Sunday 11 April 2010

APA YANG SALAH DENGAN PERFILMAN INDONESIA? (SEBUAH PANDANGAN DARI SEGI PENONTON)

Membicarakan perfilman Indonesia adalah suatu hal yang complicated. Apalagi jika pertanyaannya adalah “Apa yang salah dengan perfilman Indonesia?”. Serba salah rasanya untuk dijelaskan. Yang pasti, salahnya banyak! Apalagi kalau membicarakan kekurangan dan kelebihan. Pasti lebih banyak kurangnya dibanding lebihnya. Belum lagi kita tahu ada yang namanya Hollywood, yang selama ini biasanya menjadi parameter perfilman kita. Kita pasti akan selalu minder kalau membandingkan perfilman Indonesia dengan film-film dari Hollywood.
Biarkan aku menjelaskan apa salahnya. Pertama, perfilman Indonesia itu terlalu latah. Jika trend saat itu adalah film horor dan jika satu film horor yang sudah keluar duluan sukses, maka yang lainnya akan mengekor. Akan ada yang namanya ikut-ikutan memproduksi film dengan genre horror juga. Seperti misalnya ketika kesuksesan film Jailangkung terjadi. Pada masa-masa itu juga, dunia pertelevisian sedang booming program Dunia Lain atau tayangan-tayangan mengenai hal-hal mistik. Maka mengekorlah film-film lain bergenre horror, sampai kemudian penonton mencapai titik klimaks, eneg dan ingin muntah-muntah karena terlalu banyak dijejali tema horor. Apalagi kualitas film horor Indonesia semakin berkurang dari waktu ke waktu.
Kedua, perfilman Indonesia tidak bisa menggali potensi lebih untuk mengenalkan film horor secara lebih baik. Sebenarnya daerah-daerah di Asia, terutama Indonesia punya potensi hal-hal mistik yang bisa digali untuk dibuat film horor. Kita bisa lihat Toshio di Ju-On, Sadako di Ringu, atau vampire di film-film Cina. Mereka bisa dieksplor lebih baik dan hasilnya adalah film horor yang menarik, bukan yang norak dan dianggap sampah. Akhirnya diadaptasilah mereka oleh Hollywood. Hal ini karena orang-orang sudah bosan dengan American Horror Sucks.
Seharusnya ini menjadi kesempatan kita untuk menunjukkan kepada dunia (jika perfilman Indonesia ingin go international terutama), bahwa kita juga punya potensi. Kita punya jailangkung, pocong, genderuwo, kuntilanak. Tinggal bagaimana kita memperbaiki kualitas film horor kita supaya tidak monoton. Kita juga harus belajar banyak dari negara lain untuk ini.
Ketiga, ada banyak film di Indonesia yang berbau-bau nakal atau menyerempet ke tema-tema sex. Kita tentu masih ingat kasus pertengkaran antara Saiful Jamil dengan Kiky Fatmala. Hal ini dikarenakan improvisasi akting Saiful Jamil yang terlalu nakal. Aku pikir ini memang disengaja untuk mengundang rasa ingin tahu orang supaya menonton film tersebut. Tapi mereka mengelak. Belakangan aku tahu bahwa film ini diputar di bioskop Permata dari spanduk yang dipajang di sana. Ternyata covernya justru malah adegan Saiful Jamil memijat Kiky Fatmala, seperti yang diberitakan di infotainment. Judul pun cukup mengundang kontroversi karena sangat nakal. Aku tak akan menonton dan merekomendasikan film ini, pokoknya!
Keempat, sering ada sensasi-sensasi yang dibuat sebelum film diputar di bioskop. Biasanya ini berlaku bagi film yang istilahnya ecek-ecek atau tidak bermutu. Selain yang sudah dicontohkan pada nomor tiga, ada juga sensasi pertengkaran antara Andy Soraya dan Dewi Persik yang terjadi sebelum film Kutunggu Jandamu diputar. Menurutku sensasi ini sangat tidak penting. Akan tetapi penting bagi mereka pelaku perfilman supaya film mereka laku dan meraih untung yang tinggi. Berarti ada indikasi mereka takut filmnya tidak laku karena ceritanya biasa-biasa saja.
Keempat, masyarakat Indonesia belum siap terhadap film yang realistis. Apalagi jika film itu membuka fakta yang ada di masyarakat secara lugas. Pasti selalu ada yang namanya kontroversi. Hal ini terjadi ketika film Virgin akan diputar. Ketika aku mencoba mencoba menontonnya, ternyata ada beberapa hal yang memang nyata. Menurutku juga, ternyata pesan moral dari film ini juga bagus dan langsung dapat ditangkap. Ia mengena sekali bagiku.
Kelima, tidak semua film di Indonesia punya unsur mendidik. Sekalipun film itu untuk tujuan hiburan, paling tidak ada sedikit yang bisa kita petik untuk pelajaran kita. Kadang yang dipikirkan oleh pelaku film justru adalah bagaimana nanti film ini nanti laris dan untungnya banyak. Mereka tidak memikirkan apakah nantinya ada dampak buruk, terutama bagi kaum muda.
Kiranya itulah sedikit pandanganku terhadap film Indonesia. Ini juga bersifat unek-unek. Kalau ada yang sependapat, mari kita berdiskusi demi perfilman Indonesia yang lebih baik. Amin!

1 comment: