Stuart
Hall adalah teoritikus yang mempertanyakan peranan berbagai institusi elit
seperti media, serta gambaran mereka yang sering salah dan menyesatkan. Ia
berfokus pada peran media dan kemampuan mereka untuk membentuk opini publik
mengenai populasi yang termarginalkan, seperti orang kulit berwarna, atau orang
miskin. Orientasi ini mendasari karyanya dalam Kajian Budaya (Cultural Studies). Kajian Budaya adalah
perspektif teoretis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang
kuat dan dominan.
Hall
menyatakan bahwa media merupakan alat yang kuat bagi kaum elite. Media
berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berpikir yang dominan, tanpa
mempedulikan efektivitas pemikiran tersebut. Kajian Budaya menekankan bahwa
media menjaga agar orang-orang yang berkuasa tetap memiliki kekuasaan,
sementara yang kurang berkuasa menerima mentah-mentah apa yang diberikan kepada
mereka.
Warisan
Marxis: Kekuatan Bagi Masyarakat
Kajian
Budaya adalah tradisi yang berakar pada tulisan-tulisan filsuf Jerman, Karl
Marx. Karl Marx dihargai sebagai orang yang mampu mengidentifikasi bagaimana
mereka yang memiliki kekuasaan (kaum elit) mengeksploitasi yang lemah (kelas
pekerja). Keadaan yang lemah dapat menuntun terjadinya alienasi. Alienasi
adalah kondisi psikologis di mana orang mulai merasa bahwa mereka memiliki
sedikit kontrol terhadap masa depan mereka. Alienasi akan paling merusak
apabila berada di bawah kapitalisme. Pemikir Marxis percaya bahwa kelas pekerja
ditekan karena adanya kepemilikan media oleh korporasi. Mereka disebut
teoretikus Mazhab Frankfurt. Mereka percaya bahwa pesan-pesan media
dikonstruksi dan disampaikan dengan satu tujuan: kapitalisme. Meskipun media menyampaikan
informasi bagi kebaikan bersama, tujuannya tetap uang.
Penerapan
prinsip Marxis pada Kajian Budaya ini cenderung tidak terang-terangan. Ini
menyebabkan beberapa ilmuwan menganggap teori ini cenderung neo-Marxis
(penganutan Marxisme yang terbatas), dengan alasan:
1. Tidak
seperti Marx, Kajian Budaya telah mengintegrasikan berbagai macam perspektif ke
dalam pemikiran mereka, seperti perspektif kesenian, humaniora, dan ilmu
sosial.
2. Teoritikus
Kajian Budaya memasukkan kelompok marginal yang tidak memiliki kekuasaan
tambahan, tidak terbatas pada pekerja saja. Contohnya kaum homoseksual, etnis
minoritas, wanita, kaum dengan gangguan kejiwaan, dan anak-anak.
3. Kehidupan
sehari-hari bagi Marx, berpusat pada pekerjaan dan keluarga. Kajian Budaya
telah mempelajari kegiatan rekreasional, hobi, dan olah raga untuk memahami
bagaimana individu berfungsi dalam masyarakat.
Asumsi Kajian Budaya
1. Budaya
tersebar dalam dan menginvasi semua sisi perilaku manusia.
Budaya
didefinisikan sebagai sebuah komunitas makna. Berbagai norma, ide, nilai, dan
bentuk-bentuk pemahaman di dalam sebuah masyarakat yang membantu orang untuk
menginterpretasikan realita mereka adalah bagian dari ideologi sebuah budaya. Ideologi
merujuk pada gambaran, konsep, dan premis yang menyediakan kerangka pemikiran
di mana kita merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami, dan memaknai
beberapa aspek eksistensi sosial. Ideologi mencakup bahasa, konsep, dan
kategori yang dikumpulkan oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda untuk
memaknai lingkungan mereka.
Dengan
budaya yang berbeda, tak heran terjadi perang budaya (culture war). Perang budaya adalah pergulatan budaya akan makna,
identitas, dan pengaruh. Ia menunjukkan bahwa sering kali terdapat pemisahan persepsi
mengenai pentingnya suatu isu atau peristiwa budaya.
Stella
Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) melihat bahwa budaya juga mencakup bermacam
aktivitas dari sebuah populasi. Misalnya berkencan dengan orang yang satu ras,
sekeluarga saling berkunjung selama liburan, dll. Dalam Kajian Budaya untuk
memahami bagaimana ideologi dari sebuah populasi dipertahankan.
2. Orang
merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat hierarkis.
Kekuasaan
bekerja dalam semua level kemanusiaan dan secara berkesinambungan membatasi
keunikan identitas. Hall tertarik dengan kekuasaan yang dipegang oleh kelompok
sosial atau kekuasaan di antara kelompok-kelompok. Makna dan kekuasaan
berkaitan erat. Dalam tradisi Marxis, kekuasaan adalah sesuatu yang diinginkan
oleh kelompok subordinat tetapi tidak dapat dicapai. Seringkali terjadi
pergulatan untuk kekuasaan dan pemenangnya adalah orang yang berada di puncak
hierarki sosial.
Contohnya
adalah kecantikan. Media menggambarkan wanita cantik dalam tubuh langsing dan
penampilan menarik. Siapa pun yang ada di luar ciri itu dianggap tidak menarik.
