Thursday, 16 February 2012

Kajian Budaya

 
Stuart Hall adalah teoritikus yang mempertanyakan peranan berbagai institusi elit seperti media, serta gambaran mereka yang sering salah dan menyesatkan. Ia berfokus pada peran media dan kemampuan mereka untuk membentuk opini publik mengenai populasi yang termarginalkan, seperti orang kulit berwarna, atau orang miskin. Orientasi ini mendasari karyanya dalam Kajian Budaya (Cultural Studies). Kajian Budaya adalah perspektif teoretis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan.
Hall menyatakan bahwa media merupakan alat yang kuat bagi kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berpikir yang dominan, tanpa mempedulikan efektivitas pemikiran tersebut. Kajian Budaya menekankan bahwa media menjaga agar orang-orang yang berkuasa tetap memiliki kekuasaan, sementara yang kurang berkuasa menerima mentah-mentah apa yang diberikan kepada mereka.

Warisan Marxis: Kekuatan Bagi Masyarakat
Kajian Budaya adalah tradisi yang berakar pada tulisan-tulisan filsuf Jerman, Karl Marx. Karl Marx dihargai sebagai orang yang mampu mengidentifikasi bagaimana mereka yang memiliki kekuasaan (kaum elit) mengeksploitasi yang lemah (kelas pekerja). Keadaan yang lemah dapat menuntun terjadinya alienasi. Alienasi adalah kondisi psikologis di mana orang mulai merasa bahwa mereka memiliki sedikit kontrol terhadap masa depan mereka. Alienasi akan paling merusak apabila berada di bawah kapitalisme. Pemikir Marxis percaya bahwa kelas pekerja ditekan karena adanya kepemilikan media oleh korporasi. Mereka disebut teoretikus Mazhab Frankfurt. Mereka percaya bahwa pesan-pesan media dikonstruksi dan disampaikan dengan satu tujuan: kapitalisme. Meskipun media menyampaikan informasi bagi kebaikan bersama, tujuannya tetap uang.
Penerapan prinsip Marxis pada Kajian Budaya ini cenderung tidak terang-terangan. Ini menyebabkan beberapa ilmuwan menganggap teori ini cenderung neo-Marxis (penganutan Marxisme yang terbatas), dengan alasan:
1.      Tidak seperti Marx, Kajian Budaya telah mengintegrasikan berbagai macam perspektif ke dalam pemikiran mereka, seperti perspektif kesenian, humaniora, dan ilmu sosial.
2.      Teoritikus Kajian Budaya memasukkan kelompok marginal yang tidak memiliki kekuasaan tambahan, tidak terbatas pada pekerja saja. Contohnya kaum homoseksual, etnis minoritas, wanita, kaum dengan gangguan kejiwaan, dan anak-anak.
3.      Kehidupan sehari-hari bagi Marx, berpusat pada pekerjaan dan keluarga. Kajian Budaya telah mempelajari kegiatan rekreasional, hobi, dan olah raga untuk memahami bagaimana individu berfungsi dalam masyarakat.

Asumsi Kajian Budaya
1.      Budaya tersebar dalam dan menginvasi semua sisi perilaku manusia.
Budaya didefinisikan sebagai sebuah komunitas makna. Berbagai norma, ide, nilai, dan bentuk-bentuk pemahaman di dalam sebuah masyarakat yang membantu orang untuk menginterpretasikan realita mereka adalah bagian dari ideologi sebuah budaya. Ideologi merujuk pada gambaran, konsep, dan premis yang menyediakan kerangka pemikiran di mana kita merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami, dan memaknai beberapa aspek eksistensi sosial. Ideologi mencakup bahasa, konsep, dan kategori yang dikumpulkan oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda untuk memaknai lingkungan mereka.
Dengan budaya yang berbeda, tak heran terjadi perang budaya (culture war). Perang budaya adalah pergulatan budaya akan makna, identitas, dan pengaruh. Ia menunjukkan bahwa sering kali terdapat pemisahan persepsi mengenai pentingnya suatu isu atau peristiwa budaya.
Stella Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) melihat bahwa budaya juga mencakup bermacam aktivitas dari sebuah populasi. Misalnya berkencan dengan orang yang satu ras, sekeluarga saling berkunjung selama liburan, dll. Dalam Kajian Budaya untuk memahami bagaimana ideologi dari sebuah populasi dipertahankan.
2.      Orang merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat hierarkis.
Kekuasaan bekerja dalam semua level kemanusiaan dan secara berkesinambungan membatasi keunikan identitas. Hall tertarik dengan kekuasaan yang dipegang oleh kelompok sosial atau kekuasaan di antara kelompok-kelompok. Makna dan kekuasaan berkaitan erat. Dalam tradisi Marxis, kekuasaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh kelompok subordinat tetapi tidak dapat dicapai. Seringkali terjadi pergulatan untuk kekuasaan dan pemenangnya adalah orang yang berada di puncak hierarki sosial.
Contohnya adalah kecantikan. Media menggambarkan wanita cantik dalam tubuh langsing dan penampilan menarik. Siapa pun yang ada di luar ciri itu dianggap tidak menarik. Wanita yang sesuai dengan ciri tersebut akan mudah menjalankan banyak kekuasaan karena mereka ada di puncak hierarki sosial.

