Saturday, 24 May 2014

Sego Welut, Alternatif Mangut Baru

Ingat welut, ingat Godean. Ingat lele, ingat mangut? Jangan salah! Mangut tak selalu lele. Karena kini Godean memiliki sego mangut welut sebagai alternatif baru.

Daerah Godean, Sleman, DIY memang sudah dikenal luas sebagai penghasil belut. Terlebih dengan banyaknya lahan persawahan yang dikenal sebagai habitat asli belut. Orang yang berwisata ke Yogyakarta kerap menyempatkan diri mampir dan membeli kripik belut untuk oleh-oleh. Pun ada juga yang mampir ke Warung Sego Welut Bu Surani.

alamat warung Bu Surani

Tak ubahnya belut, warung Bu Surani pun sudah tersohor. Kelezatan mangut welutnya yang jarang ditemukan di tempat lain, berpadu dengan sepotong krecek yang kemerahan. Santannya gurih dan tidak pedas. Seporsi sego welut yang berisi nasi, krecek, dan welut ini dibanderol tak mahal. Hanya Rp 8.000,00 saja untuk sensasi daging yang sekaligus beradu dengan tulangnya.

sego welut dan sego lele

Kalau mau tambahan lauk lain, Anda tinggal memilih menu yang tersedia di deretan panci Bu Surani. Sebab ia menyediakan mangut lele dan juga gudeg. Bila seporsi mangut welut dirasa kurang, bisa dikombinasikan dengan daun singkong, gori, atau telur ayam rebus pada gudeg.
Warung Bu Surani terletak tepat di seberang Pasar Godean. Anda harus pelan-pelan ketika melewatinya. Sebab spanduk tulisan warung Bu Surani tidak dihadapkan ke arah jalan. Warung ini sendiri berbagi lahan dengan parkir motor. Tetenger yang bisa dilihat dari pinggir jalan adalah seorang ibu yang berdiri di belakang meja pendek, dengan banyak panci berjajar di atasnya.

Bu Surani tengah disibukkan melayani pelanggan

Jangan ragu, jangan jijik! Mangut welut enak sekali.

Friday, 23 May 2014

Ketika Tongseng Beradu dengan Telur

Suka tongseng? Bosan dengan tongseng yang itu-itu saja?

Bila sedang di Yogyakarta, ada baiknya kalau Anda beranjangsana ke kawasan wisata Air Terjun Telogo Putri, Kaliurang, Sleman Begitu patung burung elang menyapa, tengoklah sebelah kanan. Mampirlah ke Warung Makan dan Catering Mbah Ganis.

Aneka menu di Warung Mbah Ganis
Meskipun nama warungnya sangat sederhana, menu Mbah Ganis tidaklah sesederhana namanya. Warung ini menyimpan begitu banyak menu untuk disajikan. Dan yang paling istimewa adalah menu tongseng kopyok. Apa itu tongseng kopyok? Tongseng kopyok adalah tongseng yang kuahnya dicampur dengan telur. Rasanya pedas karena kuah kocor, cabe rawit, dan lada putih. Meski pedas, nikmatnya membuat kita ketagihan. Pilihan dagingnya variatif meliputi kelinci, ayam, dan kambing. Yang pasti, semua dagingnya empuk dan meresap bumbunya!

Menengok dapur Mbah Ganis, ada kuah gulai dan kuah kocor
Bukan hanya soal rasa. Penampilan pun boleh diuji. Meski judulnya tongseng, daging yang dikenakan ditusuk seperti sate. Pun piring yang dikenakan mirip dengan buffet hotel. Kelebihan lainnya, harganya tergolong murah dan kita juga bisa melihat proses memasaknya langsung di dapur.
Aneka olahan kelinci, mulai dari sate hingga tongseng kopyok
Meski ada dua orang mbak yang membantunya, Mbah Ganis yang belum tua ini, tetap turun langsung ketika memasak. Terlebih dengan menu tongseng dan sate. Ia memiliki takaran khusus yang tak tergantikan.

Bagaimana dengan Anda? Mau coba tongseng yang menagih ini? Jangan lupa ke area wisata Telaga Putri ya, bila ke Jogja!

