Januari di kota Dili, tak terkira cinta bersemi
Januari lekas berganti, dan terhempas cintaku
Bait dari Rita Effendy tersebut membuat saya bernostalgia.
Terngiang sekali tatkala saya berkunjung ke negerinya Raul Lemos. Sudah lama
memang, ketika masih berumur sembilan tahun. 15 tahun yang lalu. Tapi kunjungan
ke sana begitu melekat karena Dili waktu itu masih menjadi bagian Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kedatangan itu pun hanya berjarak sekitar satu
bulan sebelum lagu tersebut tenar di pasar musik Indonesia.
Kala itu, ayah bekerja di Bumi Lorosae. Sedangkan itu,
libur catur wulan telah tiba. Artinya, kesempatan bagi saya untuk
bersenang-senang. Ibu mengajak saya berlibur ke Dili sambil menjenguk ayah.
Perjalanan udara saya tempuh dari Jogja menuju Denpasar. Setelah menginap
semalam di Denpasar, Bali, barulah kami melanjutkan perjalanan udara lagi ke
Timor Timur. Memang jarak yang jauh antara Jogja dan Dili, mengharuskan kami
untuk transit dahulu di Pulau Dewata.
Setibanya di Bandar Udara Comoro, gedung beratap khas rumah
adat Timor Timur, Los Palos, menyapa kami. Sangat unik! Ketika hendak mencari
pintu kedatangan, saya melihat kumpulan orang berdesak-desakan. Pintu itu sama
sekali berbeda dengan pintu kebanyakan, di mana pada umumnya pintu kedatangan
terbuka lebar dari kaca dan tanpa sekat. Sedangkan pintu ini dibuat bersekat
mengular yang berdiri setinggi dada atau perut manusia dewasa. Entah siapa
orang yang berkerumum itu dan apa yang mereka lakukan hingga berdesakan.
Menjemput keluarga? Porter? Ah, aku tak tahu! Akhirnya di antara kumpulan orang
itu, muncullah ayah yang kemudian menjemput saya dan ibu. Serta merta ia
membawa kami keluar di antara kerumunan itu.
Setelahnya, ayah membawa kami ke rumah dinasnya melewati
kota dan pantai. Ya, memang pusat kota Dili amat dekat dengan pantai. Pantai
itu bernama sama seperti kotanya, Pantai Dili. Pantainya berpasir putih.
Tepiannya tak begitu jauh dari jalan raya. Pemandangan yang nampak di pantai
itu adalah segerombolan anak laki-laki yang sebaya dengan saya, mandi di pantai
saat matahari tengah terik-teriknya. Bisa dikatakan bahwa saat itu tengah siang
bolong. Namun mereka juga tak peduli terhadap ancaman kulit gosong atau kepala
pusing. Sampai di sini, kesan pertama tentang Dili di benak saya adalah
panasnya yang tak terkira. Mudah dipahami mengapa anak-anak tadi mandi di
pantai. Di seberang pantai itu, saya melihat Kantor Gubernur yang cukup besar
dan megah. Di depannya terdapat lapangan luas berumput hijau.
Karena hari sudah tengah bolong, tak pelak yang kami
perlukan adalah santapan. Kami langsung dibawa pada sebuah restoran. Lamat-lamat
saya mencoba mengingat kenangan ketika ayah mengatakan, kalau di sana lauk pauk
dimakan terlebih dahulu sebelum nasinya. Namun karena kultur kami adalah Jawa,
kami tetap saja makan lauk pauk berbarengan dengan nasi. Setelah santap siang
usai, kami melaju lagi menuju rumah sambil menyusuri kota Dili.
Sebelum sampai rumah, kami melewati pasar. Di pasar itu,
banyak kios-kios yang menyerupai cakruk,
yang menjual pisang. Ibu saya mengatakan bahwa pedagang di sini amat berbeda.
Bila di Jawa atau daerah lainnya, setiap orang yang melewati kios mereka akan
disambut dan ditawari membeli di tempatnya. Di Dili, mereka cuek dan diam saja.
Bahkan ada yang tidur. Bisa jadi udara panas yang membuat mereka begitu.
Sampai juga kami di rumah. Rumah dinas ayah ada di Jalan
Pantai Kelapa, Desa Comoro, Kecamatan Dili Barat. Di kompleks itu, ada banyak
karyawan-karyawan lembaga pemerintahan tinggal. Di sebelah rumah kami malah ada
rekan kerja ayah yang beragama Hindu, yang kerap saya lihat melakukan doa dan
menaruh canang di sebuah pura kecil di depan rumahnya. Sebuah harmoni yang
indah di kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristiani.
Membicarakan bentang alam Dili, selain pantai, juga ada
gunung. Keduanya mempunyai potensi yang sama-sama menggairahkan. Di Pantai Dili,
kita bisa menikmati sajian ikan bakar segar setiap malamnya. Selain ikan, ada
juga yang berjualan jagung bakar di tepi jalan. Sungguh nikmat malam-malam hangout di sekitar pantai ini. Bila
siang hari bertandang ke pantai tersebut, kita bisa melihat bukit di salah satu
sudut pantai. Namanya Bukit Fatucama. Di atas bukit yang menghadap laut itu,
berdirilah patung Yesus Kristus yang disebut Cristo Rei. Patung tersebut agak
mirip dengan patung Yesus Kristus di Rio de Janeiro, Brazil. Keduanya sama-sama
terletak di dekat pantai pula. Konon di bukit Fatucama itulah, dapat kita temui
kebun kopi Timor Timur yang begitu nikmat dan khas rasanya.
patung Christo Rei (foto from Wikipedia) |
Saat itu, meski belum kisruh, sudah muncul
pergolakan-pergolakan di Dili. Ayah mengatakan, ia pernah mendengar suara
tembakan-tembakan peluru dari halaman belakang rumah kami. Namun kami patut
bersyukur bahwa ayah kami dan rekan-rekannya tetap selamat selama bekerja di
sana. Bahkan ketika Ayah harus mengungsi karena pergolakan semakin panas dan
tak terbendung, Ayah bisa pulang ke Pulau Jawa dan berpelukan dengan kami semua.
Tinggal di Dili sendiri, menurut saya, paling tidak harus
memiliki kipas angin. Bagaimana tidak? Udara yang begitu panas tersebut,
tentunya membuat diri merasa tak nyaman. Belum lagi, nyamuk di sana banyak dan
ganas. Ini membuat saya memonopoli satu-satunya kipas angin untuk diri sendiri.
Hal ini pun berujung pada sakitnya saya sesaat sebelum pulang kembali ke Jogja.
Saya dan ibu nyaris tertinggal pesawat.
Begitulah selaksa kenangan yang terekam tentang Dili. Saya
bangga bisa mengunjungi tempat ini. Meskipun Timor Timur telah lepas dari
kedaulatan Indonesia, terkadang saya bangga berkelakar kepada sesama kawan
kalau pernah keluar negeri karenanya. Dan bagaimana pun, Dili akan tetap hangat
dalam ingatanku seperti bait dari Rita Effendy.
Januari di kota Dili, kian hangat dalam ingatan
Nantikanlah aku kembali, tuk menjemput cintamu
skarang gimana ya kotanya? makin maju atau?
ReplyDeletekurang tau saya mas. sudah ga bisa ke sana lagi karena ga punya paspor :p
ReplyDelete