Monday 12 May 2014

Selaksa Kenangan Dili Sebelum Merdeka

Januari di kota Dili, tak terkira cinta bersemi 
Januari lekas berganti, dan terhempas cintaku

Bait dari Rita Effendy tersebut membuat saya bernostalgia. Terngiang sekali tatkala saya berkunjung ke negerinya Raul Lemos. Sudah lama memang, ketika masih berumur sembilan tahun. 15 tahun yang lalu. Tapi kunjungan ke sana begitu melekat karena Dili waktu itu masih menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedatangan itu pun hanya berjarak sekitar satu bulan sebelum lagu tersebut tenar di pasar musik Indonesia.
Kala itu, ayah bekerja di Bumi Lorosae. Sedangkan itu, libur catur wulan telah tiba. Artinya, kesempatan bagi saya untuk bersenang-senang. Ibu mengajak saya berlibur ke Dili sambil menjenguk ayah. Perjalanan udara saya tempuh dari Jogja menuju Denpasar. Setelah menginap semalam di Denpasar, Bali, barulah kami melanjutkan perjalanan udara lagi ke Timor Timur. Memang jarak yang jauh antara Jogja dan Dili, mengharuskan kami untuk transit dahulu di Pulau Dewata.
Setibanya di Bandar Udara Comoro, gedung beratap khas rumah adat Timor Timur, Los Palos, menyapa kami. Sangat unik! Ketika hendak mencari pintu kedatangan, saya melihat kumpulan orang berdesak-desakan. Pintu itu sama sekali berbeda dengan pintu kebanyakan, di mana pada umumnya pintu kedatangan terbuka lebar dari kaca dan tanpa sekat. Sedangkan pintu ini dibuat bersekat mengular yang berdiri setinggi dada atau perut manusia dewasa. Entah siapa orang yang berkerumum itu dan apa yang mereka lakukan hingga berdesakan. Menjemput keluarga? Porter? Ah, aku tak tahu! Akhirnya di antara kumpulan orang itu, muncullah ayah yang kemudian menjemput saya dan ibu. Serta merta ia membawa kami keluar di antara kerumunan itu.
Setelahnya, ayah membawa kami ke rumah dinasnya melewati kota dan pantai. Ya, memang pusat kota Dili amat dekat dengan pantai. Pantai itu bernama sama seperti kotanya, Pantai Dili. Pantainya berpasir putih. Tepiannya tak begitu jauh dari jalan raya. Pemandangan yang nampak di pantai itu adalah segerombolan anak laki-laki yang sebaya dengan saya, mandi di pantai saat matahari tengah terik-teriknya. Bisa dikatakan bahwa saat itu tengah siang bolong. Namun mereka juga tak peduli terhadap ancaman kulit gosong atau kepala pusing. Sampai di sini, kesan pertama tentang Dili di benak saya adalah panasnya yang tak terkira. Mudah dipahami mengapa anak-anak tadi mandi di pantai. Di seberang pantai itu, saya melihat Kantor Gubernur yang cukup besar dan megah. Di depannya terdapat lapangan luas berumput hijau.
Karena hari sudah tengah bolong, tak pelak yang kami perlukan adalah santapan. Kami langsung dibawa pada sebuah restoran. Lamat-lamat saya mencoba mengingat kenangan ketika ayah mengatakan, kalau di sana lauk pauk dimakan terlebih dahulu sebelum nasinya. Namun karena kultur kami adalah Jawa, kami tetap saja makan lauk pauk berbarengan dengan nasi. Setelah santap siang usai, kami melaju lagi menuju rumah sambil menyusuri kota Dili.
Sebelum sampai rumah, kami melewati pasar. Di pasar itu, banyak kios-kios yang menyerupai cakruk, yang menjual pisang. Ibu saya mengatakan bahwa pedagang di sini amat berbeda. Bila di Jawa atau daerah lainnya, setiap orang yang melewati kios mereka akan disambut dan ditawari membeli di tempatnya. Di Dili, mereka cuek dan diam saja. Bahkan ada yang tidur. Bisa jadi udara panas yang membuat mereka begitu.
Sampai juga kami di rumah. Rumah dinas ayah ada di Jalan Pantai Kelapa, Desa Comoro, Kecamatan Dili Barat. Di kompleks itu, ada banyak karyawan-karyawan lembaga pemerintahan tinggal. Di sebelah rumah kami malah ada rekan kerja ayah yang beragama Hindu, yang kerap saya lihat melakukan doa dan menaruh canang di sebuah pura kecil di depan rumahnya. Sebuah harmoni yang indah di kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristiani.

Membicarakan bentang alam Dili, selain pantai, juga ada gunung. Keduanya mempunyai potensi yang sama-sama menggairahkan. Di Pantai Dili, kita bisa menikmati sajian ikan bakar segar setiap malamnya. Selain ikan, ada juga yang berjualan jagung bakar di tepi jalan. Sungguh nikmat malam-malam hangout di sekitar pantai ini. Bila siang hari bertandang ke pantai tersebut, kita bisa melihat bukit di salah satu sudut pantai. Namanya Bukit Fatucama. Di atas bukit yang menghadap laut itu, berdirilah patung Yesus Kristus yang disebut Cristo Rei. Patung tersebut agak mirip dengan patung Yesus Kristus di Rio de Janeiro, Brazil. Keduanya sama-sama terletak di dekat pantai pula. Konon di bukit Fatucama itulah, dapat kita temui kebun kopi Timor Timur yang begitu nikmat dan khas rasanya.

patung Christo Rei (foto from Wikipedia)

Saat itu, meski belum kisruh, sudah muncul pergolakan-pergolakan di Dili. Ayah mengatakan, ia pernah mendengar suara tembakan-tembakan peluru dari halaman belakang rumah kami. Namun kami patut bersyukur bahwa ayah kami dan rekan-rekannya tetap selamat selama bekerja di sana. Bahkan ketika Ayah harus mengungsi karena pergolakan semakin panas dan tak terbendung, Ayah bisa pulang ke Pulau Jawa dan berpelukan dengan kami semua.
Tinggal di Dili sendiri, menurut saya, paling tidak harus memiliki kipas angin. Bagaimana tidak? Udara yang begitu panas tersebut, tentunya membuat diri merasa tak nyaman. Belum lagi, nyamuk di sana banyak dan ganas. Ini membuat saya memonopoli satu-satunya kipas angin untuk diri sendiri. Hal ini pun berujung pada sakitnya saya sesaat sebelum pulang kembali ke Jogja. Saya dan ibu nyaris tertinggal pesawat.
Begitulah selaksa kenangan yang terekam tentang Dili. Saya bangga bisa mengunjungi tempat ini. Meskipun Timor Timur telah lepas dari kedaulatan Indonesia, terkadang saya bangga berkelakar kepada sesama kawan kalau pernah keluar negeri karenanya. Dan bagaimana pun, Dili akan tetap hangat dalam ingatanku seperti bait dari Rita Effendy.
Januari di kota Dili, kian hangat dalam ingatan
Nantikanlah aku kembali, tuk menjemput cintamu

2 comments:

  1. skarang gimana ya kotanya? makin maju atau?

    ReplyDelete
  2. kurang tau saya mas. sudah ga bisa ke sana lagi karena ga punya paspor :p

    ReplyDelete