Thursday, 22 May 2014

Kisah Was-Was Penduduk Merapi

Rabu, 30 Mei 2014 saya dan kawan-kawan mengunjungi Kawasan Wisata Kaliurang. Tepat malam sebelumnya, 29 Mei 2014 sekitar pukul 22.00 WIB, media ramai memberitakan kenaikan status merapi menjadi waspada dari normal aktif. Meski masih terlalu jauh dari awas, lantas kami juga ikut waspada selama di sana. Kalau-kalau ada kenaikan status tiba-tiba.
Tujuan awal kami adalah Jadah Mbah Carik I di Jalan Asta Mulya, Kaliurang. Sambil menunggu pesanan wajik, jadah, teh poci, dan teh rosela, kami pun berbincang-bincang dengan karyawan dan salah satu keturunan Mbah Carik yang usianya sudah sepuh. "Ssst! Ssst!" Suara itu muncul berulang kali. Namun kami masih asyik saja mengobrol sambil sesekali menyeruput teh hangat dan jadah tempe yang tersaji. Sampai kemudian radio HT dari Jalin Merapi berbunyi "Tit, tit!", kami baru peka. Itu pun setelah ibu karyawan berkata "Aku sok was-was e nek ngene iki," (maksudnya: aku sering was-was kalau dengar tanda sirine semacam ini).

Meski status Merapi naik menjadi waspada, mereka tetap bekerja
Ya. Pengalaman berulang kali menghadapi erupsi merapi memang mudah membuat penduduk merapi menjadi was-was, sensitif, dan trauma. Apalagi baru saja semalamnya Gunung Merapi mengeluarkan dentuman. Hari-hari di bulan-bulan sebelumnya pun, Merapi sempat bergeliat dan menghempaskan abu tipis. Sampai akhirnya malam terakhir, Merapi dinaikkan statusnya menjadi waspada.
Penduduk kawasan Merapi kini tak menganggap remeh alat komunikasi seperti HT. Meski kalah canggih dibandingkan HP, tablet, dan sejenisnya, HT lebih dibutuhkan untuk update perkembangan Merapi yang paling cepat. Sebab segala perkembangan Merapi via HT, dilaporkan langsung dari pos pengamatan. Warga tinggal menyalakannya stand by 24 jam dan perkembangan Merapi pun bisa didengar ke seluruh penjuru ruangan berkat volumenya yang keras. Apabila waktu evakuasi tiba, sirine status turut berbunyi sangat cepat dari HT.
Masih di Jadah Mbah Carik, saya cek akun facebook. Kawan saya yang tinggal di sekitaran Merapi pun berkeluh kesah. Dia amat prihatin dengan sejumlah jalan yang kini berlubang karena kerap lewatnya truk yang mengangkut batu dan pasir dari kali-kali sekitaran Merapi. Keadaan seperti itu dianggap mampu mempersulit evakuasi warga bila waktu erupsi tiba. Bayangkan ketika ratusan kendaraan menjauhi wedhus gembel dan menyesaki jalan penuh lubang dengan tergesa, apa jadinya?
Erupsi Merapi bukanlah sekali terjadi. Meski penanganan bencana Merapi dari tahun ke tahun selalu mendapat acungan jempol, ada baiknya jika pemerintah juga meningkatkan kewaspadaan lebih tinggi lagi. Terlebih dengan memperbaiki kondisi fisik jalur evakuasi dan pos penampungan.

Wednesday, 21 May 2014

Mbah Carik, dari Perangkat Desa ke Jadah

Siapa yang tak kenal dengan jadah tempe Mbah Carik? Penduduk Jogjakarta tentunya mengenalnya sebagai jajanan kondang dari Kaliurang. Lebih dari itu, Mbah Carik pula lah yang pertama kali mencetuskan resep burger Jawa ini.

Tokoh di balik Jadah Mbah Carik yang melegenda
Mbah Carik yang bernama asli Sastro Dinomo ini, merupakan istri carik (perangkat desa) di Kaliurang. Itulah mengapa beliau disebut demikian. Beliau telah memulai usahanya semenjak tahun 1945. "Di tahun itu, Kaliurang sudah ramai didatangi sebagai daerah pariwisata," jelas seorang simbah yang merupakan salah satu keturunan dari Mbah Carik. "Awalnya Mbah Carik hanya berjualan di tepian jalan di Kaliurang," tambah Simbah Putri tersebut. Usaha Mbah Carik pun semakin kondang semenjak Sri Sultan HB IX mencicipinya. Beliau begitu gemar dan kerap membelinya. Semenjak itu pula bermunculan jadah-jadah yang lainnya.

