Ketika remaja, kuingat bahwa senang melihat wajahku di kaca spion. Memperhatikan apakah aku sudah cukup cantik atau belum. Rapikah atau tidak? Tentu saja karena ku duduk di belakang. Maklum saja, itulah masa-masa ABG yang terlalui.
Seiring berjalannya waktu, usia mematangkanku. Aku tak lagi suka melihat wajahku sendiri di kaca spion. Entah wajahku membosankan atau terlalu mainstream ketika setiap hari kulihat wajahku sendiri. Ada yang berbeda rupanya.
Bagiku kini, tak ada lagi yang lebih membahagiakan untuk melihat sebentuk bibir. Ya, bibir yang tersungging dari salah sudut pandang spion itu. Aku menunggu-nunggu momentum di mana bibir yang diam terkatup itu, berubah menjadi lengkung rembulan sabit. Atau seketika menderetkan gigi geligi yang bergelak tawa. Atau lidah yang menjulur pertanda guyonan jahil. Semuanya terbingkai dalam spion itu.
Aku bagaikan tengah menonton layar lebar dan menunggu kisah klimaks yang seru. Namun tiada aktor, tiada wajah, tiada pula penonton lain selain aku. Hanya bibir yang tersungging manis kala beraksi.
Tak pelak pun, aku menyunggingkan milikku. Mungkin tak semanis yang terlihat dari spion itu. Tapi ini apresiasiku terhadap tontonan dari momentum berharga itu. Aku akan memberikan tontonan tanpa nama itu sebuah penghargaan Oscar. "Senyuman Termanis" itu pialamu.
Aku berharap dapat menontonnya setiap waktu. Tak kan bosan aku menyaksikannya karena ia bercandu, tak seperti wajahku. Tetaplah tersenyum! :)