Tuesday 1 April 2014

Ketandan Tanpa Imlek

“Itu ya isinya kampung, Mbak. Kalau Imlek, lah baru ramai. Tapi ya isinya kuliner-kuliner gitu.”



Kalimat itu muncul dari seorang ibu ketika saya menanyakan ada apa di ruas jalan samping pusat belanja Ramayana, Malioboro, Yogyakarta. Ibu itu adalah seorang penjaja majalah bekas yang memang mangkal di bawah gapura besar bertuliskan Kampoeng Ketandan.

Ya. Jalan Ketandan yang dimaksud ibu itu. Selasa (1/4) siang, saya menyempatkan menyusuri jalan yang merupakan chinatown itu. Lekas setelah membeli majalah pesanan pelanggan, saya menjejaki Ketandan. Udara panas tak menyurutkan karena payung kecil menjadi solusinya.

Melalui gapura besar, tinggi, dihiasi dominasi warna merah dan hijau, serta ornamen naga yang begitu oriental, saya menyangka bahwa banyak hal menarik di dalamnya. Nyatanya, benar kata ibu tadi. Jalan ini tak ubahnya gang biasa. Kemegahan gapura yang indah di awalnya, ternyata hanya sekedar pertanda saja bahwa di sana adalah perkampungan etnis Tionghoa.

Mungkin ekspektasi saya juga yang terlalu tinggi. Sejak diresmikan pada Februari 2013 dan diiringi acara “Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta” pada setiap perayaan Imlek, saya mengira bahwa di sana akan ditemui daerah wisata yang menarik. Minimal ada sesuatu yang unik dan berbau oriental.

Sejadinya, satu-satunya penanda keorientalan di tempat ini adalah warung mi ayam kampung dan sate Matahari ini. Arsitekturnya masih klasik oriental dan memajang lampion merah bulat. Sayang, catnya dibiarkan terkelupas. Selain warung ini, sisanya adalah toko.



Lebih masuk lagi, saya menemui gapura yang sama megahnya seperti di awal tadi. Gapura itu bertuliskan The Malioboro Heritage Yogyakarta. Usut punya usut, di dalamnya adalah sebuah hotel.




Tepat di sebelah gapura hotel adalah kantor Dreamlight World Media. Dari reklame yang terpasang, diketahuilah kalau kantor ini memproduksi kartun Dunia Fantasi di salah satu stasiun televisi swasta. Bahkan kabarnya kartun ini pun diminati di pasar Asia. Tak disangka, jiwa kreatif Yogyakarta juga potensial di bidang perkartunan.




Saya tak henti berjalan hingga menemui sebuah perempatan kecil. Dari situ, saya lantas berbelok ke kanan karena tujuan selanjutnya adalah pusat buku Shopping Center. Tak dinyana jalan itu masih bernama Ketandan. Berbeda dari ruas jalan Ketandan sebelumnya, di sini saya menemukan hal yang menarik. Ibarat ilmu marketing, saya akan branding jalan ini dengan “Kampung Emas”.




Di ruas inilah berjajar toko emas. Meski hampir setiap nomor rumah menjadikannya bisnis, mereka seakan tak takut akan persaingan. Mereka seakan tak takut rugi. Apalagi di setiap toko ini juga melayani jual beli emas.

Perjalanan singkat di Ketandan pun berakhir. Sebenarnya menyenangkan bisa melewati daerah ini. Hanya saja, saya berharap. Di lain waktu, sisi oriental dari Ketandan bisa lebih nampak. Entah dari arsitektur rumah, aksesoris, atau minimal pengecatan kembali bangunan yang terkelupas. Seandainya tidak ada dua gapura besar tadi, saya tak akan mengerti bahwa ini adalah chinatown. Karena sejatinya Ketandan dapat menjadi sebuah kampung yang menarik, tidak hanya di kala Imlek dan Pekan Budaya Tionghoa berlangsung.

1 comment: