Monday, 28 April 2014

Surga Tersembunyi di Candi Gebang

Adalah sebuah resto dan pemancingan ikan bernama Ledok Gebang. Sebagian orang, khususnya warga Jogja mungkin masih asing dengan namanya. Namun karena keterasingannya lah tempat ini layak disebut surga tersembunyi.
Ledok Gebang layak disebut surga bukan hanya karena memiliki aneka menu sedap saja. Ledok (yang artinya jurang) ini juga memiliki hamparan alam nan indah yang "mengumpet" dari antara kawasan rumah penduduk yang padat.
Mengunjungi tempat ini, Anda harus waspada. Sebab kebablasan sedikit, anda akan tidak tahu kalau sudah sampai. Salah satu penanda dari Ledok Gebang adalah adanya gapura kayu coklat besar. Setelah memasukinya, Anda akan dibawa menurun menuju parkiran. Dengan sekejap, hamparan kolam ikan dan gubuk kayu pun terhampar luas. Pun diiringi pohon-pohon teduh yang melingkupi jurang ini.

pemandangan indah di Ledok Gebang

Apabila menyaksikan sinetron, jurang identik dengan bahaya dan rasa takut. Rasa itu pun musnah di sini. Betapa jurang yang juga memiliki sungai ini, dapat dikelola dengan sangat baik. Bahkan bagi penyuka ketenangan alam, tempat ini sangat direkomendasikan untuk mencari inspirasi.

tepian kolam yang membuat pikiran lebih adem

kumpulan bunga teratai

ikan-ikan gemuk yang menarik perhatian

Menu di restoran ini beragam. Mulai dari udang, cumi, sayur, tahu, tempe, ikan, dan aneka minuman jus. Yang pasti, rasanya tidak mengecewakan dan begitu nikmat sambil melihat alam. Harganya pun menengah dan tidak terlalu mahal.

menu tahu, tempe, tumis brokoli, udang, dan gurame khas Ledok Gebang

Penyuka fotografi, dari yang profesional sampai pemuja selfie tentu saja dapat memuaskan hasratnya di tempat ini. Lokasi nyaman, indah, dan tenang. Selain memberi rasa damai dan kenyang, tentunya mata menjadi lebih segar.

Saturday, 26 April 2014

Tahu Gejrot, Kuliner Segar Cirebon

Bicara soal tahu, makanan apa saja yang Anda tahu terbuat dari tahu? Gorengan, tahu petis, kupat tahu kah? Bagaimana dengan tahu gejrot?
Tahu gejrot adalah kuliner khas dari Cirebon. Sesuai namanya, tentu saja tahu menjadi bahan utama dalam kuliner ini. Tahu ini sangat istimewa karena rasanya yang segar. Tak lain dan tak bukan karena racikan bumbunya.

tahu gejrot biasa dimakan dengan menggunakan lidi

Tahu yang digunakan adalah tahu kering yang sudah digoreng dan dipotong sedang. Bumbunya terdiri dari air asam jawa, ulekan cabe hijau dan bawang merah. Terkadang ada pula yang menggunakan bawang putih. Racikan kuah itu pun terasa amat segar karena didukung asam jawa.
Meski berasal dari Cirebon, kuliner ini telah mulai tersebar di berbagai daerah Indonesia. Mulai dari warung, sepeda bergerobak, foodcourt, hingga restoran pun menjadikannya menu. Harganya bervariasi. Namun sejauh yang saya temui di Jogja, harga seporsinya tidak lebih dari Rp 6.000,00.
Ingin cari di Jogja? Anda harus sering-sering berputar di sekitaran Taman Pintar karena sepeda bergerobak yang menjualnya, sering berputar. Atau cobalah ke salah satu stand di Foodcourt Taman Pintar yang menjajakannya. Selamat mencoba!

