalu ramai. Sepi malah. Di seberang saya tepat, ada Loji Gandrung. Loji Gandrung adalah rumah dinas walikota Solo yang arsitekturnya masih klasik Belanda. Pendoponya kerap digunakan untuk sejumlah pertemuan. Saya ingin sekali menyeberang dan masuk ke sana. Namun ragu saya menghalangi karena sekali lagi, itu adalah rumah. Bukan tempat umum. Cukup saya memotret dari seberang saja.


Jalan Slamet Riyadi begitu lengang kala itu

Gapura Loji Gandrung

Patung Belanda di depan Loji Gandrung

Kembali lagi ke arah hotel, saya masih tidak menemui nasi liwet. Mungkin memang seharusnya saya mencarinya pada malam hari di sekitaran Keprabon atau Istana Mangkunegaran. Tak apa lah karena intinya, saya mau jalan-jalan dan mengabadikannya.
Sebelum kembali ke hotel, saya belok kiri dulu ke arah Ndalem Kalitan. Sesampainya di Kota Solo, saya dan keluarga memang telah beberapa kali melewatinya. Ibu berkata kalau itulah rumah Ibu Tien dahulu. Karena tahu lokasinya dekat, saya penasaran dan nekat mengunjunginya.


Gapura Ndalem Kalitan

Sampai di depan Ndalem Kalitan, saya mendapati parkiran yang cukup luas. Di depan Ndalem Kalitan yang bergapura, dinding tebal, bertempel lambang Garuda Pancasila, dan berpagar hijau itu, didapati pula masjid sederhana. Meski sederhana dan tanpa kubah, namun masjid ini terbilang cukup luas dan banyak disinggahi. Namanya Masjid Nurul Imam Kalitan.


Masjid Nurul Imam Kalitan. Persis di depan Ndalem Kalitan

Di kejauhan, saya mendapati sebuah pendopo di dalam Ndalem Kalitan. Konon orang yang ingin melihat-lihat hanya bisa sampai di pendopo saja. Tamu yang ingin berkunjung pun harus melapor terlebih dahulu. Di pendopo itulah, foto Bapak Soeharto dan Ibu Tien dipajang. Ndalem ini pun telah banyak menyimpan suka duka pasangan tersebut semenjak baru memulai biduk rumah tangga.
Sungguh nikmat membawa kebiasaan "mbolang" (jalan kaki) saya di Jogja ke Kota Solo. Apalagi di akhir pekan, pukul 8 pagi. Suasananya sepi dan belum banyak polusi. I wish I could walk more than this, really!

Menikmati Wajah Solo di Ketinggian

Solo merupakan kota kecil di Jawa Tengah dengan degup jantung yang cukup pesat. Kota ini dikenal cukup berkembang di bidang bisnis dan industri. Terlebih dengan investasi yang tinggi dan banyaknya etnis Cina yang pada masa Orde Baru dikenal sebagai pengusaha sukses. Tak heran, wajah Solo dahulu dan kini bisa dibilang cukup berbeda.

Solo siang hari

Pada foto tersebut, dapat kita saksikan pembangunan kota Solo semakin merayap. Bangunan semakin memadat. Pun gedung-gedung menjulang semakin meyakinkan maraknya usaha dan bisnis di sini. Hotel, mall, resident, dan perkantoran di antaranya.
Pada foto itulah, tersembunyi bangunan bersejarah bernama Ndalem Kalitan. Ndalem Kalitan adalah tempat peristirahatan mantan Presiden Soeharto dan Ibu Tien. Namun sulit benar untuk menunjukkan dengan sebatas jari. Bahkan oleh saya yang memotretnya sendiri. Ya, bangunan bersejarah tersebut terlampau tertutupi bangunan-bangunan lainnya.
Masih jelas teringat di benak. Tahun 2004 adalah pertama kalinya saya mengunjungi kota Solo. Saat itu, tempat hangout untuk pemuda-pemudi paling banter adalah Toserba Sami Luwes dan Matahari Singosaren. Semenjak Solo Grand Mall muncul kira-kira tahun 2008-an, diikuti Solo Square, Solo Paragon Mall, dan kawan-kawannya bisa jadi Sami Luwes dan Matahari Singosaren tak seheboh dahulu. Apalagi letak keduanya tidak di ruas jalan utama kota Solo, Jln. Slamet Riyadi.
Namun, pembangunan dan kepadatan itu tetap menyisakan wajah keindahan di malam hari. Pemandangan ini tak kalah indah dengan Bukit Bintang di Gunung Kidul, DIY atau Bukit Gombel di Semarang.

