Dalam
artikel berjudul “How to Create a Creative City” ini, saya menangkap bahwa lingkungan
urban mampu membangkitkan kreativitas, inovasi, bahkan pertumbuhan ekonomi. Di
artikel tersebut, disebutkan pula jika kota kreatif tidak dapat dibangun dari
goresan. Meskipun begitu Florida dan Jacob, dua pemikir dalam artikel ini,
berpendapat ada kemungkinan untuk membangun kota kreatif. Interviewee dalam
artikel ini juga sempat menawarkan wawasan yang memperjelas dan petunjuk
praktikal untuk pembuat kebijakan yang ingin berkontribusi pada perkembangan
kota kreatif.
Dua
hal yang saya setujui dan saya rasa sesuai dengan fakta di lapangan adalah,
bahwa pelaku kreativitas adalah pengusaha, desainer, penulis buku, dan
sebagainya seperti yang telah tersebut dalam artikel. Kemudian saya juga
menyetujui syarat 3T: toleransi, teknologi, dan talenta. Bila ketiga hal
tersebut dapat berkombinasi dalam diri orang, niscaya ia dapat sukses menjadi
pelaku kreatifitas seperti pengusaha, desainer, penulis buku, dan sebagainya
Kritik
saya adalah kota kreatif dapat dibangun dari goresan. Menurut pemikiran saya,
justru goresan tersebutlah yang memacu atau memotivasi masyarakat supaya dapat
lebih maju. Asalkan, pemerintah dapat kooperatif dengan masyarakat melalui
kebijakan-kebijakan yang ia keluarkan. Kebijakan yang kurang menguntungkan
masyarakat dapat diibaratkan sebagai batu penghalang untuk perkembangan kota.
Semua yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah ide atau saran dan dukungan atau
fasilitas.
Kemudian
kreativitas-kreativitas yang terbangun dari bangunan tersebut harus
memperhatikan ekologi. Sebagus apapun dampak yang dihasilkan oleh kreativitas,
ia juga harus memperhatikan lingkungannya sebab membangun kota yang kreatif
pada suatu saat juga akan bersentuhan dengan teknologi. Misalnya saja, saya
mengambil contoh pada industri kreatif sablonase. Sablon menggunakan
bahan-bahan kimia yang berbau. Oleh karena itu, sudah seharusnya limbah sablon
tersebut jangan dibuang sembarangan sebab akan merusak tanaman dan mengganggu
pernapasan. Intinya, industri kreatif juga membutuhkan tanggung jawab besar
dari pelaku kreatifitasnya.
Menurut
saya, salah satu kota kreatif di Indonesia adalah kota Yogyakarta. Saya dapat
menyebut demikian karena begitu banyak industri kreatif di dalam kota tersebut.
Hal ini tidak lepas dari keberadaan kota Yogyakarta sebagai kota pelajar.
Begitu banyaknya pelajar di Yogyakarta, tentunya membuat kota tersebut memiliki
potensi kreatif yang datangnya dari kalangan anak muda. Berbagai ide-ide baru
bermunculan dan cenderung inovatif bagi perkembangan kota ini.
Sebagai
contoh adalah area kos mahasiswa sepanjang Jalan Kaliurang. Di sana kita dapat
menemukan jasa laundry, persewaan VCD, periklanan, makanan unik, sablon atau
clothing, serta rental dan print. Banyak di antaranya yang juga dimiliki oleh
mahasiswa yang berjiwa wirausaha. Meskipun begitu banyak jumlahnya, akan tetapi
masing-masing memiliki kekhasan atau diferensiasi masing-masing. Masing-masing
juga berusaha untuk semakin inovatif untuk menarik hati konsumen yang notabene
mahasiswa.
Untuk
usaha makanan saja misalnya. Seseorang berjualan burger, akan tetapi burgernya
terbuat dari jamur, bukan dari daging. Hal tersebut malah digunakan juga
sebagai kampanye Go Green. Ada juga
yang mengubah konsep lumpia yang tadinya merupakan cemilan, menjadi lauk pauk
bersama nasi. Caranya hanya dengan membuat ukurannya lebh besar dan diisi
beragam isian seperti ayam, udang, jamur, dll. Keseluruhan konsep tersebut
sangat inovatif dan baru dalam dunia bisnis.
Bisa
dibayangkan kini sepanjang Jalan Kaliurang mengalami pertumbuhan ekonomi yang
cukup pesat. Kawasan ini pun sekarang terbilang cukup padat setelah kawasan
Malioboro. Tidak hanya padat oleh pemukiman penduduk atau kos, melainkan juga
karena arus bisnis kreatif di sepanjang Jalan Kaliurang. Mahasiswa pun kini
selalu menjadi aset berharga dalam pertumbuhan wilayah dan ekonomi. Kesejahteraan
penduduk asli di sekitar Jalan Kaliurang pun kini meningkat.
Namun
ada segi lain yang harus diperhatikan oleh seluruh masyarakat. Dari segi
spasial misalnya. Pemukiman yang padat tentunya selain tidak enak dilihat juga
menimbulkan dampak-dampak negatif lainnya. Misalnya menjadi wilayah yang rawan
kriminalitas. Kemudian ruang publik untuk bersosialisasi pun menjadi berkurang.
Lahan parkir pun sempit sehingga berbagai macam alat transportasi harus tumpah
parkir di sebagian badan jalan.
hei bu nge-post tugas kuliah meni beruntun gitu ih hehe... eniwei artikel ini pas banget sama apa yang saya telusurin kemarin, di antaranya blognya bandung creative city forum alias bccf sama blognya ridwan kamil. maraknya industri dan komunitas kreatif di bandung justru memicu gerakan untuk memperbanyak ruang publik sebagai tempat untuk bersosialisasi dan berekspresi.
ReplyDeletedayeuhhh #colek
ReplyDeleteapa kabar? meni suwe ora jamu?
makasi komennya. aku br aktif ngeblog lagi nih