Sunday, 20 April 2014

Sensasi Mengambang di Dalam Gua

Meski sudah agak siang, kami beruntung Kawasan Wisata Gua Pindul masih sepi. Padahal hari itu Sabtu. Baru saja menjejak ke gapuranya, dua orang pria tengah baya langsung menyambut kami dengan wajah sumringah. "Selamat datang di Gua Pindul!"
Sambutan itu agaknya membuat saya dan kawan-kawan SD saya langsung terkesan pada wisata alam rivertubing tersebut. Wisata yang dikelola oleh Wira Wisata Gua Pindul itu memang tengah hangat dibicarakan. Maklum, ia memang wisata baru. Lewatnya, wisatawan diajak menyusuri kegelapan dalam Gua Pindul dan mengambang di Sungai Oyo dengan ban karet.
Begitu sampai, kami yang memang sedang reuni kecil-kecilan itu, mendaftar dan menunggu nama kami dipanggil. Kami pun menitipkan barang bawaan di penitipan yang tak jauh dari pendaftaran. Sebab selama melakukan river tubing, tidak diperkenankan membawa barang bawaan, termasuk ponsel agar tidak basah.
Sembari menunggu di sebuah kursi bermejakan sederhana tapi nyaman dan akrab, kami mengomentari apa saja di sekitar kami. Mulai dari pajangan foto berjajar mengenai bentang alam di sekitar Gua Pindul, dokumentasi selama Gua Pindul diabadikan di TVC Djarum, syuting acara Koki Cilik, sampai foto kedatangan artis sinetron Stuart Collins.
Saya dan teman-teman sudah pasti berpikir. Bahwa wisata rivertubing yang lumayan menantang adrenalin ini, sangat memanjakan wisatawan yang datang. Selagi menunggu antrean, ada sekelompok pemain gamelan yang menghibur. Bagi pengunjung yang datang dari luar Jawa, tentunya ini sangat menarik. Belum lagi ketika kami usai melakukan rivertubing, secangkir wedang jahe disuguhkan sebagai pelepas rasa dingin selama basah-basahan di Sungai Oyo.
Segera setelah giliran kami tiba, dua orang pemandu memperkenalkan diri. Mereka pun mengajarkan kepada kami bagaimana caranya menggunakan rompi pelampung. Setelah kami paham dan benar-benar memakainya, kami memilih ban yang dirasa nyaman untuk memulai rivertubing.
Berjalan sebentar, tibalah kami di pinggir Sungai Oyo. Plung, plung, plung! Satu per satu ban karet masuk ke air. Tak terkecuali dengan orang yang menunggang di atasnya. Kami dianjurkan untuk bergandengan tangan agar tidak terpencar dari grup.


Area terang, remang-remang, lalu gelap. Itulah area dalam gua yang kami lewati. Menurut pemandu, ada batu lanang dan batu wedok di sana. Konon, mampu membuat yang memegangnya semakin rupawan.
Ketika area gua hampir berakhir, ada lubang di atap gua. Mirip Gua Jomblang, lubang ini memancarkan cahaya surga yang indah meskipun masih kalah dengan Gua Jomblang. Dari situ, wisatawan diajak berjalan kaki menyusuri pos sungai selanjutnya. Jalur berupa pematang sawah yang dilewati sangat menentramkan karena udara segar dan warna hijau dari tanaman padi. 
Untuk warga Kota Jogja yang ingin melewatkan akhir pekannya, Gua Pindul sangat tepat dicoba. Letaknya tidak jauh, ongkosnya juga tidak mahal, sensasinya pun menyenangkan. Hanya kira-kira Rp 45.000,00 per orangnya. Kapan lagi ke Pindul?

Monday, 14 April 2014

8 Pagi di Solo

Meski tubuh masih cukup lelah karena perjalanan Jogja-Solo, saya berusaha tak terlena dengan kenyamanan hotel yang saya inapi. Bergegas saya mandi, berdandan, dan turun keluar dari Solo Paragon Hotel pada jam 8 pagi.
Karena hotel itu tak jauh dari Jalan Slamet Riyadi, maka Jalan Slamet Riyadi lah yang pertama-tama ingin saya kunjungi dengan sepasang kaki ini. Berharap menemui nasi liwet untuk sarapan pagi, saya menembus Jalan Yosodipuro. Tak dinyana, hotel yang saya inapi juga dekat dengan Kalitan. Beberapa tukang becak barangkali memanggil-manggil hendak membawa saya lewat ke sana. Pun saya hanya berkata "mboten" karena tidak berniat pergi terlalu jauh.
Sampailah saya di tepi Jalan Slamet Riyadi. Mungkin karena hari itu Sabtu, ruas jalan utama di Solo ini tidak terlalu ramai. Sepi malah. Di seberang saya tepat, ada Loji Gandrung. Loji Gandrung adalah rumah dinas walikota Solo yang arsitekturnya masih klasik Belanda. Pendoponya kerap digunakan untuk sejumlah pertemuan. Saya ingin sekali menyeberang dan masuk ke sana. Namun ragu saya menghalangi karena sekali lagi, itu adalah rumah. Bukan tempat umum. Cukup saya memotret dari seberang saja.


