Monday, 19 May 2014

Kamboja Lempar

Anak-anak, bahkan balita zaman sekarang sudah tentu akrab betul dengan teknologi. Tak heran di antara kita menemui bocah-bocah sudah akrab menyentuh layar tablet atau mouse. Kala yang sama, orang tuanya sibuk dengan urusan mereka.
Bukan hal yang salah sebenarnya. Teknologi masa kini bisa menjadi alat edukasi yang interaktif untuk anak-anak. Bahkan keberadaan teknologi bisa lebih mencerdaskan anak-anak sebelum waktunya mereka belajar membaca. Namun ada baiknya pula mereka tetap dikenalkan pada permainan tradisional daerah. Selain kemampuannya dalam mengajarkan sosialisasi dan mengenali budayanya sendiri, menurut saya permainan tradisional daerah akan memberi kenangan tersendiri kala mereka dewasa nanti. Kenangan tak terlupakan yang menarik untuk dibagi pada orang lain, bahkan pada anak cucu mereka sendiri.
Bicara soal permainan tradisional daerah, saya merasa amat beruntung memiliki kenangan yang cukup unik. Memiliki ayah yang bekerja sebagai PNS, membuat saya sempat berkunjung dan tinggal di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah di pulau dewata, Bali. Tepatnya di Karangasem, Amlapura. Bila dilihat pada peta, Karangasem ada di Bali bagian timur.
Selama setahun tinggal di sana, saya bersekolah di SDN Karangasem I. Selama setahun itulah, saya menemui berbagai macam adat budaya setempat yang menarik dan unik. Salah satunya adalah permainan unik yang tak saya temui di daerah lain, khususnya di Jawa, daerah asal saya.

Di Jawa, pohon kamboja kerap ditemui di area pekuburan. Namun lain halnya dengan Bali. Pohon ini mudah sekali ditemui di beberapa tempat, khususnya di pura. Pura itu sendiri mudah ditemui di rumah-rumah. Pun di depan rumah dinas yang keluarga saya diami antara tahun 1997-1998 itu. Di halaman rumah saya, ada dua pura. Yang satu besar dan berpagar. Yang satunya lagi kecil dan tidak berpagar. Pohon kambojanya sendiri ada di pura yang besar dan berpagar. Sama halnya dengan sekolah saya, yang kebetulan merupakan salah satu sekolah bagus di daerah itu. Keberadaan pohon kamboja di pura sekolah itu pun jadi kesenangan untuk anak-anak SD seperti saya dan kawan-kawan.


Sebagai anak baru pindahan, saya begitu cepat mengenal permainan kamboja lempar ini. Ya, kamboja lempar. Begitu saya menyebutnya. Saya kurang tahu atau mungkin sudah lupa apa nama aslinya. Saya juga tak tahu siapa yang memulai dan bagaimana sejarahnya. Saya hanya terlarut dengan asyiknya melempar-lempar bunga kamboja.
Untuk memainkannya, kita perlu mengumpulkan bunga kamboja putih yang sudah gugur dari pohonnya. Setelah terkumpul cukup banyak, bunga-bunga itu harus dijadikan kering. Caranya, cukup gesek-gesekkan satu atau dua bunga kamboja di antara kedua telapak tangan kita. Setelah dirasa cukup, hentikan. Bunga yang tadinya putih, berubah kecoklatan karena layu. Setelah itu, satukan beberapa bunga yang kering menjadi satu. Jadikan satu dengan rapi. Kelopak dengan kelopak, tangkai dengan tangkai. Kemudian, di bagian tangkainya diikat kencang dengan karet gelang. Tujuannya agar tak ada bunga yang lepas. Jadilah!
Untuk memainkannya, sederhana saja. Cukup lemparkan bunga ke udara. Ketika bunga itu hendak jatuh, cepat-cepat kita tangkis terus-menerus. Jangan sampai bunganya jatuh mengenai tanah atau lantai.
Sebenarnya ada dua level atau tingkat kesulitan pada permainan ini. Untuk pemula, kita cukup menangkisnya dengan tangan. Kalau sudah lebih mahir, kita juga bisa menangkisnya dengan kaki. Dan selama saya tinggal di Bali, saya hanya bisa di tingkat pemula saja.
Permainan ini begitu populer di kalangan anak perempuan. Kalau dirating, permainan kamboja lempar menempati posisi kedua setelah permainan setan-setanan. Permainan setan-setanan sendiri adalah permainan menyeberang dari tembok satu ke tembok seberang, tanpa tertangkap “setan” yang berdiri di antara kedua tembok. Permainan ini sangat cocok dimainkan di lorong-lorong yang tidak sempit.
Namun yang disayangkan dari permainan ini adalah bunganya hanya bisa dipakai selama sehari saja. Setelahnya, kita tak bisa menyimpannya karena sudah kering dan akan membusuk. Namun saya dan kawan-kawan tak lantas patah arang. Dengan mudahnya, kami selalu mendapatkan stok bunga dari pohon kamboja yang berguguran di sekolah. Jadilah kami memainkannya setiap hari.
Cukup unik, bukan? Mungkin ini akan jadi permainan masa kecil saya yang paling unik karena tak cukup umum dimainkan di lain tempat. Mengenangnya membuat saya menjadi nostalgia akan kehidupan 15 tahun silam. Sangat berkesan bisa hidup di sebuah kota kecil di Pulau Bali.
15 tahun setelahnya, saya tak tahu lagi apakah permainan ini masih hidup. Mengingat Bali kini semakin ramai dan modern karena pariwisatanya berkembang pesat. Rindu saya membuat saya berjanji ingin ke Karangasem suatu hari nanti.
Ini permainan masa kecil saya. Bagaimana dengan masa kecilmu? Apa permainanmu?

No comments:

Post a Comment