Selama KKN di Dieng, begitu banyak bentuk-bentuk kearifan lokal yang saya lihat. Terlebih ketika membantu pelaksanaan Dieng Culture Festival. Di event ini, banyak kesenian bisa saya lihat. Ada thek-thek, Rampak Yasa, bahkan kesenian Barongsai juga ada di sana.
Sewaktu saya menjadi MC di Dieng Culture Festival hari kedua, di belakang saya sudah tertata rapi panggung khusus untuk pertunjukkan wayang. Macam-macam wayang pun telah dijajar di debhok pisang secara komplit. Dari yang cakep sampai yang seram, mulai Arjuna sampai Butha Ijo.
Lalu ada seorang Bapak yang mungkin adalah pelatih kesenian yang saat itu tengah beraksi. Ia duduk di sisi kiri panggung. Letaknya tidak jauh dari saya dan dua teman saya yang juga menjadi MC acara kesenian tahunan Dieng ini. Saya tidak tahu apa hubungannya dengan Keraton Jogja, tapi ia mengenakan topi hitam dengan sablon bertuliskan Keraton Ngayogyakarta. Tak lama kemudian sejumlah ibu dengan membawa balitanya mendatangi bapak itu. Mereka seperti meminta sesuatu dari si bapak. Bapak itu lantas menuju deretan wayang di belakang saya. Saya tak berkutik kecuali hanya memperhatikan apa yang hendak terjadi antara bapak itu dengan sejumlah ibu yang mendatanginya. Bapak itu memilih wayang dan jika tak salah, itulah wayang Butho Ijo. Si Butho Ijo langsung saja disentuhkan ke dahi si bocah balita. Entah apa maksudnya, tapi ibu-ibu lainnya ikut mengantri untuk menyentuhkan balitanya dengan Butho Ijo.
Pemandangan seperti ini jelas sangat asing di mata saya. Saya notabene menghabiskan hidup di kota dan tidak pernah menonton wayang. Mana kuat saya begadang semalam suntuk? Sekalinya ada, belum tentu saya menemui ibu-ibu yang seperti itu.
Saya memberanikan diri menghampiri si bapak dan menanyakan untuk apa itu. Si bapak mengatakan agar si kecil tidak kaget.Hmmm... Jawaban yang cukup abstrak. Tapi saya tidak menanyakan lebih lanjut karena maklum. Namanya tradisi atau kearifan lokal ya memang sulit dijelaskan dengan logika. Tapi semua memang adalah simbolisasi dari tujuan yang baik. Kalau merunut kisah si Butho Ijo, kata orang tua, ia suka makan anak-anak. Makanya ketika ada bayi baru lahir, si bayi diberi gelang dari tali ato benang tebal berwarna putih. Ya, mungkin itulah sebabnya.
Tiba-tiba, seorang teman dari KKN tetangga bernama Dhirga naik panggung. Ia meminta saya untuk memotretnya kala bergaya seperti seorang dalang. Sebelum itu, si bapak memilihkan wayang untuk Dhirga. Jepreeeeettt! Jadilah foto Dhirga sedang mendalang.
Saya pun tidak lepas dari pilihan wayang si bapak. Pilih, pilih, pilih. Akhirnya tangannya meraih sebuah wayang berfigur wanita. Diberikannya wayang itu kepadaku. Ketika saya bertanya, ia menjawab “Itu Srikandi, mbak!” Waw, Srikandi? Bukankah ia figur wanita ideal dalam dunia pewayangan? Saya senang bapak itu memilihkan Srikandi bagi saya.
Apapun itu maksudnya, tapi saya harap wayang pilihan bapak tersebut adalah doa bagi saya. Jika memang ia mendoakan saya seperti Srikandi, Alhamdullilah sekali! Saya harap bukan hanya wajahnya yang didoakan (sepertinya yang ini ngarep :P), akan tetapi karakter atau pribadinya juga. Saya tahu bahwa Srikandi adalah sosok wanita yang lembut namun bersahaja dan kuat. Oleh karena itu, ia juga merupakan sosok wanita yang disegani dalam pewayangan. Dengan itu pula, saya harap saya menjadi wanita yang sesungguhnya. Lemah lembut, penuh kasih sayang, but I’m the stronger ones in facing the tight of life!
Gambar 1. Saya berfoto di depan Candi Srikandi. (Foto: Annisa Nadya Utami)
Berangkat dari ini, saya kagum akan beragam kearifan lokal di Indonesia. Kearifan lokal, meskipun tak dapat dilogika bahkan ada yang bilang musyrik, namun menurut saya ia tetap layak diperhatikan. Dengan kearifan lokal, masyarakat setempat dapat mengatur hubungannya dengan alam, bahkan menghargainya secara kuat. Kearifan lokal juga dapat menjadi simbolisasi yang mengandung nilai-nilai luhur dan filosofi kehidupan yang baik bagi manusia. Terutama bagi saya, ia memotivasi saya agar bisa sekuat pribadi Srikandi! J
No comments:
Post a Comment