Deklarasi Environmental Friendly Campus (EFC) di Fakultas Geografi UGM, yang salah satunya diwujudkan dengan bebas asap rokok, ternyata kurang efektif. Masih ada sejumlah mahasiswa merokok di kampus itu. Padahal deklarasi ini sudah berlangsung satu tahun.
“Mahasiswa masih merokok di dalam kampus. Bedanya cuma di kantin. Tadinya kantin menjual rokok, sekarang tidak jual,” ujar Agung Mardiko, mahasiswa Geografi dan Ilmu Lingkungan 2007 pada Minggu, 16 Mei 2010. Saat ditanyai apakah ia pernah melihat dosen atau karyawan merokok di Fakultas Geografi, Agung bahkan mengiyakan.
Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Arsoluhur Maskurrohman, mahasiswa Geografi dan Ilmu Lingkungan 2008. “Yang tidak merokok, tetap tidak merokok. Yang merokok ya tetap merokok, terus lanjut dan lanjut kayak kereta api,” katanya.
Lain lagi yang dinyatakan oleh Beryl Artesian Girsang, mahasiswa Geografi dan Ilmu Lingkungan 2007. Ia menentang Deklarasi EFC, terutama poin kampus bebas asap rokok. “Kebiasaan yang sudah mendarah daging, sulit hilang sebenarnya. Apalagi dengan lingkungan anak-anak yang ikut UKM itu, kebanyakan mayoritas perokok,” ujar Beryl yang juga perokok.
Menurut Beryl, poin itu dimulai dengan tidak dijualnya rokok di kampus. Kemudian diikuti dengan adanya tanda larangan merokok. “Tapi ya, karena lihat ada teman-teman pada ngrokok, ya udah. Dosen juga tidak terlalu memberi sanksi yang berat, cuma memberi peringatan tapi nggak memberi sanksi,” jelas Beryl.
Poin lain
Tak hanya itu, beberapa poin-poin Deklarasi EFC lainnya pun dianggap kurang efektif. Pada saat Deklarasi EFC diluncurkan, ada enam poin tertuang di dalamnya. Poin-poin tersebut adalah Fakultas Geografi UGM Peduli Hidup Sehat, Peduli Energi, Peduli Hutan, Peduli Limbah, Fakultas Geografi Hijau, dan Kampus Berbudaya.
Poin Peduli Limbah yang diterapkan dengan kampus pengolahan sampah, misalnya. “Ada pemisahan sampah dengan tempat yang berbeda. Akan tetapi pada saat dikumpulkan dengan gerobak, tetap saja dicampur lagi antara organik dan non organik,” ungkap Agung.
Begitu pula dengan poin Peduli Energi yang diwujudkan dengan penggunaan AC seperlunya mulai dari jam 09.00 - 16.00, serta mematikan lampu dan komputer jika sedang tidak digunakan. “Setahuku, kalau lampu memang digunakan seperlunya. Tapi kalau komputer dan AC belum tertib. Kalau komputer sih, kan soalnya digunakan mahasiswa setiap saat. Tapi kalau AC kok rasanya manjer terus, ya?” ujar Arso.
Ketika ditanya mengenai konsultasi virtual, baik Agung maupun Arso sama-sama tidak mengetahuinya. Padahal konsultasi virtual merupakan salah satu wujud poin Fakultas Geografi UGM Peduli Hutan dalam EFC.
Tidak ada sanksi
Anehnya tidak ada tindakan khusus dari pihak fakultas atas pelanggaran poin deklarasi tersebut, terutama bagi perokok di area Fakultas Geografi UGM. Padahal di awal deklarasi, fakultas berjanji akan mendetailkan tiap poin deklarasi dan menformalkannya melalui konsekuensi hukum.
“Memang tidak bisa 100% ide yang dicanangkan dalam deklarasi ini bisa diwujudkan. Semuanya harus melalui proses setahap demi setahap,” ujar Muhammad Izzudin, Menko Internal BEM Geografi.
Menurut Izzudin, ia tidak bisa mendiskreditkan teman yang merokok. Jika bicara realistis, tidak mungkin 100% kampus Geografi bebas asap rokok. Merokok adalah kultur masyarakat, sehingga ia tidak bisa memaksakan teman-temannya untuk menaati poin deklarasi tersebut. Fungsi BEM hanyalah menganjurkan.
“Selama satu tahun kemarin, target kami adalah sosialisasi EFC,” tegas Dr. Lutfi Muta’ali Ssi MT, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Geografi. Selama masa itu, ia mendapatkan banyak hal-hal positif dan juga kritik untuk pelaksanaan EFC ke depannya.
Mengenai pelanggaran merokok di area kampus Geografi, Lutfi mengatakan bahwa deklarasi ini adalah gerakan moral yang mengutamakan kesadaran segala pihak di Fakultas Geografi UGM. “Gerakan ini memang tanpa sanksi. Kalau kita menentukan sanksi, kita malah sibuk mengurus sanksi, bukan akademik,” ujarnya.
Tak heran jika pihak fakultas belum menentukan target pelaksanaan. “Dalam masa sosialisasi ini, target kita adalah orang-orang tahu. Dalam hal ini, hampir 100% orang tahu akan adanya Deklarasi EFC,” ujar Lutfi.
Namun, Lutfi telah melakukan perencanaan tingkat lanjut untuk pelaksanaan EFC. Dirinya kini tengah membuat buku saku panduan mengenai pelaksanaan EFC. Beberapa poin di antaranya bahkan menganjurkan untuk saling hormat-menghormati dan saling menasihati dengan orang lain.
Bagi Agung, hanya sekitar 40% dari Deklarasi EFC yang terlaksana. Ia berharap, “Ke depannya, sebaiknya dibuat aturan dengan sanksinya. Khususnya tentang rokok, itu yang jelas kelihatan. Bisa dimulai dari dosen dan karyawan supaya bisa jadi contoh.”
Tuesday, 23 November 2010
Malam Apresiasi dan Reuni JIK UGM
SABTU (3/7). SOSOK Ashadi Siregar, berusia 65 tahun namun tampak bugar, berjalan tegap ke atas panggung yang digelar di halaman Gedung Pascasarjana Fisipol UGM. Busana hitam yang ia kenakan seakan menambah kesahajaannya. Di depan spanduk bertuliskan “Tribute to Ashadi Siregar”, ia mengungkapkan rasa harunya yang disampaikan dengan jenaka.
Pria yang menerima Satyalencana Karya Satya XXX pada tahun 2007 ini, tidak menyangka bahwa para alumni mampu membuat rangkaian hajatan “Tribute to Ashadi Siregar” dengan penuh kekompakan. Selain terharu, acara ini adalah kejutan baginya. Terlebih ia tidak mengetahui sama sekali rencana hajatan tersebut hingga menjelang hari H. “Saya terharu karena anak-anak muda itu penuh perhatian. Perhatian mereka itu luar biasa,” ujarnya.
Suasana menjadi begitu meriah ketika Bang Hadi mengucapkan rasa harunya sambil tetap berusaha untuk menutupinya dengan mimik wajah yang datar dan kelakar. Ia berkata bahwa karena sudah tidak lagi menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ia memasuki dunia militer. Tak ayal, riuh gelak tawa peserta undangan memenuhi suasana.
Selain itu, sebagai “sesepuh” di JIK UGM, Bang Hadi memberikan wejangan terhadap beberapa staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi dalam pidatonya. “Perubahan ilmu komunikasi semenjak Perang Dunia II tidak begitu berpengaruh pada jurusan. Saya titipkan jurusan komunikasi untuk tetap diperdebatkan,” pesan penulis trilogi novel berjudul Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir ini.
Tidak lupa juga pria kelahiran 3 Juli 1945 ini mengucapkan rasa terimakasihnya kepada seluruh alumni yang telah menyelenggarakan acara tersebut. Namun, bagi Bang Hadi ada hal yang lebih penting daripada persembahan bagi dirinya. “Yang paling penting adalah kumpulnya itu. Itu sangat berharga,” katanya. Malahan niat Bang Hadi untuk tetap berhubungan dengan murid-muridnya sangat kentara. “Bagi teman-teman muda untuk tetap saling berkomunikasi,” pesannya sebelum beranjak pulang.
(F. Refitasari)
Pria yang menerima Satyalencana Karya Satya XXX pada tahun 2007 ini, tidak menyangka bahwa para alumni mampu membuat rangkaian hajatan “Tribute to Ashadi Siregar” dengan penuh kekompakan. Selain terharu, acara ini adalah kejutan baginya. Terlebih ia tidak mengetahui sama sekali rencana hajatan tersebut hingga menjelang hari H. “Saya terharu karena anak-anak muda itu penuh perhatian. Perhatian mereka itu luar biasa,” ujarnya.
Suasana menjadi begitu meriah ketika Bang Hadi mengucapkan rasa harunya sambil tetap berusaha untuk menutupinya dengan mimik wajah yang datar dan kelakar. Ia berkata bahwa karena sudah tidak lagi menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ia memasuki dunia militer. Tak ayal, riuh gelak tawa peserta undangan memenuhi suasana.
Selain itu, sebagai “sesepuh” di JIK UGM, Bang Hadi memberikan wejangan terhadap beberapa staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi dalam pidatonya. “Perubahan ilmu komunikasi semenjak Perang Dunia II tidak begitu berpengaruh pada jurusan. Saya titipkan jurusan komunikasi untuk tetap diperdebatkan,” pesan penulis trilogi novel berjudul Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir ini.