Suasana malam di kota Solo. Ada Solo Grand Mall di foto ini

Ada pula wajah lain yang tersembunyi dari Solo. Kita hanya dapat menjumpainya di pagi hari. Gunung Lawu. Tunggulah hingga siang dan deru kendaraan menjadi riuh. Gunung yang indah itu akan hilang ditelan awan dan hiruk pikuk kota Solo.

Gunung Lawu di tenggara Kota Solo

Sate Pak Banjir, Tak Pernah "Surut"

Mengunjungi kota Solo, tak lengkap apabila tak mampir ke warung Sate Ayam Pak Banjir. Sesuai namanya, warung ini tak pernah surut dari banjir pelanggan.
Coba saja mampir ke Jalan Ronggowarsito, Solo. Di seberang toko daging berjudul Saffron, ada sebuah trotoar dengan sisi yang disediakan untuk duduk. Di situlah Pak Banjir dan istrinya membuka tenda. Sedari jam 5 sore, kepul asap dan bara arangnya sudah merayu-rayu setiap kendaraan yang lewat.


Sate Ayam Pak Banjir yang tengah didatangi pembeli

Dibandingkan sate ayam lainnya, sate Pak Banjir jelas beda. Sate ini menggunakan uritan (telur muda) pada tusukannya. Anda tinggal memilih. Mau uritan asli atau yang sintetis? Yang sintetis dibuat dari putih telur ayam dan ini dikenali dari bulatan-bulatannya yang mengencang pada poros tusukan lidi. Sedangkan yang asli benar-benar terbuat dari kuning telur yang belum dibuahi. Bagi pengidap kolesterol, disarankan jangan mencoba uritan yang asli. Ini karena uritan yang asli merupakan jeroan. Apalagi masih ada hati ayam dalam tusukan sate uritan asli. Sedangkan orang-orang yang memerlukan kadar albumin, uritan sintetis lebih dianjurkan. Kalau Anda menghindari keduanya, Pak Banjir masih menyediakan sate ayam biasa berisi daging semua.


Sate uritan sintetis dan sate biasa

Kalau Anda mencari sambal di sini, percayalah tak ada! Sebab sate ayam Pak Banjir lengkap dengan lontongnya, akan dibumbui dengan kuah kacang dan bertabur potongan bawang merah serta cabe rawit saja. Namun sensasi cabe rawit yang dipotong-potong tersebut cukup membuat suasana menggelegar tanpa sambal.


Seporsi sate uritan yang dicampur sate biasa. Lengkap dengan lontong, bawang merah, dan cabe rawit.

Seporsi sate lengkap dengan lontong dan minumnya diperkirakan kira-kira Rp 15.000,00/porsi. Ini juga tergantung sate mana yang Anda pilih. Karena harga per tusuk untuk sate biasa, sate uritan sintetis, dan uritan asli pun berbeda. Dan jangan ragu bila ingin tambah cabe rawit dan bawang merah. Bu Banjir siap memotongkannya dalam keadaan segar dan tanpa tambahan biaya.


Cabe rawit dan bawang merah yang dipakai hanyalah yang segar

Karena sudah lumayan dikenal di Solo, sate ini juga sudah memiliki cabang. Cabang Sate Ayam Pak Banjir ada di Perempatan Nonongan, Jalan Slamet Riyadi. Tepatnya di dekat restoran Kusuma Sari. Tak jauh beda dengan Jalan Ronggowarsito, cabangnya ini juga terletak di trotoar depan toko yang telah tutup jika sore. Penjualnya pun masih bersaudara dengan Pak Banjir.
Bagaimana? Tertarik mencoba?

