Thursday 22 May 2014

Kisah Was-Was Penduduk Merapi

Rabu, 30 Mei 2014 saya dan kawan-kawan mengunjungi Kawasan Wisata Kaliurang. Tepat malam sebelumnya, 29 Mei 2014 sekitar pukul 22.00 WIB, media ramai memberitakan kenaikan status merapi menjadi waspada dari normal aktif. Meski masih terlalu jauh dari awas, lantas kami juga ikut waspada selama di sana. Kalau-kalau ada kenaikan status tiba-tiba.
Tujuan awal kami adalah Jadah Mbah Carik I di Jalan Asta Mulya, Kaliurang. Sambil menunggu pesanan wajik, jadah, teh poci, dan teh rosela, kami pun berbincang-bincang dengan karyawan dan salah satu keturunan Mbah Carik yang usianya sudah sepuh. "Ssst! Ssst!" Suara itu muncul berulang kali. Namun kami masih asyik saja mengobrol sambil sesekali menyeruput teh hangat dan jadah tempe yang tersaji. Sampai kemudian radio HT dari Jalin Merapi berbunyi "Tit, tit!", kami baru peka. Itu pun setelah ibu karyawan berkata "Aku sok was-was e nek ngene iki," (maksudnya: aku sering was-was kalau dengar tanda sirine semacam ini).

Meski status Merapi naik menjadi waspada, mereka tetap bekerja
Ya. Pengalaman berulang kali menghadapi erupsi merapi memang mudah membuat penduduk merapi menjadi was-was, sensitif, dan trauma. Apalagi baru saja semalamnya Gunung Merapi mengeluarkan dentuman. Hari-hari di bulan-bulan sebelumnya pun, Merapi sempat bergeliat dan menghempaskan abu tipis. Sampai akhirnya malam terakhir, Merapi dinaikkan statusnya menjadi waspada.
Penduduk kawasan Merapi kini tak menganggap remeh alat komunikasi seperti HT. Meski kalah canggih dibandingkan HP, tablet, dan sejenisnya, HT lebih dibutuhkan untuk update perkembangan Merapi yang paling cepat. Sebab segala perkembangan Merapi via HT, dilaporkan langsung dari pos pengamatan. Warga tinggal menyalakannya stand by 24 jam dan perkembangan Merapi pun bisa didengar ke seluruh penjuru ruangan berkat volumenya yang keras. Apabila waktu evakuasi tiba, sirine status turut berbunyi sangat cepat dari HT.
Masih di Jadah Mbah Carik, saya cek akun facebook. Kawan saya yang tinggal di sekitaran Merapi pun berkeluh kesah. Dia amat prihatin dengan sejumlah jalan yang kini berlubang karena kerap lewatnya truk yang mengangkut batu dan pasir dari kali-kali sekitaran Merapi. Keadaan seperti itu dianggap mampu mempersulit evakuasi warga bila waktu erupsi tiba. Bayangkan ketika ratusan kendaraan menjauhi wedhus gembel dan menyesaki jalan penuh lubang dengan tergesa, apa jadinya?
Erupsi Merapi bukanlah sekali terjadi. Meski penanganan bencana Merapi dari tahun ke tahun selalu mendapat acungan jempol, ada baiknya jika pemerintah juga meningkatkan kewaspadaan lebih tinggi lagi. Terlebih dengan memperbaiki kondisi fisik jalur evakuasi dan pos penampungan.

No comments:

Post a Comment