Jalan Slamet Riyadi begitu lengang kala itu

Gapura Loji Gandrung

Patung Belanda di depan Loji Gandrung

Kembali lagi ke arah hotel, saya masih tidak menemui nasi liwet. Mungkin memang seharusnya saya mencarinya pada malam hari di sekitaran Keprabon atau Istana Mangkunegaran. Tak apa lah karena intinya, saya mau jalan-jalan dan mengabadikannya.
Sebelum kembali ke hotel, saya belok kiri dulu ke arah Ndalem Kalitan. Sesampainya di Kota Solo, saya dan keluarga memang telah beberapa kali melewatinya. Ibu berkata kalau itulah rumah Ibu Tien dahulu. Karena tahu lokasinya dekat, saya penasaran dan nekat mengunjunginya.


Gapura Ndalem Kalitan

Sampai di depan Ndalem Kalitan, saya mendapati parkiran yang cukup luas. Di depan Ndalem Kalitan yang bergapura, dinding tebal, bertempel lambang Garuda Pancasila, dan berpagar hijau itu, didapati pula masjid sederhana. Meski sederhana dan tanpa kubah, namun masjid ini terbilang cukup luas dan banyak disinggahi. Namanya Masjid Nurul Imam Kalitan.


Masjid Nurul Imam Kalitan. Persis di depan Ndalem Kalitan

Di kejauhan, saya mendapati sebuah pendopo di dalam Ndalem Kalitan. Konon orang yang ingin melihat-lihat hanya bisa sampai di pendopo saja. Tamu yang ingin berkunjung pun harus melapor terlebih dahulu. Di pendopo itulah, foto Bapak Soeharto dan Ibu Tien dipajang. Ndalem ini pun telah banyak menyimpan suka duka pasangan tersebut semenjak baru memulai biduk rumah tangga.
Sungguh nikmat membawa kebiasaan "mbolang" (jalan kaki) saya di Jogja ke Kota Solo. Apalagi di akhir pekan, pukul 8 pagi. Suasananya sepi dan belum banyak polusi. I wish I could walk more than this, really!

Menikmati Wajah Solo di Ketinggian

Solo merupakan kota kecil di Jawa Tengah dengan degup jantung yang cukup pesat. Kota ini dikenal cukup berkembang di bidang bisnis dan industri. Terlebih dengan investasi yang tinggi dan banyaknya etnis Cina yang pada masa Orde Baru dikenal sebagai pengusaha sukses. Tak heran, wajah Solo dahulu dan kini bisa dibilang cukup berbeda.

Solo siang hari

Pada foto tersebut, dapat kita saksikan pembangunan kota Solo semakin merayap. Bangunan semakin memadat. Pun gedung-gedung menjulang semakin meyakinkan maraknya usaha dan bisnis di sini. Hotel, mall, resident, dan perkantoran di antaranya.
Pada foto itulah, tersembunyi bangunan bersejarah bernama Ndalem Kalitan. Ndalem Kalitan adalah tempat peristirahatan mantan Presiden Soeharto dan Ibu Tien. Namun sulit benar untuk menunjukkan dengan sebatas jari. Bahkan oleh saya yang memotretnya sendiri. Ya, bangunan bersejarah tersebut terlampau tertutupi bangunan-bangunan lainnya.
Masih jelas teringat di benak. Tahun 2004 adalah pertama kalinya saya mengunjungi kota Solo. Saat itu, tempat hangout untuk pemuda-pemudi paling banter adalah Toserba Sami Luwes dan Matahari Singosaren. Semenjak Solo Grand Mall muncul kira-kira tahun 2008-an, diikuti Solo Square, Solo Paragon Mall, dan kawan-kawannya bisa jadi Sami Luwes dan Matahari Singosaren tak seheboh dahulu. Apalagi letak keduanya tidak di ruas jalan utama kota Solo, Jln. Slamet Riyadi.
Namun, pembangunan dan kepadatan itu tetap menyisakan wajah keindahan di malam hari. Pemandangan ini tak kalah indah dengan Bukit Bintang di Gunung Kidul, DIY atau Bukit Gombel di Semarang.

Suasana malam di kota Solo. Ada Solo Grand Mall di foto ini

Ada pula wajah lain yang tersembunyi dari Solo. Kita hanya dapat menjumpainya di pagi hari. Gunung Lawu. Tunggulah hingga siang dan deru kendaraan menjadi riuh. Gunung yang indah itu akan hilang ditelan awan dan hiruk pikuk kota Solo.

Gunung Lawu di tenggara Kota Solo

Sate Pak Banjir, Tak Pernah "Surut"

Mengunjungi kota Solo, tak lengkap apabila tak mampir ke warung Sate Ayam Pak Banjir. Sesuai namanya, warung ini tak pernah surut dari banjir pelanggan.
Coba saja mampir ke Jalan Ronggowarsito, Solo. Di seberang toko daging berjudul Saffron, ada sebuah trotoar dengan sisi yang disediakan untuk duduk. Di situlah Pak Banjir dan istrinya membuka tenda. Sedari jam 5 sore, kepul asap dan bara arangnya sudah merayu-rayu setiap kendaraan yang lewat.