Jadah tempe bacem lengkap dengan cabai hijau
Usaha ini pun masih dilanjutkan oleh anak-anak Mbah Carik. Oleh karenanya, bisa ditemui beberapa cabang dari Jadah Tempe Mbah Carik di beberapa tempat seperti di kawasan wisata Air Terjun Tlogo Putri, Kaliurang. Sedangkan yang pertama bisa ditemui di Jalan Astamulya, dekat patung Kali dan Urang yang juga tak jauh dari kantor polisi.
Bila berkunjung ke Warung Jadah Tempe Mbah Carik di Jalan Astamulya, kita bisa mampir ke dapurnya. Ternyata jadah ini masih diolah dengan tungku, dalam sebuah dapur tradisional yang besar dan berasap. Butuh sekitar 5 tungku besar untuk memasak jadah dan bacemannya. Bahkan kelapa untuk campuran beras ketannya pun berbutir-butir banyaknya.

Dapur tungku Mbah Carik yang penuh asap
Selain menjual jadah tempe, ada pula jadah tahu bacem dan wajik. Sejumlah makanan lain yang terpampang di meja pun sanggup membuat kita berbetah lama di sini. Sebutlah mie rebus, aneka kripik, dsb. Tertarik mencoba?

Monday, 19 May 2014

Kamboja Lempar

Anak-anak, bahkan balita zaman sekarang sudah tentu akrab betul dengan teknologi. Tak heran di antara kita menemui bocah-bocah sudah akrab menyentuh layar tablet atau mouse. Kala yang sama, orang tuanya sibuk dengan urusan mereka.
Bukan hal yang salah sebenarnya. Teknologi masa kini bisa menjadi alat edukasi yang interaktif untuk anak-anak. Bahkan keberadaan teknologi bisa lebih mencerdaskan anak-anak sebelum waktunya mereka belajar membaca. Namun ada baiknya pula mereka tetap dikenalkan pada permainan tradisional daerah. Selain kemampuannya dalam mengajarkan sosialisasi dan mengenali budayanya sendiri, menurut saya permainan tradisional daerah akan memberi kenangan tersendiri kala mereka dewasa nanti. Kenangan tak terlupakan yang menarik untuk dibagi pada orang lain, bahkan pada anak cucu mereka sendiri.
Bicara soal permainan tradisional daerah, saya merasa amat beruntung memiliki kenangan yang cukup unik. Memiliki ayah yang bekerja sebagai PNS, membuat saya sempat berkunjung dan tinggal di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah di pulau dewata, Bali. Tepatnya di Karangasem, Amlapura. Bila dilihat pada peta, Karangasem ada di Bali bagian timur.
Selama setahun tinggal di sana, saya bersekolah di SDN Karangasem I. Selama setahun itulah, saya menemui berbagai macam adat budaya setempat yang menarik dan unik. Salah satunya adalah permainan unik yang tak saya temui di daerah lain, khususnya di Jawa, daerah asal saya.

Di Jawa, pohon kamboja kerap ditemui di area pekuburan. Namun lain halnya dengan Bali. Pohon ini mudah sekali ditemui di beberapa tempat, khususnya di pura. Pura itu sendiri mudah ditemui di rumah-rumah. Pun di depan rumah dinas yang keluarga saya diami antara tahun 1997-1998 itu. Di halaman rumah saya, ada dua pura. Yang satu besar dan berpagar. Yang satunya lagi kecil dan tidak berpagar. Pohon kambojanya sendiri ada di pura yang besar dan berpagar. Sama halnya dengan sekolah saya, yang kebetulan merupakan salah satu sekolah bagus di daerah itu. Keberadaan pohon kamboja di pura sekolah itu pun jadi kesenangan untuk anak-anak SD seperti saya dan kawan-kawan.