Tidak lupa juga pria kelahiran 3 Juli 1945 ini mengucapkan rasa terimakasihnya kepada seluruh alumni yang telah menyelenggarakan acara tersebut. Namun, bagi Bang Hadi ada hal yang lebih penting daripada persembahan bagi dirinya. “Yang paling penting adalah kumpulnya itu. Itu sangat berharga,” katanya. Malahan niat Bang Hadi untuk tetap berhubungan dengan murid-muridnya sangat kentara. “Bagi teman-teman muda untuk tetap saling berkomunikasi,” pesannya sebelum beranjak pulang.
(F. Refitasari)
Bang Hadi: Bukan Sinis Biasa
Pada 3 Juli 2010 lalu, salah satu dosen Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK) Fisipol yang memasuki masa pensiun, Ashadi Siregar mendapat kejutan pada ulang tahunnya yang keenam puluh lima. Hadiah tersebut berupa Peluncuran dan Diskusi Buku “Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru” di Gedung Pascasarjana Fisipol UGM Lt. II. Tak hanya terangkum di dalam buku, Satu aspek dari pribadi Bang Hadi, atau Bang Adi, panggilan akrab Ashadi Siregar, yang menonjol dan kerap diungkit tidak hanya di dalam buku melainkan juga di dalam acara tersebut adalah “sinisme” novelis Cintaku di Kampus Biru itu.
Lontaran sinis itu, menurut tuturan para alumni JIK, memang amat khas Bang Hadi. Dalam diskusi, Bang Hadi seringkali berkomentar dengan cukup sinis dan terkadang nylekit. Dr. Kuskridho Ambardi, atau dipanggil Dodi, staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi yang juga pernah menjadi muridnya, bahkan menjulukinya sebagai ”Raja Sinis”, ”Tukang Gembos”, dan ”Si Raja Tega.”
Akan tetapi, ”sinisme” Bang Hadi itu tidak pernah disertai dengan ungkapan menggurui, atau merendahkan pihak lain. ''Dia memberi motivasi tanpa menggurui. Kalau berdebat dan tidak setuju pada satu gagasan, paling-paling dia hanya tertawa kecil yang agak sinis tanpa terkesan memusuhi dan merendahkan," tutur Rizal Mallarangeng.
Tidak hanya itu, “sinisme” Bang Hadi itu diimbangi dengan kemampuannya mendengarkan pihak lain. ”Bang Hadi itu tampak seperti orang yang sarkas, angker, sinis, tetapi memiliki kemampuan sabar mendengarkan yang besar,” ujar Saur Hutabarat, Pemimpin Redaksi Media Indonesia.
Selain itu, setelah mengenali pribadi Bang Hadi lebih jauh, di balik senyum ”sinis”-nya, Bang Hadi merupakan sosok yang menyenangkan dan pemalu. ”Tidak ada duka bersama Bang Hadi,” ujar Rizal. Baginya, semua pengalaman bersama pria keturunan Batak tersebut adalah suka.
Karena keunikan karakter Bang Hadi itulah, para alumni JIK sepakat menjuluki Bang Hadi sebagai penjaga akal sehat. “Dia melihat segala sesuatu dengan pikiran yang berbeda,” ujar Saur. Ditambahkannya, pria yang juga menulis novel Jentera Lepas itu berpikir atas dasar-dasar empirik. Ia tidak tergoda dengan pragmatisme. “Bang Hadi adalah orang yang jujur dan lugas,” jelasnya.
Kesederhanaan Bang Hadi juga dibenarkan oleh Dodi. Ketenarannya sebagai penulis novel bahkan tidak pernah mengubah sifatnya yang tidak nyaman dengan popularitas. ”Di tengah wabah kegandrungan orang untuk menjadi selebritas, Ashadi memilih untuk meninggalkannya,” tambah Dodi.
Diskusi yang dimoderatori oleh Dr. Ana Nadhya Abrar, yang juga koordinator penulisan buku kenangan tersebut berlangsung sangat meriah. Terlebih diskusi yang diselenggarakan sebagai acara perpisahan dan pensiun Bang Hadi in i berhasil mengungkap sejumlah peristiwa-peristuwa lucu bersama Bang Hadi sehingga membuat para tamu terbahak-bahak.