Sate Ayam Pak Banjir yang tengah didatangi pembeli

Dibandingkan sate ayam lainnya, sate Pak Banjir jelas beda. Sate ini menggunakan uritan (telur muda) pada tusukannya. Anda tinggal memilih. Mau uritan asli atau yang sintetis? Yang sintetis dibuat dari putih telur ayam dan ini dikenali dari bulatan-bulatannya yang mengencang pada poros tusukan lidi. Sedangkan yang asli benar-benar terbuat dari kuning telur yang belum dibuahi. Bagi pengidap kolesterol, disarankan jangan mencoba uritan yang asli. Ini karena uritan yang asli merupakan jeroan. Apalagi masih ada hati ayam dalam tusukan sate uritan asli. Sedangkan orang-orang yang memerlukan kadar albumin, uritan sintetis lebih dianjurkan. Kalau Anda menghindari keduanya, Pak Banjir masih menyediakan sate ayam biasa berisi daging semua.


Sate uritan sintetis dan sate biasa

Kalau Anda mencari sambal di sini, percayalah tak ada! Sebab sate ayam Pak Banjir lengkap dengan lontongnya, akan dibumbui dengan kuah kacang dan bertabur potongan bawang merah serta cabe rawit saja. Namun sensasi cabe rawit yang dipotong-potong tersebut cukup membuat suasana menggelegar tanpa sambal.


Seporsi sate uritan yang dicampur sate biasa. Lengkap dengan lontong, bawang merah, dan cabe rawit.

Seporsi sate lengkap dengan lontong dan minumnya diperkirakan kira-kira Rp 15.000,00/porsi. Ini juga tergantung sate mana yang Anda pilih. Karena harga per tusuk untuk sate biasa, sate uritan sintetis, dan uritan asli pun berbeda. Dan jangan ragu bila ingin tambah cabe rawit dan bawang merah. Bu Banjir siap memotongkannya dalam keadaan segar dan tanpa tambahan biaya.


Cabe rawit dan bawang merah yang dipakai hanyalah yang segar

Karena sudah lumayan dikenal di Solo, sate ini juga sudah memiliki cabang. Cabang Sate Ayam Pak Banjir ada di Perempatan Nonongan, Jalan Slamet Riyadi. Tepatnya di dekat restoran Kusuma Sari. Tak jauh beda dengan Jalan Ronggowarsito, cabangnya ini juga terletak di trotoar depan toko yang telah tutup jika sore. Penjualnya pun masih bersaudara dengan Pak Banjir.
Bagaimana? Tertarik mencoba?

Taman Pintar, Tak Hanya Anak-Anak

Rombongan anak sekolah beserta gurunya segera berkumpul di depan pintu besar. Para guru merapikan anak-anak berusia 6 tahun tersebut dalam barisan tertata. Perlahan mereka memasuki Gedung Oval, Taman Pintar Yogyakarta.
Pemandangan seperti itulah yang kerap kita temui di area edukasi ilmu pengetahuan bernama Taman Pintar. Gedung yang terletak di Jalan Panembahan Senopati no 1-3 ini, memang kerap dikunjungi oleh anak sekolah sebagai sarana pendukung kegiatan belajar mengajar. Namun bukan berarti orang dewasa tak bisa dan tak boleh mengunjunginya.
Kamis (13/3), saya mengunjungi gedung yang bersebelahan pusat buku Shopping Center. Saat mengunjungi Taman Pintar, ada beberapa orang tanpa anak kecil yang berkunjung. Beberapa di antaranya adalah sepasang kekasih. Di luar itu semua adalah rombongan anak SMP dan sepasang orangtua yang menemani anaknya.
Saya dan kawan membeli tiket untuk memasuki ruang Memorabilia, Gedung Oval, dan Planetarium. Untuk memasuki ruang Memorabilia dan Gedung Oval hanya merogoh Rp 18.000,00. Sedangkan tiket untuk menyaksikan pertunjukkan Planetarium cukup Rp 15.000,00.
Di ruang Memorabilia, kami langsung disambut dengan riwayat Raja-Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat I - X. Dilanjutkan dengan ruang prajurit Keraton yg seragam, sebutan, dan fungsinya berbeda. Setelahnya ada lagi sejarah tokoh pendidikan Indonesia dan berakhir dengan sejarah presiden Indonesia.
Dua dari sepuluh Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Memasuki Gedung Oval, kami disambut dengan akuarium raksasa berdinding tebal. Tentu saja tebal karena isinya adalah sejumlah araipama gigas dan aneka ikan yang sulit dihitung satu per satu. Ini tempat favorit saya untuk berfoto. Zona kehidupan purba pun menyapa setelah saya puas berfoto di akuarium. Baru setelah itu, saya memasuki gedung dengan layout tata letak memutar seperti oval dan menemukan macam-macam alat peraga menarik.
Mau pilih Gempa Jogja, Papua, atau Padang?