Sebagai anak baru pindahan, saya begitu cepat mengenal permainan kamboja lempar ini. Ya, kamboja lempar. Begitu saya menyebutnya. Saya kurang tahu atau mungkin sudah lupa apa nama aslinya. Saya juga tak tahu siapa yang memulai dan bagaimana sejarahnya. Saya hanya terlarut dengan asyiknya melempar-lempar bunga kamboja.
Untuk memainkannya, kita perlu mengumpulkan bunga kamboja putih yang sudah gugur dari pohonnya. Setelah terkumpul cukup banyak, bunga-bunga itu harus dijadikan kering. Caranya, cukup gesek-gesekkan satu atau dua bunga kamboja di antara kedua telapak tangan kita. Setelah dirasa cukup, hentikan. Bunga yang tadinya putih, berubah kecoklatan karena layu. Setelah itu, satukan beberapa bunga yang kering menjadi satu. Jadikan satu dengan rapi. Kelopak dengan kelopak, tangkai dengan tangkai. Kemudian, di bagian tangkainya diikat kencang dengan karet gelang. Tujuannya agar tak ada bunga yang lepas. Jadilah!
Untuk memainkannya, sederhana saja. Cukup lemparkan bunga ke udara. Ketika bunga itu hendak jatuh, cepat-cepat kita tangkis terus-menerus. Jangan sampai bunganya jatuh mengenai tanah atau lantai.
Sebenarnya ada dua level atau tingkat kesulitan pada permainan ini. Untuk pemula, kita cukup menangkisnya dengan tangan. Kalau sudah lebih mahir, kita juga bisa menangkisnya dengan kaki. Dan selama saya tinggal di Bali, saya hanya bisa di tingkat pemula saja.
Permainan ini begitu populer di kalangan anak perempuan. Kalau dirating, permainan kamboja lempar menempati posisi kedua setelah permainan setan-setanan. Permainan setan-setanan sendiri adalah permainan menyeberang dari tembok satu ke tembok seberang, tanpa tertangkap “setan” yang berdiri di antara kedua tembok. Permainan ini sangat cocok dimainkan di lorong-lorong yang tidak sempit.
Namun yang disayangkan dari permainan ini adalah bunganya hanya bisa dipakai selama sehari saja. Setelahnya, kita tak bisa menyimpannya karena sudah kering dan akan membusuk. Namun saya dan kawan-kawan tak lantas patah arang. Dengan mudahnya, kami selalu mendapatkan stok bunga dari pohon kamboja yang berguguran di sekolah. Jadilah kami memainkannya setiap hari.
Cukup unik, bukan? Mungkin ini akan jadi permainan masa kecil saya yang paling unik karena tak cukup umum dimainkan di lain tempat. Mengenangnya membuat saya menjadi nostalgia akan kehidupan 15 tahun silam. Sangat berkesan bisa hidup di sebuah kota kecil di Pulau Bali.
15 tahun setelahnya, saya tak tahu lagi apakah permainan ini masih hidup. Mengingat Bali kini semakin ramai dan modern karena pariwisatanya berkembang pesat. Rindu saya membuat saya berjanji ingin ke Karangasem suatu hari nanti.
Ini permainan masa kecil saya. Bagaimana dengan masa kecilmu? Apa permainanmu?

Monday, 12 May 2014

Selaksa Kenangan Dili Sebelum Merdeka

Januari di kota Dili, tak terkira cinta bersemi 
Januari lekas berganti, dan terhempas cintaku