Taman Pintar, Tak Hanya Anak-Anak

Rombongan anak sekolah beserta gurunya segera berkumpul di depan pintu besar. Para guru merapikan anak-anak berusia 6 tahun tersebut dalam barisan tertata. Perlahan mereka memasuki Gedung Oval, Taman Pintar Yogyakarta.
Pemandangan seperti itulah yang kerap kita temui di area edukasi ilmu pengetahuan bernama Taman Pintar. Gedung yang terletak di Jalan Panembahan Senopati no 1-3 ini, memang kerap dikunjungi oleh anak sekolah sebagai sarana pendukung kegiatan belajar mengajar. Namun bukan berarti orang dewasa tak bisa dan tak boleh mengunjunginya.
Kamis (13/3), saya mengunjungi gedung yang bersebelahan pusat buku Shopping Center. Saat mengunjungi Taman Pintar, ada beberapa orang tanpa anak kecil yang berkunjung. Beberapa di antaranya adalah sepasang kekasih. Di luar itu semua adalah rombongan anak SMP dan sepasang orangtua yang menemani anaknya.
Saya dan kawan membeli tiket untuk memasuki ruang Memorabilia, Gedung Oval, dan Planetarium. Untuk memasuki ruang Memorabilia dan Gedung Oval hanya merogoh Rp 18.000,00. Sedangkan tiket untuk menyaksikan pertunjukkan Planetarium cukup Rp 15.000,00.
Di ruang Memorabilia, kami langsung disambut dengan riwayat Raja-Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat I - X. Dilanjutkan dengan ruang prajurit Keraton yg seragam, sebutan, dan fungsinya berbeda. Setelahnya ada lagi sejarah tokoh pendidikan Indonesia dan berakhir dengan sejarah presiden Indonesia.
Dua dari sepuluh Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Memasuki Gedung Oval, kami disambut dengan akuarium raksasa berdinding tebal. Tentu saja tebal karena isinya adalah sejumlah araipama gigas dan aneka ikan yang sulit dihitung satu per satu. Ini tempat favorit saya untuk berfoto. Zona kehidupan purba pun menyapa setelah saya puas berfoto di akuarium. Baru setelah itu, saya memasuki gedung dengan layout tata letak memutar seperti oval dan menemukan macam-macam alat peraga menarik.
Mau pilih Gempa Jogja, Papua, atau Padang?

Sedangkan Planetarium mengajak kita untuk menikmati simulasi langit kota Yogyakarta di malam hari. Duduk di sofa empuk dan menengadahkan kepala ke atap kubah, kita akan menyaksikan bintang, planet, matahari yang dipantulkan dari proyektor. Arena ini termasuk favorit remaja dan dewasa, yang mungkin karena efek romantisnya.

Ruang Planetarium
Ilmu pengetahuan adalah hal universal dan hak setiap orang utk mendapatkannya. Ilmu tak berbatas umur untuk diserap. Karena itu, mengapa ragu mengunjungi Taman Pintar?

Tuesday, 8 April 2014

Obama Tak Hanya di Menteng

Nama Menteng kerap disebut-sebut pada tahun 2008. Penyebutan itu seiring dengan terpilihnya Barrack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat. Di Menteng lah, Obama kecil pernah mengenyam bangku Sekolah Dasar. Namun tak banyak yang tahu jikalau suami dari Michelle Obama ini, juga pernah mengalami masa bahagia di Yogyakarta.

Sebuah rumah klasik bernomor D7 menjadi saksinya. Rumah yang kini menjadi bagian dari Museum UGM itu, menyimpan cerita tentang masa kanak-kanak Barrack Obama. Rumah itu memang tak semewah White House. Catnya didominasi warna putih dan sedikit abu-abu pada aksen kayunya. Kamarnya empat. Toiletnya terdiri dari toilet basah dan kakus yang terpisah ruang. Dengan adanya halaman luas di bagian depan dan belakang rumah, rumah ini bisa dikatakan sangat asri.


Ruang Barry lengkap dengan sejarahnya


Di rumah itulah, Obama kecil atau Barry mengisi liburnya. Bila libur puasa tiba (tahun 1967 - 1971), ibunya yang bernama Ann Dunham, mengajaknya ke Yogyakarta. Bersama ayah tirinya, Lolo Soetoro Ng, mereka menginap di rumah paman tiri Obama yaitu Prof. Drs. Iman Sutiknyo. Prof. Drs. Iman Sutiknyo adalah dosen Fakultas Pertanian dan suami dari kakak perempuan Lolo Soetoro Ng.

Di rumah itu, Barry tidur sekamar dengan pamannya. Kasur inilah yang dikenakannya.

Tata letak tempat Barry tidur

Selagi Barry berlibur, Ann Dunham melakukan penelitian di pelosok Daerah Istimewa Yogyakarta. Ann Dunham memang dikenal giat di bidang akademik. Selama di Jogja, ia meneliti di Bantul, Gunungkidul, dan Kulonprogo. Ann Dunham pun tak segan-segan berbaur dengan penduduk desa saking ramah dan menyenangkannya ia.

Beberapa foto Ann Dunham selama penelitian di DIY


Jika Anda tak percaya, bolehlah mampir ke Museum UGM yang beralamatkan di Perumahan Dosen UGM D7 Bulaksumur, Yogyakarta. Museum ini buka pada jam kerja dan tiketnya gratis. Selain Obama, Anda juga akan disuguhi dengan aneka sejarah dan tokoh-tokoh yang menyertai tumbuh kembangnya UGM seperti Prof. Dr. Sardjito dan Sri Sultan HB IX.