Yogyakarta (12/12). “Sejenak setelah Presiden SBY berpidato
tentang cinta produk dalam negeri, ibu itu cepat-cepat menurunkan syalnya yang
melambai-lambai karena AC. Pemandangan itu mengusik saya sekali karena ibu itu
benar-benar gelisah dan tak nyaman. Saya ikuti dia hingga beranjak pergi dari
lokasi. Pada sebuah tangga, syal itu kembali melambai-lambai. Tersingkaplah apa
di balik syal itu. TAS LOUIS VUITTON!”
Begitulah Wisnu Nugroho, wartawan Harian Kompas
menggambarkan betapa serunya menjadi wartawan. Rasa skeptis, yang bisa jadi
orang bilang “kurang kerjaan”, membawanya pada sejumlah petualangan dan hal-hal
baru yang tidak semua orang bisa dekati.
Kala itu, Wisnu tengah mengisi workshop Menulis Jurnalistik
dalam acara “Kompas Saba Kampus” yang bertempat di Unversity Club, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia menceritakan pengalamannya di tahun 2008 di mana
dunia tengah terkena krisis ekonomi. “Presiden SBY menganjurkan rakyat Indonesia
agar menggunakan produk buatan dalam negeri supaya perekonomian Indonesia tidak
begitu berdampak,” papar Wisnu.
Rasa skeptis Wisnu semakin menjadi kala memberanikan diri
mengunjungi galeri Louis Vuitton, yang pada tahun itu juga baru dibuka di Jakarta.
“Saya agak grogi. Waktu masuk, saya langsung dikawal dua orang pegawai di sana,”
terang pria berkacamata ini. Pria itu lanjut melakukan verifikasi dengan mencari
tas yang mirip seperti milik ibu menteri. “Ternyata tidak ada label harga. Saya
tanya dan mereka langsung membawa saya ke kasir. Aduh, mampus gue! Jangan-jangan langsung disuruh
bayar!” kisahnya semakin bersemangat.
Usut punya usut, “Tas ala ibu menteri itu seharga Rp
37.000.000,00!” Wisnu dan tentunya para peserta workshop, amat tercengang.
Bagaimana tidak? Para menteri yang pernah mengeluh karena gaji tak mencukupi,
ternyata tidak sia-sia membeli tas bermerk seharga hampir 20 kali lipat gaji masyarakat
kebanyakan.
Masih banyak lagi cerita-cerita seru yang ia dapatkan
selama ia menjadi wartawan Harian Kompas, terlebih ketika ia harus meliput
tentang Presiden SBY di istananya. Bagi Anda yang berhalangan mengikuti
workshopnya, silahkan cek buku Tetralogi Pak Beye yang ditulis sendiri oleh
Wisnu Nugroho atau menengok blognya di Kompasiana. (Vit)