Wanita yang sesuai dengan ciri tersebut akan mudah menjalankan banyak kekuasaan
karena mereka ada di puncak hierarki sosial.
Hegemoni: Pengaruh terhadap Massa
Hegemoni
adalah pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari sebuah kelompok sosial terhadap
yang lain. Ide mengenai hegemoni dapat dilacak melalui karya Antonio Gramsci.
Studi hegemoni merupakan studi mengenai pertanyaan mengapa begitu banyak orang
menyetujui dan memberikan suara untuk pengaturan politik yang jelas-jelas merusak
kebahagiaan dan keadilan. Intinya, mengapa massa tidak pernah memberontak
terhadap kelas yang diuntungkan? Yang terjadi dalam masyarakat hegemoni adalah
orang terpengaruh karena adanya persetujuan, bukan karena pemaksaan. Sehingga
menguraikan kerumitan hegemoni juga merupakan satu tujuan dari peneliti dalam
Kajian Budaya.
Banyak
ideologi di dalam masyarakat yang kompleks. Hall menyebutnya teater perlawanan
(theatre of struggle). Teater
perlawanan adalah kompetisi di antara berbagai ideologi budaya. Jadi, ketika
sikap dan nilai mengenai topik-topik berbeda mulai mengalami pergeseran di
dalam masyarakat, begitu pula berbagai ideologi yang diasosiasikan dengan
topik-topik ini.
Hegemoni Tandingan: Massa Mulai
Mempengaruhi Kekuatan Dominan
Hegemoni
tandingan adalah ketika pada masa-masa tertentu, orang akan menggunakan
perilaku hegemonis untuk menantang dominasi di dalam kehidupan mereka. Hegemoni
tandingan penting dalam Kajian Budaya karena menunjukkan bahwa khalayak tidak
selamanya diam dan menurut. Anggota khalayak tidak bodoh dan submisif.
Tujuan
hegemoni tandingan adalah untuk memahami sejarah melalui lensa yang berbeda,
terutama dengan perspektif dari para wanita, pekerja, dan etnis minoritas. Para
peneliti berusaha untuk memperbesar volume suara yang selama ini dibungkam.
Pendekodean oleh Khalayak
Tidak
ada pesan hegemoni atau hegemoni tandingan tanpa kemampuan khalayak untuk
menerima pesan dan membandingkannya dengan makna yang telah tersimpan di dalam
benak mereka. Ini disebut pendekodean (decoding).
Ketika kita menerima pesan dari orang lain, kita mendekodekan pesan-pesan
tersebut berdasarkan persepsi, pemikiran, dan pengalaman masa lalu kita.
Seorang
khalayak melakukan pendekodean terhadap pesan melalui tiga sudut pandang atau
posisi, yaitu:
1. Posisi
dominan-hegemonis
Individu
beroperasi dalam kode yang memungkinkan orang untuk memiliki kontrol terhadap
orang yang lainnya. Contohnya adalah kode profesional untuk seorang penyiar
televisi, di mana akan selalu bekerja di dalam hegemoni kode yang lebih
dominan.
2. Posisi
ternegoisasi
Anggota
khalayak dapat menerima ideologi dominan tetapi akan bekerja dengan beberapa
pengecualian terhadap aturan budaya.
3. Posisi
oposisional
Anggota
khalayak mensubtitusikan kode alternatif bagi kode yang disediakan oleh media. Konsumen
yang kritis akan menolak makna sebuah pesan yang dipilih dan ditentukan oleh
media dan menggantikannya dengan pemikiran mereka sendiri mengenai subyek
tertentu.
Kritik dan Penutup
·
Kegunaan
Kajian
Budaya membuat sarana yang dapat mengubah citra diri kita. Karenanya, sangat
mudah untuk menerjemahkan beberapa bagian dari teori ini ke dalam kehidupan
sehari-hari, membuat teori ini berguna hingga pada batasan tertentu.
Kegunaannya juga dapat ditemukan dalam dedikasinya dalam mempelajari pergulatan
budaya dari mereka yang kurang diuntungkan.
·
Heurisme
Banyak
prinsip dan fitur dari Kajian Budaya telah diteliti lebih lanjut. Ideologi
telah dipelajari dan konsep hegemoni juga telah diterapkan dalam
episode-episode komedi situasi yang berjalan cukup lama. Lawrence Grossberg
(1986) dan Linda Steiner (1988) menemukan pengodean oposisional dengan khalayak
di dalam penelitian mereka. Jennifer Harding dan E. Deirdre Pribram (2004)
menemukan bahwa emosi dalam kerangka Kajian Budaya merupakan bagian dari
pengalaman personal dan penerapan relasi kekuasaan yang lebih luas. Emosi dapat
dipahami dengan melihat struktur tertentu dari emosi dan beberapa contoh
emosional tertentu.
·
Konsistensi Logis
Konsistensi
logis dari teori ini dipertanyakan. Kritiknya berkaitan dengan kahalayak. Walau
beberapa khalayak menentang peranan tipuan, apakah mereka mampu menjadi
penentang yang aktif dan interpretif? Sejauh mana khalayak dapat melakukan
hegemoni tandingan? Terlalu berlebihan menilai kemampuan mereka yang tertindas
dan populasi yang termarginalkan untuk melarikan diri dari budaya mereka.
No comments:
Post a Comment