Sedangkan Planetarium mengajak kita untuk menikmati simulasi langit kota Yogyakarta di malam hari. Duduk di sofa empuk dan menengadahkan kepala ke atap kubah, kita akan menyaksikan bintang, planet, matahari yang dipantulkan dari proyektor. Arena ini termasuk favorit remaja dan dewasa, yang mungkin karena efek romantisnya.

Ruang Planetarium
Ilmu pengetahuan adalah hal universal dan hak setiap orang utk mendapatkannya. Ilmu tak berbatas umur untuk diserap. Karena itu, mengapa ragu mengunjungi Taman Pintar?

Tuesday, 8 April 2014

Obama Tak Hanya di Menteng

Nama Menteng kerap disebut-sebut pada tahun 2008. Penyebutan itu seiring dengan terpilihnya Barrack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat. Di Menteng lah, Obama kecil pernah mengenyam bangku Sekolah Dasar. Namun tak banyak yang tahu jikalau suami dari Michelle Obama ini, juga pernah mengalami masa bahagia di Yogyakarta.

Sebuah rumah klasik bernomor D7 menjadi saksinya. Rumah yang kini menjadi bagian dari Museum UGM itu, menyimpan cerita tentang masa kanak-kanak Barrack Obama. Rumah itu memang tak semewah White House. Catnya didominasi warna putih dan sedikit abu-abu pada aksen kayunya. Kamarnya empat. Toiletnya terdiri dari toilet basah dan kakus yang terpisah ruang. Dengan adanya halaman luas di bagian depan dan belakang rumah, rumah ini bisa dikatakan sangat asri.


Ruang Barry lengkap dengan sejarahnya


Di rumah itulah, Obama kecil atau Barry mengisi liburnya. Bila libur puasa tiba (tahun 1967 - 1971), ibunya yang bernama Ann Dunham, mengajaknya ke Yogyakarta. Bersama ayah tirinya, Lolo Soetoro Ng, mereka menginap di rumah paman tiri Obama yaitu Prof. Drs. Iman Sutiknyo. Prof. Drs. Iman Sutiknyo adalah dosen Fakultas Pertanian dan suami dari kakak perempuan Lolo Soetoro Ng.

Di rumah itu, Barry tidur sekamar dengan pamannya. Kasur inilah yang dikenakannya.

Tata letak tempat Barry tidur

Selagi Barry berlibur, Ann Dunham melakukan penelitian di pelosok Daerah Istimewa Yogyakarta. Ann Dunham memang dikenal giat di bidang akademik. Selama di Jogja, ia meneliti di Bantul, Gunungkidul, dan Kulonprogo. Ann Dunham pun tak segan-segan berbaur dengan penduduk desa saking ramah dan menyenangkannya ia.

Beberapa foto Ann Dunham selama penelitian di DIY


Jika Anda tak percaya, bolehlah mampir ke Museum UGM yang beralamatkan di Perumahan Dosen UGM D7 Bulaksumur, Yogyakarta. Museum ini buka pada jam kerja dan tiketnya gratis. Selain Obama, Anda juga akan disuguhi dengan aneka sejarah dan tokoh-tokoh yang menyertai tumbuh kembangnya UGM seperti Prof. Dr. Sardjito dan Sri Sultan HB IX.

Tuhan, Aku Ingin Tahu

Tuhan, 
Kadang aku memendam rasa duga. Rasa ingin tahu. Seperti apakah malaikat yang selalu ada di sisi manusia? Seperti apakah rupa malaikat yang selalu ada di sisiku? Yang selalu menemaniku dalam setiap terik dan hujan. Yang selalu bersama sekalipun aku mengendarai motor sangat kencang.


Tuhan,
Seperti apa malaikat ketika berbisik kepada manusia? Bagaimana mereka mengucapkannya lewat otakku? Bagaimana pesannya itu menelusup ke hatiku?

Tuhan, 
Aku ingin tahu seperti apa malaikat itu ketika aku marah. Seperti apa ketika aku baik? Apa benar mereka ada dua? Yang satu setan bercula dan serba merah? Wajahnya membara-bara ketika membujuk aku untuk berlaku jahat? Apa iya, yang satu punya lingkaran di atas kepala yang bersinar? Apakah bersayap? Apa iya, malaikat baik itu serba berbalut putih suci? Wajahnya lemah lembut dan bersahajakah ketika merasukkan amanatnya ke dalam hatiku?