Bait dari Rita Effendy tersebut membuat saya bernostalgia. Terngiang sekali tatkala saya berkunjung ke negerinya Raul Lemos. Sudah lama memang, ketika masih berumur sembilan tahun. 15 tahun yang lalu. Tapi kunjungan ke sana begitu melekat karena Dili waktu itu masih menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedatangan itu pun hanya berjarak sekitar satu bulan sebelum lagu tersebut tenar di pasar musik Indonesia.
Kala itu, ayah bekerja di Bumi Lorosae. Sedangkan itu, libur catur wulan telah tiba. Artinya, kesempatan bagi saya untuk bersenang-senang. Ibu mengajak saya berlibur ke Dili sambil menjenguk ayah. Perjalanan udara saya tempuh dari Jogja menuju Denpasar. Setelah menginap semalam di Denpasar, Bali, barulah kami melanjutkan perjalanan udara lagi ke Timor Timur. Memang jarak yang jauh antara Jogja dan Dili, mengharuskan kami untuk transit dahulu di Pulau Dewata.
Setibanya di Bandar Udara Comoro, gedung beratap khas rumah adat Timor Timur, Los Palos, menyapa kami. Sangat unik! Ketika hendak mencari pintu kedatangan, saya melihat kumpulan orang berdesak-desakan. Pintu itu sama sekali berbeda dengan pintu kebanyakan, di mana pada umumnya pintu kedatangan terbuka lebar dari kaca dan tanpa sekat. Sedangkan pintu ini dibuat bersekat mengular yang berdiri setinggi dada atau perut manusia dewasa. Entah siapa orang yang berkerumum itu dan apa yang mereka lakukan hingga berdesakan. Menjemput keluarga? Porter? Ah, aku tak tahu! Akhirnya di antara kumpulan orang itu, muncullah ayah yang kemudian menjemput saya dan ibu. Serta merta ia membawa kami keluar di antara kerumunan itu.
Setelahnya, ayah membawa kami ke rumah dinasnya melewati kota dan pantai. Ya, memang pusat kota Dili amat dekat dengan pantai. Pantai itu bernama sama seperti kotanya, Pantai Dili. Pantainya berpasir putih. Tepiannya tak begitu jauh dari jalan raya. Pemandangan yang nampak di pantai itu adalah segerombolan anak laki-laki yang sebaya dengan saya, mandi di pantai saat matahari tengah terik-teriknya. Bisa dikatakan bahwa saat itu tengah siang bolong. Namun mereka juga tak peduli terhadap ancaman kulit gosong atau kepala pusing. Sampai di sini, kesan pertama tentang Dili di benak saya adalah panasnya yang tak terkira. Mudah dipahami mengapa anak-anak tadi mandi di pantai. Di seberang pantai itu, saya melihat Kantor Gubernur yang cukup besar dan megah. Di depannya terdapat lapangan luas berumput hijau.
Karena hari sudah tengah bolong, tak pelak yang kami perlukan adalah santapan. Kami langsung dibawa pada sebuah restoran. Lamat-lamat saya mencoba mengingat kenangan ketika ayah mengatakan, kalau di sana lauk pauk dimakan terlebih dahulu sebelum nasinya. Namun karena kultur kami adalah Jawa, kami tetap saja makan lauk pauk berbarengan dengan nasi. Setelah santap siang usai, kami melaju lagi menuju rumah sambil menyusuri kota Dili.
Sebelum sampai rumah, kami melewati pasar. Di pasar itu, banyak kios-kios yang menyerupai cakruk, yang menjual pisang. Ibu saya mengatakan bahwa pedagang di sini amat berbeda. Bila di Jawa atau daerah lainnya, setiap orang yang melewati kios mereka akan disambut dan ditawari membeli di tempatnya. Di Dili, mereka cuek dan diam saja. Bahkan ada yang tidur. Bisa jadi udara panas yang membuat mereka begitu.
Sampai juga kami di rumah. Rumah dinas ayah ada di Jalan Pantai Kelapa, Desa Comoro, Kecamatan Dili Barat. Di kompleks itu, ada banyak karyawan-karyawan lembaga pemerintahan tinggal. Di sebelah rumah kami malah ada rekan kerja ayah yang beragama Hindu, yang kerap saya lihat melakukan doa dan menaruh canang di sebuah pura kecil di depan rumahnya. Sebuah harmoni yang indah di kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristiani.

Membicarakan bentang alam Dili, selain pantai, juga ada gunung. Keduanya mempunyai potensi yang sama-sama menggairahkan. Di Pantai Dili, kita bisa menikmati sajian ikan bakar segar setiap malamnya. Selain ikan, ada juga yang berjualan jagung bakar di tepi jalan. Sungguh nikmat malam-malam hangout di sekitar pantai ini. Bila siang hari bertandang ke pantai tersebut, kita bisa melihat bukit di salah satu sudut pantai. Namanya Bukit Fatucama. Di atas bukit yang menghadap laut itu, berdirilah patung Yesus Kristus yang disebut Cristo Rei. Patung tersebut agak mirip dengan patung Yesus Kristus di Rio de Janeiro, Brazil. Keduanya sama-sama terletak di dekat pantai pula. Konon di bukit Fatucama itulah, dapat kita temui kebun kopi Timor Timur yang begitu nikmat dan khas rasanya.

