Thursday 16 February 2012

How to Create a Creative City


Dalam artikel berjudul “How to Create a Creative City” ini, saya menangkap bahwa lingkungan urban mampu membangkitkan kreativitas, inovasi, bahkan pertumbuhan ekonomi. Di artikel tersebut, disebutkan pula jika kota kreatif tidak dapat dibangun dari goresan. Meskipun begitu Florida dan Jacob, dua pemikir dalam artikel ini, berpendapat ada kemungkinan untuk membangun kota kreatif. Interviewee dalam artikel ini juga sempat menawarkan wawasan yang memperjelas dan petunjuk praktikal untuk pembuat kebijakan yang ingin berkontribusi pada perkembangan kota kreatif.
Dua hal yang saya setujui dan saya rasa sesuai dengan fakta di lapangan adalah, bahwa pelaku kreativitas adalah pengusaha, desainer, penulis buku, dan sebagainya seperti yang telah tersebut dalam artikel. Kemudian saya juga menyetujui syarat 3T: toleransi, teknologi, dan talenta. Bila ketiga hal tersebut dapat berkombinasi dalam diri orang, niscaya ia dapat sukses menjadi pelaku kreatifitas seperti pengusaha, desainer, penulis buku, dan sebagainya
Kritik saya adalah kota kreatif dapat dibangun dari goresan. Menurut pemikiran saya, justru goresan tersebutlah yang memacu atau memotivasi masyarakat supaya dapat lebih maju. Asalkan, pemerintah dapat kooperatif dengan masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang ia keluarkan. Kebijakan yang kurang menguntungkan masyarakat dapat diibaratkan sebagai batu penghalang untuk perkembangan kota. Semua yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah ide atau saran dan dukungan atau fasilitas.
Kemudian kreativitas-kreativitas yang terbangun dari bangunan tersebut harus memperhatikan ekologi. Sebagus apapun dampak yang dihasilkan oleh kreativitas, ia juga harus memperhatikan lingkungannya sebab membangun kota yang kreatif pada suatu saat juga akan bersentuhan dengan teknologi. Misalnya saja, saya mengambil contoh pada industri kreatif sablonase. Sablon menggunakan bahan-bahan kimia yang berbau. Oleh karena itu, sudah seharusnya limbah sablon tersebut jangan dibuang sembarangan sebab akan merusak tanaman dan mengganggu pernapasan. Intinya, industri kreatif juga membutuhkan tanggung jawab besar dari pelaku kreatifitasnya.
Menurut saya, salah satu kota kreatif di Indonesia adalah kota Yogyakarta. Saya dapat menyebut demikian karena begitu banyak industri kreatif di dalam kota tersebut. Hal ini tidak lepas dari keberadaan kota Yogyakarta sebagai kota pelajar. Begitu banyaknya pelajar di Yogyakarta, tentunya membuat kota tersebut memiliki potensi kreatif yang datangnya dari kalangan anak muda. Berbagai ide-ide baru bermunculan dan cenderung inovatif bagi perkembangan kota ini.
Sebagai contoh adalah area kos mahasiswa sepanjang Jalan Kaliurang. Di sana kita dapat menemukan jasa laundry, persewaan VCD, periklanan, makanan unik, sablon atau clothing, serta rental dan print. Banyak di antaranya yang juga dimiliki oleh mahasiswa yang berjiwa wirausaha. Meskipun begitu banyak jumlahnya, akan tetapi masing-masing memiliki kekhasan atau diferensiasi masing-masing. Masing-masing juga berusaha untuk semakin inovatif untuk menarik hati konsumen yang notabene mahasiswa.
Untuk usaha makanan saja misalnya. Seseorang berjualan burger, akan tetapi burgernya terbuat dari jamur, bukan dari daging. Hal tersebut malah digunakan juga sebagai kampanye Go Green. Ada juga yang mengubah konsep lumpia yang tadinya merupakan cemilan, menjadi lauk pauk bersama nasi. Caranya hanya dengan membuat ukurannya lebh besar dan diisi beragam isian seperti ayam, udang, jamur, dll. Keseluruhan konsep tersebut sangat inovatif dan baru dalam dunia bisnis.
Bisa dibayangkan kini sepanjang Jalan Kaliurang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Kawasan ini pun sekarang terbilang cukup padat setelah kawasan Malioboro. Tidak hanya padat oleh pemukiman penduduk atau kos, melainkan juga karena arus bisnis kreatif di sepanjang Jalan Kaliurang. Mahasiswa pun kini selalu menjadi aset berharga dalam pertumbuhan wilayah dan ekonomi. Kesejahteraan penduduk asli di sekitar Jalan Kaliurang pun kini meningkat.
Namun ada segi lain yang harus diperhatikan oleh seluruh masyarakat. Dari segi spasial misalnya. Pemukiman yang padat tentunya selain tidak enak dilihat juga menimbulkan dampak-dampak negatif lainnya. Misalnya menjadi wilayah yang rawan kriminalitas. Kemudian ruang publik untuk bersosialisasi pun menjadi berkurang. Lahan parkir pun sempit sehingga berbagai macam alat transportasi harus tumpah parkir di sebagian badan jalan.

2 comments:

  1. hei bu nge-post tugas kuliah meni beruntun gitu ih hehe... eniwei artikel ini pas banget sama apa yang saya telusurin kemarin, di antaranya blognya bandung creative city forum alias bccf sama blognya ridwan kamil. maraknya industri dan komunitas kreatif di bandung justru memicu gerakan untuk memperbanyak ruang publik sebagai tempat untuk bersosialisasi dan berekspresi.

    ReplyDelete
  2. dayeuhhh #colek
    apa kabar? meni suwe ora jamu?
    makasi komennya. aku br aktif ngeblog lagi nih

    ReplyDelete