Tuhan, 
Ataukah jangan-jangan manusia hanya punya satu malaikat di setiap raganya? Di mana mereka dapat berbolak-balik transformasi jahat lalu baik, baik lalu jahat? Aku sangat ingin tahu rupanya Tuhan.

Tuhan, 
Aku ingin tahu. Bagaimana kau memberi perasaan cinta? Lewat wajah malaikat seperti apakah Engkau menelusupkan namanya di setiap pikir dan perasaan?

Tuhan, 
Aku ingin tahu. Bagaimana malaikat yang selalu mengiring dirinya? Apakah malaikat itu juga selalu menelusupkan namaku untuknya? Seperti apa wajah malaikatnya? Aku sungguh ingin tahu..

Tuhan, 
Aku terlalu ingin tahu. 

Tuhan,
Aku sudah banyak ingin tahu. Maafkan aku.

Monday, 7 April 2014

Artefak Terabai di Kasunanan

Solo merupakan kota kecil di Jawa Tengah yang detak jantungnya tinggi. Di sanalah hidup dua keraton, yang salah satunya adalah Kasunanan. Meski memiliki banyak artefak yang bernilai historis tinggi, amat disayangkan pihak Keraton Kasunanan tak mampu menjaganya dengan baik.
Sabtu siang, saya mengunjungi Museum Keraton Kasunanan dengan perasaan menggebu-gebu. Saya membayangkan gedung heritage dengan aneka pajangan menarik dan unik. Setelah membayar Rp 10.000,00 untuk sekali kunjungan ke Museum Keraton dan juga Keratonnya, saya masih harus berputar sedikit karena loket tak bersebelahan dengan pintu masuk.
Setelah tiket disobek, satu per satu ruang saya jejaki. Memasuki ruang pertama, kesan yang didapat cukup suram. Penerangan tak maksimal. Teman saya bilang, dia ngeri karena kesan seramnya.

Penerangan display tidak maksimal

Benar saja. Koleksi artefak semacam kendi-kendi tua dipajang di lemari kayu tua yang tinggi. Penerangan di lemari itu sendiri sudah remang, seperti lampu yang sudah harus diganti. Tak terkecuali penerangan untuk ruang yang seluas ruang kelas pun.
Ruang pertama yang saya masuki pun tidak menyertakan keterangan dari apa yang dipajang. Tak hanya itu, kedapatan debu yang menggelayut bergelantungan di antara langit-langit, dinding, dan lemari display.
Ketika melanjutkan ke ruang lainnya, saya mendapati artefak yang disimpan dengan silica gel berwarna pink. Rupanya pihak pemelihara Museum Keraton tidak tahu. Silica gel yang telah berubah warna menjadi pink menandakan sudah tak bisa menyerap kelembapan lagi. Untuk bisa dipakai lagi, silica gel harus dipanaskan dalam oven sampai berwarna biru lagi.
Yang paling memprihatinkan adalah adanya sejumlah kereta kencana yang terbengkalai dan dibiarkan teronggok rusak di teras museum. Sofanya lusuh dan tercerabut dari tempat semula. Patung malaikat Romawi yang klasik terlepas dan terbaring di dalam kereta. Entah mengapa ia dibiarkan saja. Apakah karena desainnya kebarat-baratan, kayunya sudah terlalu rapuh, tidak ada yang peduli, atau tidak ada dana?

Kereta klasik Eropa yang kondisinya mengenaskan

Area museum ini dibuat melingkar persegi, dengan bagian tengah berupa taman berpatung ala Romawi. Sayangnya patung ini terkelupas catnya. Daun kering pun berserakan di taman.

daun kering berserakan di taman museum

Memasuki area Keraton, ternyata terbatas sekali yang bisa kami lihat. Hanya pendopo dan halamannya. Sekali lagi, saya menemui patung romawi yang dibiarkan terkelupas catnya. Hanya saja, bagian pendopo lumayan bagus. Ia diberi tanda batas pengunjung serta sesajen kembang.

Pendopo Keraton dan patung klasik Eropa

Ada bagian pendopo lain yang menurut saya paling bagus dan mewah. Sepertinya merupakan ruang tambahan dengan dinding aksen kayu dan ruang berAC. Kala saya berkunjung ke sana, tamu dari Malaysia tengah dijamu.
Begitulah sekelumit kunjungan ke Museum Keraton Kasunanan Surakarta. Seharusnya dengan tiket Rp 10.000,00 per orang, saya akan mendapati banyak ilmu dan wawasan baru tentang Solo. Akan tetapi ekspektasi saya kurang terpuaskan karena minimnya perawatan di tempat itu. Semoga dengan tulisan ini, pihak Keraton Kasunanan Surakarta lebih terbuka untuk menjaga artefak budaya yang merupakan bakal budaya nasional. Apalagi banyak anak-anak sekolah yang berkunjung ke sana.

Ada Afrika di Jawa

Begitu asyiknya melihat-lihat film Barat dan video dokumentasi National Geographic yang menyajikan panorama Afrika. Aneka hewan yang berkejaran bebas di sabana, seperti tak mampu kita jangkau di Indonesia. Namun jangan salah! Jawa Timur punya lo!
Begitulah yang coba dibuktikan oleh tim Ekspedisi Magz. Dalam Volume 6 April 2014 bertajuk "Menyingkap Kabut Banyuwangi", tim majalah jalan-jalan ini mengunjungi Taman Nasional Baluran yang mereka sebut sebagai Afrika van Java. Taman Nasional Baluran yang terdiri dari hamparan sabana luas ini, tak hanya menyimpan aneka hewan saja.

Ekspedisi Magz Vol 6. Tak hanya di Baluran, ada pula Kawah Ijen.

Apabila dibandingkan dengan Afrika, koleksi hewan Taman Nasional Baluran jelas tertinggal kalah. Ketika Afrika memiliki singa, gajah, dan jerapah, Baluran menyimpan banteng, kerbau, rusa, monyet, dan burung. Vegetasi yang dimiliki pun berbeda. Namun jika Anda ingin melihat gunung atau mampir ke Pantai, Baluran telah menyediakannya.
Pantai Bama adalah salah satu kelebihan Baluran. Mampirlah ke sana untuk sekedar melihat matahari tenggelam atau berselancar. Betapa sempurnanya wisata pantai yang dikemas berbarengan dengan wisata flora fauna.
Tunggu apalagi? Download majalahnya sekarang juga di http://www.ekspedisimagz.com! Free dan rasakan asyiknya Afrika di Java!

Saturday, 5 April 2014

Rupa-Rupa Pemilu 2014

Pemilu 2014 sudah di ambang mata. Selagi itu, para wakil rakyat dan supporternya beramai-ramai melakukan aneka aksi untuk menarik perhatian dan dukungan massa. Caranya pun dari konvensional sampai setengah melucu.

demam "Aku Rapopo"

Respon masyarakat pun beragam. Ada yang positif, ada pula yang negatif. Semua sah-sah saja. Saya pribadi, tidak pernah menyukai kampanye. Bagi saya yang pejalan kaki, berada di dekat pawai kampanye itu sangat tidak enak. Selain polusi udara, polusi suara itu sudah pasti. Di kala saya merasakan gendang telinga "menari hebat" karena knalpot digeber-geber, mereka malah menutup telinga dengan kapas. Belum dengan kemacetan yang diciptakannya.
Di lain waktu, saya mengantre BBM di SPBU. Saat itu antrean motor lumayan mengular. Tiba-tiba dari belakang, muncul satu motor dengan suara dahsyat. Kecewa dengan antrean panjang, ia masuk ke antrean mobil yang hanya dua. Sayangnya, bukan mengantre paling belakang melainkan menyerobot di belakang pick up yang akan diisi bensin. Pick up pun terpaksa mengalah karena petugas menyodorkan selangnya ke motor sejenis RX King itu terlebih dahulu. Usai itu, seakan-akan gagah, motor itu digeber melaju bersama pengendaranya menjauhi SPBU.

tersangka penyerobot antrean SPBU
Lain lagi dengan para perempuan di foto berikut. Mereka tak mewakili partai politik apapun. Mereka adalah Koalisi Perempuan Indonesia yang tengah melakukan aksi damai. Dengan long march di sepanjang jalan Malioboro, mereka mendukung pemilu legislatif yang bersih. Meski Jogja sedang panas, semangat mereka patut diacungi jempol. Mereka kompak menyanyikan yel yang dicuplik dari lagu Iwak Peyek.

Koalisi Perempuan Indonesia
Apapun aksinya itu, mari kita wujudkan Pemilu 2014 ini sesuai jargon Luberjurdil. Dan semoga Indonesia ini mendapatkan pemimpin terbaik dari putra terbaiknya untuk 5 tahun ke depan.

