Anak-anak, bahkan balita zaman sekarang sudah tentu akrab
betul dengan teknologi. Tak heran di antara kita menemui bocah-bocah sudah
akrab menyentuh layar tablet atau mouse.
Kala yang sama, orang tuanya sibuk dengan urusan mereka.
Bukan hal yang salah sebenarnya. Teknologi masa kini bisa
menjadi alat edukasi yang interaktif untuk anak-anak. Bahkan keberadaan
teknologi bisa lebih mencerdaskan anak-anak sebelum waktunya mereka belajar
membaca. Namun ada baiknya pula mereka tetap dikenalkan pada permainan
tradisional daerah. Selain kemampuannya dalam mengajarkan sosialisasi dan
mengenali budayanya sendiri, menurut saya permainan tradisional daerah akan
memberi kenangan tersendiri kala mereka dewasa nanti. Kenangan tak terlupakan yang
menarik untuk dibagi pada orang lain, bahkan pada anak cucu mereka sendiri.
Bicara soal permainan tradisional daerah, saya merasa amat
beruntung memiliki kenangan yang cukup unik. Memiliki ayah yang bekerja sebagai
PNS, membuat saya sempat berkunjung dan tinggal di beberapa wilayah di
Indonesia. Salah satunya adalah di pulau dewata, Bali. Tepatnya di Karangasem,
Amlapura. Bila dilihat pada peta, Karangasem ada di Bali bagian timur.
Selama setahun tinggal di sana, saya bersekolah di SDN Karangasem
I. Selama setahun itulah, saya menemui berbagai macam adat budaya setempat yang
menarik dan unik. Salah satunya adalah permainan unik yang tak saya temui di
daerah lain, khususnya di Jawa, daerah asal saya.
Di Jawa, pohon kamboja kerap ditemui di area pekuburan.
Namun lain halnya dengan Bali. Pohon ini mudah sekali ditemui di beberapa
tempat, khususnya di pura. Pura itu sendiri mudah ditemui di rumah-rumah. Pun di
depan rumah dinas yang keluarga saya diami antara tahun 1997-1998 itu. Di
halaman rumah saya, ada dua pura. Yang satu besar dan berpagar. Yang satunya
lagi kecil dan tidak berpagar. Pohon kambojanya sendiri ada di pura yang besar
dan berpagar. Sama halnya dengan sekolah saya, yang kebetulan merupakan salah
satu sekolah bagus di daerah itu. Keberadaan pohon kamboja di pura sekolah itu
pun jadi kesenangan untuk anak-anak SD seperti saya dan kawan-kawan.
Sebagai anak baru pindahan, saya begitu cepat mengenal
permainan kamboja lempar ini. Ya, kamboja lempar. Begitu saya menyebutnya. Saya
kurang tahu atau mungkin sudah lupa apa nama aslinya. Saya juga tak tahu siapa
yang memulai dan bagaimana sejarahnya. Saya hanya terlarut dengan asyiknya
melempar-lempar bunga kamboja.
Untuk memainkannya, kita perlu mengumpulkan bunga kamboja
putih yang sudah gugur dari pohonnya. Setelah terkumpul cukup banyak,
bunga-bunga itu harus dijadikan kering. Caranya, cukup gesek-gesekkan satu atau
dua bunga kamboja di antara kedua telapak tangan kita. Setelah dirasa cukup,
hentikan. Bunga yang tadinya putih, berubah kecoklatan karena layu. Setelah
itu, satukan beberapa bunga yang kering menjadi satu. Jadikan satu dengan rapi.
Kelopak dengan kelopak, tangkai dengan tangkai. Kemudian, di bagian tangkainya
diikat kencang dengan karet gelang. Tujuannya agar tak ada bunga yang lepas.
Jadilah!
Untuk memainkannya, sederhana saja. Cukup lemparkan bunga ke
udara. Ketika bunga itu hendak jatuh, cepat-cepat kita tangkis terus-menerus. Jangan
sampai bunganya jatuh mengenai tanah atau lantai.
Sebenarnya ada dua level atau tingkat kesulitan pada
permainan ini. Untuk pemula, kita cukup menangkisnya dengan tangan. Kalau sudah
lebih mahir, kita juga bisa menangkisnya dengan kaki. Dan selama saya tinggal
di Bali, saya hanya bisa di tingkat pemula saja.
Permainan ini begitu populer di kalangan anak perempuan.
Kalau dirating, permainan kamboja lempar menempati posisi kedua setelah
permainan setan-setanan. Permainan setan-setanan sendiri adalah permainan
menyeberang dari tembok satu ke tembok seberang, tanpa tertangkap “setan” yang
berdiri di antara kedua tembok. Permainan ini sangat cocok dimainkan di lorong-lorong
yang tidak sempit.
Namun yang disayangkan dari permainan ini adalah bunganya
hanya bisa dipakai selama sehari saja. Setelahnya, kita tak bisa menyimpannya
karena sudah kering dan akan membusuk. Namun saya dan kawan-kawan tak lantas
patah arang. Dengan mudahnya, kami selalu mendapatkan stok bunga dari pohon
kamboja yang berguguran di sekolah. Jadilah kami memainkannya setiap hari.
Cukup unik, bukan? Mungkin ini akan jadi permainan masa kecil
saya yang paling unik karena tak cukup umum dimainkan di lain tempat. Mengenangnya
membuat saya menjadi nostalgia akan kehidupan 15 tahun silam. Sangat berkesan
bisa hidup di sebuah kota kecil di Pulau Bali.
15 tahun setelahnya, saya tak tahu lagi apakah permainan
ini masih hidup. Mengingat Bali kini semakin ramai dan modern karena
pariwisatanya berkembang pesat. Rindu saya membuat saya berjanji ingin ke
Karangasem suatu hari nanti.
Ini permainan masa kecil saya.
Bagaimana dengan masa kecilmu? Apa permainanmu?
No comments:
Post a Comment