Para alumni dan kolega Bang Hadi berharap, dengan adanya masa pensiun ini Bang Hadi tidak pensiun begitu saja melainkan tetap berkarya. ”Tetaplah berkarya terus di akademik dan sastra!” ujar Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc. (F. Refitasari)
Lontaran sinis itu, menurut tuturan para alumni JIK, memang amat khas Bang Hadi. Dalam diskusi, Bang Hadi seringkali berkomentar dengan cukup sinis dan terkadang nylekit. Dr. Kuskridho Ambardi, atau dipanggil Dodi, staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi yang juga pernah menjadi muridnya, bahkan menjulukinya sebagai ”Raja Sinis”, ”Tukang Gembos”, dan ”Si Raja Tega.”
Akan tetapi, ”sinisme” Bang Hadi itu tidak pernah disertai dengan ungkapan menggurui, atau merendahkan pihak lain. ''Dia memberi motivasi tanpa menggurui. Kalau berdebat dan tidak setuju pada satu gagasan, paling-paling dia hanya tertawa kecil yang agak sinis tanpa terkesan memusuhi dan merendahkan," tutur Rizal Mallarangeng.
Tidak hanya itu, “sinisme” Bang Hadi itu diimbangi dengan kemampuannya mendengarkan pihak lain. ”Bang Hadi itu tampak seperti orang yang sarkas, angker, sinis, tetapi memiliki kemampuan sabar mendengarkan yang besar,” ujar Saur Hutabarat, Pemimpin Redaksi Media Indonesia.
Selain itu, setelah mengenali pribadi Bang Hadi lebih jauh, di balik senyum ”sinis”-nya, Bang Hadi merupakan sosok yang menyenangkan dan pemalu. ”Tidak ada duka bersama Bang Hadi,” ujar Rizal. Baginya, semua pengalaman bersama pria keturunan Batak tersebut adalah suka.
Karena keunikan karakter Bang Hadi itulah, para alumni JIK sepakat menjuluki Bang Hadi sebagai penjaga akal sehat. “Dia melihat segala sesuatu dengan pikiran yang berbeda,” ujar Saur. Ditambahkannya, pria yang juga menulis novel Jentera Lepas itu berpikir atas dasar-dasar empirik. Ia tidak tergoda dengan pragmatisme. “Bang Hadi adalah orang yang jujur dan lugas,” jelasnya.
Kesederhanaan Bang Hadi juga dibenarkan oleh Dodi. Ketenarannya sebagai penulis novel bahkan tidak pernah mengubah sifatnya yang tidak nyaman dengan popularitas. ”Di tengah wabah kegandrungan orang untuk menjadi selebritas, Ashadi memilih untuk meninggalkannya,” tambah Dodi.
Diskusi yang dimoderatori oleh Dr. Ana Nadhya Abrar, yang juga koordinator penulisan buku kenangan tersebut berlangsung sangat meriah. Terlebih diskusi yang diselenggarakan sebagai acara perpisahan dan pensiun Bang Hadi in i berhasil mengungkap sejumlah peristiwa-peristuwa lucu bersama Bang Hadi sehingga membuat para tamu terbahak-bahak.
Para alumni dan kolega Bang Hadi berharap, dengan adanya masa pensiun ini Bang Hadi tidak pensiun begitu saja melainkan tetap berkarya. ”Tetaplah berkarya terus di akademik dan sastra!” ujar Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc. (F. Refitasari)
Lava Tour Kaliadem (Di Luar Bunker) Sebelum Erupsi
Ini adalah sebuah batu raksasa yang "dimuntahkan" oleh Merapi ketika erupsi. Saking besarnya, batu ini dinamakan Watu Gajah (Batu Gajah).
Jalan aspal di Kaliadem yang tidak tahu arahnya ke mana karena telah tertutup timbunan material erupsi Merapi.
Entah bangunan apa ini. Mungkin pendapa, tapi luasnya kecil sekali. Di dalamnya terdapat batu-batu yang disusun mirip meja dan kursi.
Ini adalah Kali Gendol dilihat dari arah utara.
Kali Gendol dilihat dari selatan. Penuh pasir.
Apa ini? Saya menduga bahwa ini adalah endapan lahar. Apabila tersentuh sedikit saja, ia akan hancur. Warnanya kemerahan.
Bangunan ini adalah bekas kios warung yang sudah rusak karena diterjang material erupsi.
Jalan aspal di Kaliadem yang tidak tahu arahnya ke mana karena telah tertutup timbunan material erupsi Merapi.
Entah bangunan apa ini. Mungkin pendapa, tapi luasnya kecil sekali. Di dalamnya terdapat batu-batu yang disusun mirip meja dan kursi.
Ini adalah Kali Gendol dilihat dari arah utara.
Kali Gendol dilihat dari selatan. Penuh pasir.
Apa ini? Saya menduga bahwa ini adalah endapan lahar. Apabila tersentuh sedikit saja, ia akan hancur. Warnanya kemerahan.
Bangunan ini adalah bekas kios warung yang sudah rusak karena diterjang material erupsi.
Subscribe to:
Posts (Atom)