Friday, 4 April 2014

Nahkoda Sehari di Museum Bahari

Meski silau, saya duduk di kursi hitam bertuliskan perwira jaga. Dari jendela kaca, saya mengamat-amati. Teleskop hitam diraih untuk memantau perjalanan lebih detil. Sayang bukan samudera luas yang dilihat, melainkan mobil di jalanan aspal. Itulah sudut anjungan di Museum Bahari.

salah satu sudut anjungan yang asyik dibawa berfantasi

Museum Bahari Yogyakarta terletak di Jalan RE Martadinata no 69. Museum milik Bapak Laksamana TNI Yosafat Didik Heru Purnomo ini, memang belum lama berdiri. Pendiriannya dilatarbelakangi oleh minimnya sarana edukasi kelautan di Yogyakarta.
Dari luarnya, museum ini sangat menarik. Arsitektur ala kapal sudah terlihat jelas. Ditambah adanya meriam yang biasa terletak di depan anjungan kapal. Pun museum ini dilengkapi dengan gedung penginapan bertingkat yang jendela-jendelanya amat mirip jendela-jendela di kapal.

bagian muka Museum Bahari Yogyakarta

Museum yang tiket masuknya hanya Rp 2.000,00 ini, memiliki tiga bagian. Bagian pertama adalah ruang souvenir. Ruang yang terletak di lantai satu ini berisi aneka souvenir dari beragam negara dan wilayah Indonesia yang didapat dari perjalanan pelayaran.

ukiran naga China dari kayu eboni

Naik ke lantai dua, di situlah kumpulan benda-benda yang berkaitan dengan laut dan pelayaran. Ada aneka miniatur kapal, teropong, meriam, seragam TNI AL, hingga torpedo besar buatan Rusia. Yang paling menarik, dipajang pula makanan konserven atau ransum prajurit TNI AL. Makanan tersebut terdiri dari biskuit merk Kabindo dan tuna kari kalengan merk Lotus.

torpedo besar dan berat dari Rusia

biskuit dan tuna kari untuk ransum, tidak dijual untuk umum

Turun lagi ke lantai satu dan keluar, marilah kita ke anjungan! Ruang inilah yang paling digemari. Ia memberikan simulasi bagaimana situasi supir menyupir kapal. Mulai radar, bel, papan informasi, alat komunikasi, teropong, hingga meja peta lengkap di sini. Pengunjung dipersilahkan berfoto sambil berhalusinasi sedang menjadi nahkoda kapal. Sangat mengasyikkan!

ruang anjungan Museum Bahari Yogyakarta

Tunggu apalagi? Siapkan kameramu, bergegas ke Museum Bahari Yogyakarta, dan jadilah nahkoda sehari!

Kembali Kanak-Kanak di Kolong Tangga

Apa yang kau mainkan saat kecil? Dakon, sempritan burung, ular tangga, atau Barbie? Semuanya ada di Kolong Tangga!

Museum Anak Kolong Tangga
Kolong Tangga yang satu ini bukanlah sudut remang di bawah tangga yang sempit dan berdebu. Bukan juga tempat ibu menaruh sapu dan alat pel lantai. Kolong Tangga adalah museum anak-anak yang bertempat di lantai dua Taman Budaya Yogyakarta. Museum yang diprakarsai seorang peneliti anak dari Belgia ini, menyimpan aneka kenangan masa kanak-kanak kita. Mulai dari permainan sampai kisah-kisah atau sejarahnya. Meski berfokus pada anak-anak di masa lampau, Kolong Tangga tak melupakan masa kini.
Menilik museum ini, saya seakan sadar bahwa saya hidup tengah-tengah era koleksi museum ini. Saya tidak sampai bermain Barbie tapi juga tidak bermain permainan yg terlalu tradisional yang terbuat dari kayu atau tanah liat. Sangat menarik dan membuat siapapun yang ke dalamnya bernostalgia.
Mainan di Kolong Tangga berasal dari seluruh penjuru Indonesia dan juga dari luar negeri. Sebutlah Toraja atau juga Kongo. Dari modern hingga tradisional. Dilihat dari bahan pembuatannya, ada yang dari kayu, kaleng, tanah liat, kertas, hingga plastik. Mau lihat Snow White atau Superman juga ada.

permainan dakon
Bagian menarik, menurut saya, ada di bagian terakhir dari museum. Bagian-bagian itu menyuguhkan peralatan sekolah di masa lalu. Di mana siswa menulis masih dengan sabak dan grip. Mejanya masih bersudut miring dengan bolongan di tengah meja. Bangkunya dibuat terhubung dengan meja. Meski tidak mengalami masa prihatin mencatat pelajaran dengan sabak dan grip (yang kemudian akan dihapus dan hanya tersimpan di otak), tapi meja miring beserta bangku itu masih ada ketika saya menimba ilmu di tingkat SD.

Simulasi kecil ruang kelas di masa lalu
Amat menarik mengunjungi museum ini. Cukup merogoh Rp 4.000,00 dr kantong, Anda sudah bisa menikmati permainan kanak-kanak yang sekarang entah di mana disimpan. Selamat berkunjung!