patung Christo Rei (foto from Wikipedia)

Saat itu, meski belum kisruh, sudah muncul pergolakan-pergolakan di Dili. Ayah mengatakan, ia pernah mendengar suara tembakan-tembakan peluru dari halaman belakang rumah kami. Namun kami patut bersyukur bahwa ayah kami dan rekan-rekannya tetap selamat selama bekerja di sana. Bahkan ketika Ayah harus mengungsi karena pergolakan semakin panas dan tak terbendung, Ayah bisa pulang ke Pulau Jawa dan berpelukan dengan kami semua.
Tinggal di Dili sendiri, menurut saya, paling tidak harus memiliki kipas angin. Bagaimana tidak? Udara yang begitu panas tersebut, tentunya membuat diri merasa tak nyaman. Belum lagi, nyamuk di sana banyak dan ganas. Ini membuat saya memonopoli satu-satunya kipas angin untuk diri sendiri. Hal ini pun berujung pada sakitnya saya sesaat sebelum pulang kembali ke Jogja. Saya dan ibu nyaris tertinggal pesawat.
Begitulah selaksa kenangan yang terekam tentang Dili. Saya bangga bisa mengunjungi tempat ini. Meskipun Timor Timur telah lepas dari kedaulatan Indonesia, terkadang saya bangga berkelakar kepada sesama kawan kalau pernah keluar negeri karenanya. Dan bagaimana pun, Dili akan tetap hangat dalam ingatanku seperti bait dari Rita Effendy.
Januari di kota Dili, kian hangat dalam ingatan
Nantikanlah aku kembali, tuk menjemput cintamu

Monday, 5 May 2014

Kental Hangatnya Mie Ongklok

Mengunjungi dinginnya kota Wonosobo, Jawa Tengah rasa-rasanya sangat tak lengkap bila kita tidak mencari suatu penghangat. Terletak di bawah kaki gunung Sindoro dan Sumbing, kota kecil tersebut dianugerahi suhu udara yang sejuk. Salah satu penghangat yang dirasa tepat adalah kuliner. Menjelajahi kota yang juga menjadi rute menuju Pegunungan Dieng ini, apalagi kalau bukan mie ongklok yang jadi makanan khas.

Mie ongklok adalah mie tipis berwarna kuning, yang disiram kuah kental dan ditaburi daun kucai melimpah serta kol. Kucai dan kol sendiri adalah tanaman khas pegunungan, yang mana kota Wonosobo tak jauh darinya. Mie tersebut memiliki sensasi gurih agak pedas pada kuahnya. Kuah itu terbuat dari pati yang dicampur gula jawa, ebi, serta rempah. Bumbu kacang pun ikut diguyurkan ke atas mie tersebut. Sensasi gurih itulah yang didapat dari ebi dalam kuah yang mirip papeda. Sedangkan rasa pedas didapat dari lada putih. Bila terasa kurang pedas, Anda bisa saja meminta cabai hijau yang dipotong kecil-kecil.

mie ongklok lengkap dengan sayuran segar (foto from Google)

Mie ini akan bertambah nikmatnya bila dinikmati bersama tempe kemul khas Wonosobo dan juga sate sapi. Tempe kemul sendiri adalah semacam gorengan tempe di banyak tempat. Hanya saja tepungnya berwarna kuning, dengan banyak campuran daun kucai. Pada umumnya, warung-warung mie ongklok yang bertebaran di pusat kota Wonosobo juga menyediakan dua makanan tersebut sebagai pendamping. Lengkaplah sudah penghangat badan di dinginnya sejuk Wonosobo. dengan kuah kental mie ongklok, gorengan yang masih hangat dari penggorengan, dan sate sapi yang usai dibakar.
Bicara harga, Anda cukup merogoh Rp 5.000,00 untuk seporsi mie yang mengenyangkan. Sedangkan sate sapi sebanyak 10 tusuk hanya Rp 15.000,00 dan Rp 500,00 saja untuk tempe kemulnya. Murah, bukan? Bagaimana tertarik wisata kuliner di Wonosobo? (Vit)