Hegemoni: Pengaruh terhadap Massa
Hegemoni adalah pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari sebuah kelompok sosial terhadap yang lain. Ide mengenai hegemoni dapat dilacak melalui karya Antonio Gramsci. Studi hegemoni merupakan studi mengenai pertanyaan mengapa begitu banyak orang menyetujui dan memberikan suara untuk pengaturan politik yang jelas-jelas merusak kebahagiaan dan keadilan. Intinya, mengapa massa tidak pernah memberontak terhadap kelas yang diuntungkan? Yang terjadi dalam masyarakat hegemoni adalah orang terpengaruh karena adanya persetujuan, bukan karena pemaksaan. Sehingga menguraikan kerumitan hegemoni juga merupakan satu tujuan dari peneliti dalam Kajian Budaya.
Banyak ideologi di dalam masyarakat yang kompleks. Hall menyebutnya teater perlawanan (theatre of struggle). Teater perlawanan adalah kompetisi di antara berbagai ideologi budaya. Jadi, ketika sikap dan nilai mengenai topik-topik berbeda mulai mengalami pergeseran di dalam masyarakat, begitu pula berbagai ideologi yang diasosiasikan dengan topik-topik ini.

Hegemoni Tandingan: Massa Mulai Mempengaruhi Kekuatan Dominan
Hegemoni tandingan adalah ketika pada masa-masa tertentu, orang akan menggunakan perilaku hegemonis untuk menantang dominasi di dalam kehidupan mereka. Hegemoni tandingan penting dalam Kajian Budaya karena menunjukkan bahwa khalayak tidak selamanya diam dan menurut. Anggota khalayak tidak bodoh dan submisif.
Tujuan hegemoni tandingan adalah untuk memahami sejarah melalui lensa yang berbeda, terutama dengan perspektif dari para wanita, pekerja, dan etnis minoritas. Para peneliti berusaha untuk memperbesar volume suara yang selama ini dibungkam.

Pendekodean oleh Khalayak
Tidak ada pesan hegemoni atau hegemoni tandingan tanpa kemampuan khalayak untuk menerima pesan dan membandingkannya dengan makna yang telah tersimpan di dalam benak mereka. Ini disebut pendekodean (decoding). Ketika kita menerima pesan dari orang lain, kita mendekodekan pesan-pesan tersebut berdasarkan persepsi, pemikiran, dan pengalaman masa lalu kita.
Seorang khalayak melakukan pendekodean terhadap pesan melalui tiga sudut pandang atau posisi, yaitu:
1.      Posisi dominan-hegemonis
Individu beroperasi dalam kode yang memungkinkan orang untuk memiliki kontrol terhadap orang yang lainnya. Contohnya adalah kode profesional untuk seorang penyiar televisi, di mana akan selalu bekerja di dalam hegemoni kode yang lebih dominan.
2.      Posisi ternegoisasi
Anggota khalayak dapat menerima ideologi dominan tetapi akan bekerja dengan beberapa pengecualian terhadap aturan budaya.
3.      Posisi oposisional
Anggota khalayak mensubtitusikan kode alternatif bagi kode yang disediakan oleh media. Konsumen yang kritis akan menolak makna sebuah pesan yang dipilih dan ditentukan oleh media dan menggantikannya dengan pemikiran mereka sendiri mengenai subyek tertentu.

Kritik dan Penutup
·         Kegunaan
Kajian Budaya membuat sarana yang dapat mengubah citra diri kita. Karenanya, sangat mudah untuk menerjemahkan beberapa bagian dari teori ini ke dalam kehidupan sehari-hari, membuat teori ini berguna hingga pada batasan tertentu. Kegunaannya juga dapat ditemukan dalam dedikasinya dalam mempelajari pergulatan budaya dari mereka yang kurang diuntungkan.
·         Heurisme
Banyak prinsip dan fitur dari Kajian Budaya telah diteliti lebih lanjut. Ideologi telah dipelajari dan konsep hegemoni juga telah diterapkan dalam episode-episode komedi situasi yang berjalan cukup lama. Lawrence Grossberg (1986) dan Linda Steiner (1988) menemukan pengodean oposisional dengan khalayak di dalam penelitian mereka. Jennifer Harding dan E. Deirdre Pribram (2004) menemukan bahwa emosi dalam kerangka Kajian Budaya merupakan bagian dari pengalaman personal dan penerapan relasi kekuasaan yang lebih luas. Emosi dapat dipahami dengan melihat struktur tertentu dari emosi dan beberapa contoh emosional tertentu.
·         Konsistensi Logis
Konsistensi logis dari teori ini dipertanyakan. Kritiknya berkaitan dengan kahalayak. Walau beberapa khalayak menentang peranan tipuan, apakah mereka mampu menjadi penentang yang aktif dan interpretif? Sejauh mana khalayak dapat melakukan hegemoni tandingan? Terlalu berlebihan menilai kemampuan mereka yang tertindas dan populasi yang termarginalkan untuk melarikan diri dari budaya mereka.

No comments:

Post a Comment